Selibat dan Pernikahan: Apa Titik Temunya?

Going Deeper, God's Words, 30 July 2020
Selibat dan Pernikahan adalah pemberian dari Allah.

Imanuel Boimau


Sekalipun dipahami sebagai karunia yang diberikan dan merupakan sesuatu yang dijalani dengan kerelaan hati, kadang kala selibat dipandang sebagai sesuatu yang tidak normal dan sebuah upaya yang dilakukan dengan paksa untuk melawan atau menghindari dorongan seksual dan pernikahan.[1] Konsep ini tentu salah besar jika melihat kembali pada definisi selibat yang diterima dan dipahami secara umum, apalagi mengingat bahwa memutuskan untuk menjalani kehidupan selibat berarti bersedia menahan diri dari hubungan seksual dengan orang lain dan merupakan sebuah tindakan yang melambangkan sebuah keinginan untuk berfokus dan berelasi dengan Tuhan sebagai hal yang utama dalam diri seseorang.[2] Oleh karena itu, David H. Jensen menyatakan bahwa selibat bukanlah keabsenan dari masalah seksual, tetapi sebuah upaya di mana keinginan untuk berelasi dengan intim dipenuhi dengan cara yang berbeda. Sebuah cara di mana seseorang memutuskan untuk tidak berkuasa, tidak memiliki status, dan ikatan di dalam sebuah hubungan keluarga, tetapi menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang memberi hidup yang berlimpah.[3] Pemahaman ini menekankan pada aspek kehidupan yang berfokus kepada Tuhan.


Dalam Perjanjian Lama jelas institusi pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap sebagai norma, sehingga orang yang tidak menikah justru dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal. Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, "Jika selibat adalah sebuah karunia lalu bagaimana dengan teks Kejadian 1:28 tentang perintah Allah kepada manusia untuk beranakcucu, bertambah banyak dan memenuhi bumi?" Terkait dengan hal ini, Rebekah Enklund di dalam tulisannya menyatakan bahwa kita perlu untuk melihat apa yang menjadi pesan utama di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Berdasarkan pemahaman ini, Enklund kemudian menyatakan bahwa perintah untuk beranakcucu, bertambah banyak, dan memenuhi bumi merupakan perintah utama dalam Perjanjian Lama, sedangkan menjadikan semua bangsa murid adalah perintah utama Perjanjian Baru.[4] Dengan demikian, maka jelas bahwa tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Kita harus melihat Alkitab juga sebagai sebuah catatan yang menunjukkan progresivitas karya keselamatan Allah bagi dunia ini.


Dalam memahami tentang pernikahan dan selibat, konsep pernikahan menurut Luther yang mencakup aspek sosial, teologis, Civil use, dan pedagogical use, dapat diperhatikan.[5] Luther menyatakan:

            

Pernikahan meskipun ditahbiskan secara ilahi dan diatur secara alkitabiah, pernikahan jelas diarahkan juga untuk tujuan manusia dan penggunaan sosial. Pernikahan mengungkapkan kepada orang-orang tentang dosa mereka dan kebutuhan mereka akan karunia perkawinan Allah, ini adalah penggunaan teologisnya. Pernikahan membatasi prostitusi, pergaulan bebas, dan dosa seksual lainnya, ini adalah civil use-nya. Pernikahan mengajarkan tentang cinta dan kebajikan lainnya, ini adalah penggunaan pedagogisnya. Luther kemudian menyatakan bahwa hanya orang yang dipanggil untuk menjalani kehidupan selibatlah yang bisa tidak menikah. Hal ini terjadi karena menurutnya, pernikahan bukan sekadar sebuah pilihan melainkan keharusan.[6] 


Perkataan Luther tentang pernikahan sebagai sebuah keharusan dan selibat sebagai satu-satunya keadaan yang harus dijalani bagi mereka yang tidak menikah ini tentu menjadi sebuah hal yang perlu dipikirkan ulang. Jika merujuk pada Kejadian 1:28, maka jelas di sana Allah memerintahkan manusia untuk beranakcucu, bertambah banyak dan memenuhi bumi. Artinya, pernikahan dan hubungan seksual merupakan apa yang Allah mandatkan bagi manusia untuk dilakukan. Dengan demikian, maka pernikahan menjadi sesuatu yang semestinya dilakukan. Namun, seperti yang telah dijelaskan, kita perlu menyadari adanya progresivitas karya keselamatan Allah bagi dunia ini, yakni bahwa dalam Perjanjian Baru Allah memerintahkan manusia untuk menjadikan segala bangsa murid. Lalu, berkenaan dengan selibat, tentu jika memerhatikan kembali pada definisi selibat, maka ini bukanlah menjadi sebuah keharusan bagi mereka yang tidak menikah melainkan sebuah karunia. Dengan demikian, perkataan Luther tentang pernikahan dan selibat dalam bagian ini menurut penulis kurang tepat. 


Selanjutnya, selain permasalahan tentang keterkaitan antara hidup selibat dan perintah dalam Kejadian 1:28, masalah lain tentang selibat dan pernikahan adalah orang yang menjalani hidup selibat dianggap tidak menjadi citra Allah yang utuh. Mengenai hal ini, Leeman menyatakan bahwa sebagai individu, setiap manusia diciptakan menurut gambar Allah, terlepas dari apakah dia sudah menikah atau belum.[7] Menurutnya, Tuhan telah menciptakan kita tidak hanya untuk berelasi satu sama lain, tetapi juga untuk kemuliaan-Nya dan dalam konteks hubungan perjanjian dengan-Nya. Maka, kita memenuhi tujuan penciptaan kita dalam hubungan kita yang pertama dengan Allah, dan yang kedua dengan sesama. Oleh karena itulah, perkawinan hanyalah satu cara untuk mengekspresikan hubungan manusia dan bukan satu-satunya.[8]

            

Berdasarkan pemahaman di atas, maka hidup selibat semestinya tidak dipandang di bawah standar atau abnormal, karena orang yang tidak menikah dan orang yang menikah adalah bagian dari satu komunitas yang sama yaitu gereja. Sebagai umat Allah, kita menjalani tujuan penciptaan dan citra kita dalam hubungan kita satu sama lain dan dengan Kristus. Dalam Alkitab, terkait dengan tatanan ciptaan Tuhan, pernikahan memang merupakan hal yang penting, tetapi itu sekali lagi bukan satu-satunya tempat di mana manusia sepenuhnya menggambarkan Allah. Oleh karena itu jika kita menikah, pernikahan kita harus mencerminkan semua yang Tuhan ciptakan. Begitu juga sebaliknya jika kita hidup selibat, kehidupan selibat kita harus mencerminkan Tuhan. Dengan begitu maka sebagai pribadi yang beriman dan terutama sebagai bagian dari gereja, orang yang menikah dan tidak menikah sepenuhnya menggambarkan Allah ketika mereka membangun hubungan satu sama lain dan tumbuh dalam hubungan mereka dengan Allah Tritunggal yang berpusat di dalam Kristus Yesus.[9] Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Maken bahwa persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam ikatan pernikahan bertujuan untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, pernikahan semestinya merefleksikan Allah jauh lebih dari pada untuk hubungan seksual semata.[10] Dengan demikian, kehidupan pernikahan atau kehidupan selibat keduanya bertujuan untuk memuliakan Allah.

                [1]. David H. Jensen, God, Desire, and A Theology of Human Sexuality (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2013), 111.

                [2]. Jensen, God, Desire, and A Theology of Human Sexuality, 112.

                [3]. Jensen, God, Desire, and A Theology of Human Sexuality, 113.

                [4]. Rebekah Enklund, “A Theology of Singleness: Prepared for the Ordered Ministry of the Evangelical Covenant Church May 2013,” https://covchurch.org/wp-content/uploads/sites/2/2013/10/Theology-of-Singleness.pdf (Diakses 28 Juni 2020).

                [5]. John Witte, Jr., “Sex and Marriage in the Protestant Tradition, 1500-1900” dalam The  Oxford Handbook of Theology, Sexualty, and Gender, ed., Adrian Thatcher (Oxford: Oxford University Press, 2015), 306.

                [6]. Witte, Jr., “Sex and Marriage in the Protestant Tradition, 1500-1900," 307.

                [7]. Steve Wellum, “Can a Single Person Fully Image of God?,” dalam  "Pastoring Singles," 9Marks Journal , ed. Jonathan Leeman (2017): 10.

                [8]. Wellum, "Can a Single Person Fully Image of God?," 10.

                [9]. Wellum, "Can a Single Person Fully Image of God?," 12.

                [10]. Maken, Rethinking the Gift of Singleness, 22.


LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER