“Tujuan utama dari penyembuhan adalah menghilangkan penyakitnya, bukan rasa sakit lu.”
Doni merasa tidak enak badan sejak kemarin Jumat. Sudah tiga hari mukanya pucat dan keadaannya semakin memburuk. Suatu ketika setelah kebaktian, temannya Joni bertanya, “kenapa bro?”
“Entahlah,” sahut Doni.
Joni menjawab, “Terus gak ke dokter? Makin segera periksa, tahu penyakitnya apa, habis itu bisa diobati.”
Males ah, ntar ketahuan sakitnya. Gue gak suka vonis dokter, bikin orang tambah pusing aja. Kalau gak ke dokter kan gak ketahuan sakit.”
Hal serupa digambarkan Norman Geisler dan Frank Turek Dalam bukunya “I Don’t Have Enough Faith To Be An Atheist”. Mereka menjelaskan terdapat lima rantai pertanyaan yang paling mendasar dalam kehidupan, antara lain:
1. Asal mula: dari mana kita?
2. Identitas: siapakah kita?
3. Arti hidup: kenapa kita berada di dunia ini?
4. Moralitas: bagaimana kita harus menjalani hidup?
5. Takdir: kemana kita akan pergi?
Itulah penyakit yang kita alami dan sebelum membahas jawaban yang saya imani (dan semoga anda mau mengimaninya juga), mari kita bahas beberapa painkiller yang sering kita pakai (baca: lakukan):
Painkiller #1: Togetherness
Photo by Eric Nopanen on Unsplash
Joni membuka percakapan dalam perjalanan mereka berdua ke dokter, “BTW Don, belakangan ini sering keluar sama temen sekolah ya?”
“Iya bro, kalau keluar sama mereka pasti hangout di tempat yang keren dan ketawa terus sampai suara habis nih.”
“Kayaknya seru tapi kok gak semangat ceritanya bro?” tanya Joni.
“Gue lagi sakit, pikun!” sahut Doni. “tapi emang sih bro. Gue gak bahagia-bahagia banget. Cuma seneng aja.”
Joy beda dengan happiness. Kebahagiaan yang teman-teman kita berikan bersifat sementara. Squad hangout kita belum tentu menerima kita apa adanya, karena tiap orang memiliki pola pikir, ideologi, worldview, dan karakter yang berbeda-beda. Kebersamaan memang penting, tetapi apakah itu yang terpenting? Jika hal itu adalah yang terpenting, kenapa kita memiliki ruang privasi? Atau kenapa kita tidak mau bersama orang yang kita benci? Kita cenderung memilih teman untuk memuaskan diri kita (dan kita terus mencari karena tidak ada orang yang sempurna).
Maka dari itu, kebersamaan tidak dapat menyembuhkan penyakit kita.
Painkiller #2: Ministry
Photo by Harold Reynolds on Unsplash
Setelah melanjutkan perjalanan dalam diam (karena suasana jadi gak enak), Joni memberanikan diri untuk membuka pembicaraan kembali.
“Oh iya Don. Tadi main gitar keren banget di Kebaktian Umum 1.”
Senyuman tanggung merekah dalam wajah Doni. “Yaelah bro, itu biasa aja sih. Lagian temen-temen pengiring lainnya juga mainnya bagus kok.” Balas Doni.
“Wah, pasti seneng dong ya kalau pelayanan kalian flawless.” Joni menepuk punggung Doni
“Mau sempurna kayak gimana,” Doni terdiam dan melanjutkan kalimatnya. “Bulan depan juga gak ada yang inget kok.”
Joni membisu.
Doni terlihat kesal, lalu dia menyampaikan keluhannya dengan nada tinggi, “Lama-lama capek kalau pelayanan sedikit yang kasih pujian. Udah sakit begini gue masih belain latihan. Udah gitu terlambat 1 jam lagi! Iya sih gue terlambat juga biar latihannya cepet, tapi ternyata juga pada belum datang. Kesel deh!”
Pelayanan juga sementara. Karena pujian, kita akan berusaha melayani sebanyak-banyaknya melalui berbagai bidang pelayanan. Namun di satu sisi, pelayanan juga dapat berujung pada kekecewaan terlebih saat kita tak mendapat apresiasi. Mood, keadaan diri, dan identitas diri akan terombang-ambing karena kekecewaan tersebut. Kita tidak bisa menyembuhkan diri kita melalui pelayanan karena hal itu hanya akan menjadi painkiller untuk sementara (atau bahkan tidak sama sekali).
Maka dari itu, pelayanan tidak dapat menyembuhkan penyakit kita.
Painkiller #3: Spiritual Activity
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
Mereka sudah sampai ke klinik dokter. Karena antrian cukup lama, Doni bertanya kepada Joni.
“Eh Jon, gimana Saat Teduh? Lancar gak?” tanya Doni.
Joni kaget karena dari tadi dia yang memulai pembicaraan. Dia kemudian menjawab, “Ee..biasa aja bro. Kalau lancar sih lancar, tapi…”
Belum selesai berkata-kata, Doni sudah memotong perkataan Joni, “Iya bro! Gue juga lancar. Saat teduhnya udah gue belain pagi-pagi, malamnya gue juga baca alkitab, tiga pasal bro!”
“Emm.. oke. Tapi kenapa lu tiba-tiba bahas soal SaTe dan bible reading?”
Doni menghela nafas sejenak. Dia menimbulkan efek dramatis saat berkata, “Gue rasa apa yang diomongin pendeta bulan lalu itu gak bener. Katanya dengan saat teduh aja hidup kita jadi penuh kedamaian. Udah gak pernah bolong baca Alkitab dan baca renungan, tapi hidup gue tetep kerasa bolong. Rasanya kayak pacaran sama orang yang gak lu cintai.”
Segala kegiatan rohani yang bahkan terlihat paling rohani sekalipun belum tentu menyembuhkan. Tesis tersebut ditegaskan seperti contoh bahwa tidak semua yang membaca Alkitab mau merenungkan dan melakukan apa yang ia baca. Saat teduh, bible reading, dan kegiatan rohani lainnya hanya akan menjadi rutinitas serta formalitas jika tidak dihidupi dalam Tuhan.
Maka dari itu, kegiatan spiritual -saja- tidak dapat menyembuhkan penyakit kita.
Apakah pain harus di kill?
Tiba giliran Doni masuk ke ruang dokter. Di tengah ruang serba putih dengan berbagai macam peralatan itu, duduk seorang dokter yang terlihat dingin. Doni maupun Joni duduk dengan tidak mengucapkan suatu kata pun.
“Kalian sakit apa?” sang dokter memulai pembicaraan.
“Yang sakit dia dok,”kata Joni.
Doni langsung menyahut, “Lho, kan anda yang dokter, Saya tidak tahu sakit apa sehingga saya kesini. Kalau saya tahu, saya bakal cari obat sendiri.”
“Eh iya Bapak lupa. Maksud Bapak, ada keluhan apa?”
...
Setelah menjelaskan keluhannya dan dokter memberikan saran serta resep, mereka berdua pulang ke rumah. Doni menjelaskan ke temannya itu, “Sebenernya udah dikasih antibiotik sama nyokap gue, tapi gue gak minum. Rasanya pahit, gak enak. Sempat kepikiran minum painkiller sih. Tapi sama aja pahit.”
“Bro, untuk menghilangkan penyakit, emang harus dirasain sedikit rasa sakit supaya bisa sembuh,” Joni pun mulai berceramah. “Tujuan utama dari penyembuhan adalah menghilangkan penyakitnya, bukan rasa sakit lu. Rasa sakit tuh kayak alarm bahwa yang kita manusia normal dan, kedua, ada sesuatu yang gak beres di dalam diri kita. Gitu”
Photo by Carolina Jacomin on Unsplash
Melalui alkitab, lima pertanyaan dasar kehidupan juga dapat dijawab:
1. Asal mula: dari mana kita?
Kita diciptakan Allah (Mazmur 139:14).
2. Identitas: siapakah kita?
Kita diciptakan Allah seturut gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27; Efesus 2:10).
3. Arti hidup: kenapa kita berada di dunia ini?
Untuk memuliakan dan menikmati-Nya selamanya. Dalam menjalani itu, kita memiliki keterbatasan yakni dosa. Karenanya, Allah berinisiatif menyelamatkan kita melalui Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Kita bukan hanya berada, namun kita dikasihi. Bahkan bukan oleh manusia, melainkan oleh Sang Pencipta yang menenun kehidupan kita (Yohanes 3:16; Galatia 4:5).
4. Moralitas: Bagaimana kita harus menjalani hidup?
Karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita, maka kita seharusnya sewajarnya mengasihi Allah dan sesama. Termasuk dengan melakukan segenap Firman-Nya (1 Yohanes 4:19-21, 2 Timotius 3:16).
Takdir: Kemana kita akan pergi?
Dia sudah menyembuhkan kita melalui bilur-bilur darah-Nya. Anugerah keselamatan yang limited edition dan permanen ini, akan mengubah hidup kita dari yang dulunya berpusat pada diri, menjadi berpusat pada Kristus (Yesaya 53:5; Yohanes 10:29; 2 Korintus 5:15).
Maka dari itu, Tuhan Yesus dapat menyembuhkan penyakit kita.
Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah engkau mau disembuhkan oleh-Nya?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: