"Kecemasan memberikan rancangan situasi kita kedepannya. Kecemasan membentuk harapan. Kecemasan membuat kita mengoreksi diri kita. Kecemasan memancing daya kreatifitas kita dalam menghadapi kehidupan selanjutnya."
Berefleksi dari keadaan Indonesia, apa yang bisa dikatakan dari tahun ini? Rasa-rasanya hanya kesedihan yang tak berujung, kematian, resesi ekonomi sampai teriakan kemiskinan yang terus meningkat. Bahkan, di penghujung tahun ini kasus COVID-19 kembali meningkat. Rencana yang begitu manis, angan yang sudah diangankan begitu lama harus ditunda ataupun kandas akibat dari semua ini. Rasanya tidak salah bila saya mengatakan bahwa saat ini kita berada di dalam situasi krisis. Keseharian yang begitu kita nikmati di tahun-tahun sebelumnya harus berubah akibat situasi yang kita hadapi ini. Bangku pendidikan harus dialihkan kepada metode online, kebiasaan berkumpul di hari Sabtu bersama teman-teman harus ditunda sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Kebiasaan-kebiasaan kita sebelumnya harus berubah atau dimodifikasi untuk menghadapi situasi ini. Lantas apa yang bisa kita dapatkan dari keadaan ini?
Sebelum pandemi ini kita hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang menyenangkan, yang membuat kita nyaman. Orang-orang bekerja dengan gembira, apalagi menyambut tanggal 25, tanggal di mana orang umumnya menerima gaji. Saat ini, kegembiraan itu berkurang atau bahkan sirna, ada yang mendapat pemotongan gaji atau sampai mengalami pemutusan hak kerja (PHK). Orang-orang seperti ini mengalami fase kecemasan. Kecemasan itu timbul dari kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dari sebelumnya akibat dari situasi ini. Bukan hanya mereka yang di PHK, kita juga mengalami berbagai kecemasan. Kita cemas kita akan masuk ke dalam jurang resesi, kita cemas apakah rencana pernikahan kita ditunda atau tidak, kita cemas hiruk pikuk natal akan terasa berbeda. Saya sendiri mengalami kecemasan, saya cemas bagaimana kalau sampai ladang usaha orang tua saya terkena imbas yang cukup besar akibat dari situasi ini. Apa yang akan saya kerjakan nanti? Situasi ini membuat segalanya menjadi runyam, padahal di awal 2020 semua kelihatan indah, saya akan keluar asrama dan ngontrak bersama dengan teman-teman yang selaras dengan saya, saya akan kuliah dengan tenang mengejar cita-cita yang telah saya dambakan sejak lama. Tetapi nyatanya tidak demikian tahun ini saya dihidupi dengan berbagai kecemasan-kecemasan.
Kecemasan-kecemasan akibat dari situasi yang kita rasakan ini menghantarkan kita kepada "keterlemparan". Apa maksud “keterlemparan” itu? Ada baiknya saya langsung merujuk kepada salah satu tokoh yang saya sadur pemikirannya yaitu, Heidegger. Bagi Heidegger manusia ada di dalam dunia begitu saja tanpa tahu dari mana dan mau ke mana (faktisitas). Manusia atau Dasein dalam istilah Heidegger “ada begitu saja” di dalam dunia yang ia tak pilih atau bahkan ditanyai apakah ia mau terlahir ke dalam dunia ini atau tidak. Hal inilah yang ia sebut sebagai “keterlemparan” dan ini merupakan eksistensi sejati dari manusia itu. Kecemasan (Angst) bagi Heidegger menghantarkan manusia kepada eksistensi manusia sendiri yaitu “keterlemparan”. Ketika perasaan cemas ini muncul ia langsung menukik ke dalam keberadaan manusia itu sendiri yang menghantarkan ia masuk di dalam titik kebingungan bagaimana harus menghadapi dunia. Lawan dari “keterlemparan” ini adalah larut dalam keseharian atau kebiasaan. Bagi Heidegger ketika manusia larut dalam keseharian ia lari dari eksistensi alaminya yaitu “keterlemparan”. Ia larut dalam keseharian yang baginya menyenangkan dan justru lari dari sebagaimana ia “berada”.
Ketimbang memahami "keterlemparan" itu kita cenderung lari daripadanya. Ada berbagai penyebabnya, salah satunya adalah desakan dari orang-orang di luar kita yang masih hidup dalam kebiasaan-kebiasaan lama. Kedua, kecemasan-kecemasan itu berusaha ditutupi dengan mencari kebenaran yang mengafirmasi pandangan kita agar dapat kembali kepada kebiasaan kita sebelumnya contohnya berbagai berita hoaks, teori konspirasi yang begitu mudah kita terima. Apa akibatnya? Keberlanjutan dari situasi krisis ini. Bukannya mereda seperti negara-negara lain malahan terus meningkat di penghujung tahun ini, bukannya menerapkan kenormalan baru justru kita kembali kepada kenormalan lama yang tidak cocok dengan kondisi saat ini.
Apa yang mau saya katakan di sini? Kita tidak mau menghidupi dan memahami "keterlemparan" itu. Kita menolak bahwa keadaan ini memaksa kita menemukan ritme baru, kita menolak untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan lama kita menjadi sesuatu yang sesuai dengan keadaan sekarang. Kita menolak kecemasan itu, padahal hal itu adalah bagian dari kehidupan manusia. Kehidupan manusia pasti dan tak mungin terlepas dari kecemasan. Kita cemas kita akan miskin besok, makanya kita bekerja dengan keras. Kita cemas bagaimana jika kita mati kita akan masuk ke dalam panasnya api neraka, sehingga sebagian kita mengusahakan segala kebaikan. Kecemasan memberikan rancangan situasi kita ke depannya. Kecemasan membentuk harapan. Kecemasan membuat kita mengoreksi diri kita. Kecemasan memancing daya kreativitas kita dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Lantas untuk situasi krisis saat ini mengapa kita harus menolaknya dan seolah menganggap hal ini baik-baik saja? Dan justru menolak segala kemungkinan yang timbul dari kecemasan kita?
Selamat berefleksi!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: