Sama seperti kemenangan, luka pun adalah bagian hidup yang perlu dihargai. Dari sana, muncul pendewasaan. Bahkan ajaibnya, kita menjadi sadar betapa terbatasnya diri kita dan betapa kita amat membutuhkan Tuhan.
Dalam mencintai, luka adalah sebuah keniscayaan. Semakin saya menjalani profesi sebagai guru, dan khususnya wali kelas, saya kian menyadari bahwa mencintai itu sangatlah beresiko. Bayangkan, ketika kita harus memberikan hati kita kepada puluhan orang, maka resiko hati itu menjadi babak belur dan porak poranda jelaslah makin besar. Itu masih dari sisi profesi, belum lagi ketika menjalankan peran sebagai seorang saudara, teman, kekasih. Saya -dan mungkin kita semua- tanpa sadar sedang menawarkan satu bagian dari hidup yang paling rentan sekaligus paling kuat: hati kita.
Jim Olthuis dalam bukunya, The Beautiful Risk, menjelaskan tentang manusia yang dirancang untuk mencintai, dan kasih itu sendiri adalah satu bagian penting dalam kemanusiaan. Sayangnya, masih menurut Olthuis, pilihan untuk mencintai terbentur dengan berbagai ketakutan (ditolak, diabaikan, dikecewakan) yang memperkecil keleluasaan seseorang mengalami perasaan mengasihi dan dikasihi. Maka benar sudah, mengasihi memang sangatlah beresiko. Itulah alasan seni memperlakukan luka menjadi penting.
Photo by pexels.com
Orang yang kita kasihi memiliki peluang dan kemampuan lebih besar dalam menyakiti kita, karena banyak harapan dan kepedulian untuknya. Saya sendiri yakin bahwa sebenarnya jarang ada orang yang secara sengaja melukai orang lain dalam relasi. Seringnya, perasaan luka kita disponsori oleh sebuah ekspektasi yang terlalu tinggi tanpa ada persiapan memadai sedari awal, kalau-kalau realitanya akan berbeda jauh dari harapan. Expectation hurts.
Bagaimanapun saya tetap menolak sebuah anjuran penuh pesimistis: “jangan berharap tinggi, nanti kecewa”. Saran macam itu tanpa sadar melumpuhkan hasrat kita untuk percaya. Parahnya, alih-alih kita menjauh dari luka, kita sebenarnya sedang membungkam keberanian untuk mengasihi lagi.
“Love anything and your heart will be wrung and possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact you must give it to no one, not even an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements. ... To love is to be vulnerable.” -C.S Lewis.
Sebuah fakta yang sulit dibantah, bahwa mencintai artinya menyediakan diri untuk tersakiti dan memang akurat apa yang dikatakan Firman Tuhan, “besi menajamkan besi, dan manusia menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17)
Photo by Meghan Holmes on Unsplash
Maka kini pertanyaannya adalah bagaimana menyikapi luka itu?
Dalam satu buku kumpulan kesaksian eks tahanan politik ’65 dan perjuangan rekonsiliasi, tercatat satu pernyataan bahwa sejatinya untuk berdamai dengan luka (sejarah) adalah terlebih dahulu dengan mengakui. Agaknya kalimat yang sama juga relevan untuk banyak hal.
Seorang pasien tidak akan mendapat diagnosis dan resep obat yang tepat jika sebelumnya dia tidak dengan jujur mengakui gejala sakitnya, apalagi jika mengingkari fakta dia memang sakit.
Mengakui kita sedang kecewa atau terluka, adalah langkah awal. Sayangnya, untuk mengejar hidup yang "bersinar", kadang kita enggan melakukannya. Sebelumnya, saya menganggap jika mengeluh, menampilkan aura muram, terlebih mengakui saya terluka adalah tindakan yang dihindarkan agar hidup ini menjadi berkat. Hingga di satu renungan pagi, seorang rekan membagi pesan: ketika kita menampilkan diri kita apa adanya, kita kian efektif menceritakan “God still working on me.”
Pesan itu menjadi alat meruntuhkan ego saya yang ingin menampilkan hidup yang sempurna, yang di dalamnya rentan bersarang kesombongan. Tuhan terus memproses kita, dan salah satu tandanya adalah dengan mengizinkan kita terluka. Akui saja terlebih dulu, di hadapan-Nya. Pemazmur mencatat, "Tuhan dekat dengan orang yang patah hati". Jadi, mengapa tidak menjadikan masa paling menyakitkan sebagai titik kian akrab dengan-Nya?
Photo by Natalie Collins on Unsplash
Setelah mengakui, saatnya merangkul sakit hati itu dengan penuh rasa hormat yang sinonim dengan kesediaan untuk berproses. Lha ngapain? Sama seperti kemenangan, luka pun adalah bagian hidup yang perlu dihargai. Dari sana, muncul pendewasaan. Bahkan ajaibnya, kita menjadi sadar betapa terbatasnya diri kita dan betapa kita amat membutuhkan Tuhan.
Sebulan lalu saya hijrah ke ibukota, dan adalah sebuah kebohongan besar jika saya berkata kepindahan itu hanya berbalut antusias dan sukacita. Iya, saya bersyukur atas petualangan baru. Iya, saya senang atas pekerjaan yang datang tepat waktu. Tapi, dalam hati juga tertumpuk ketakutan dan kegelisahan bahkan kesedihan.
Di masa itu, saya mencoba untuk merasakan cuil demi cuil perasaan itu dan dikuatkan dengan pergumulan Paulus yang membuatnya dengan sangat anggun berkata “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” (2 Kor 12: 9).
Ketika saya mengakui, saya takut kesepian, saya jadi lebih mudah bersyukur setiap kali kawan-kawan saya di Jakarta memberi waktunya untuk saya. Ketika saya merangkul rasa sedih sebab harus berpisah dengan orang-orang terdekat di kota asal, saya jadi makin bersyukur atas hadirnya rekan kerja dan kawan baru yang menyenangkan. Kemampuan mengakui selalu ada peran Allah kerap diawali sebuah perasaan tidak berdaya. Ibarat karena rasa lapar, makanan menjadi lebih nikmat; karena luka, kebaikanNya menjadi kian bermakna. Merangkul sakit hati itu soal kesediaan berproses tanpa terburu dan mengambil waktu yang cukup untuk menyimak, pelajaran apa yang sedang tersuguhkan
Do not let your wounds faster, tend to suffering and touch tenderly where it hurt. Being present with your pain, allowing it, not rushing to fix it. Loss is our reality and if we can think about loss right, it offers a profound sense of clarity. -TedTalk
Photo by William Farlow on Unsplash
Selain mengakui dan bersedia berproses, kita juga perlu berdamai dengan Allah. Dalam rasa sakit, kerap keberdosaan membuat kita ingin menyalahkan Allah. Bahkan ketika kita tahu Dia menyertai, dan ketika kita sadar bahwa Dia itu baik, selalu dan selalu saja ada godaan mempertanyakan keputusan-Nya kan? Kitab Ratapan saya rasa menyuarakan hal ini dengan amat apik. Segunung ratap atas kemalangan, terabadikan di dalam Alkitab untuk mengingatkan kita. Alih-alih menyangkal emosi, umat Tuhan dapat menyuarakannya kepada Tuhan.
Tidak berhenti disitu. Jika kita amati di dalam Kitab Ratapan yang penuh keluh kesah, terselip satu ucapan syukur yang amat lantang: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya, rahmat-Nya …” (3:22). Artinya, harus ada titik dimana kita mengakui Allah tidak berniat jahat. Dia baik bahkan saat kondisi kita sangat tidak baik. Ratapan, kesedihan, dan luka, menjadi bagian dalam perjalanan iman kita semua, tapi sekali-kali bukan karena Allah sedang mendramatisir atau bermain-main dengan jalan hidup kita.
Terakhir, yang tidak kalah penting, adalah mengampuni. Saya rasa, pengampunan adalah satu obat mujarab. Bukan sebagai painkiller namun lebih sebagai pain reliever. Yaitu satu hal yang menolong kita sedikit lega dan mengurangi (walau tidak memusnahkan sama sekali) sebuah rasa sakit. Pengampunan baik untuk orang lain yang menyebabkan kita merasa sangat menderita dan tersakiti, namun tak kalah penting, untuk diri kita sendiri. Mengampuni diri sendiri atas segala kecerobohan, kesombongan, atau kesalahan memilih.
Satu drama Korea lawas pernah menyebutkan bahwa memaafkan pada dasarnya adalah membesarkan ruang di dalam hati. Mengampuni adalah sebuah langkah untuk pulih. Langkah yang tidak lain untuk membesarkan ruang hati agar cukup ditempati oleh kemauan untuk kembali mengasihi. Dari situlah, pemulihan dapat terjadi.
Photo by Aditya Saxena on Unsplash
Suatu hari, setelah pemulihan dapat kita cicipi, mungkin kita akan melihat kembali bekas luka kita, dan alih-alih menyesalinya, kita akan bangga. Sebab, kita berhasil melaluinya dan tidak dipahitkan olehnya. Selamat merangkul lukamu, dengan sepantas-pantasnya!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: