“I have no other self than the totality of things of which I am aware.” ― Alan W. Watts, The Way of Zen
Sebagai salah satu ajaran atau metode Zen Buddhisme dalam rangka mencapai sebuah pencerahan atau yang disebut sebagai Satori, Koan merupakan suatu pokok ajaran yang sering digunakan oleh para guru Zen Buddhisme untuk mengajar para muridnya. Koan seringkali berupa sebuah pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh guru-guru Zen dan nantinya akan digumuli (melalui pikiran dan penghayatan) oleh para murid untuk dapat menjawabnya. Dapat diartikan bahwa Koan adalah pertanyaan-pertanyaan yang digunakan sebagai objek meditasi atau permenungan bagi para murid Zen Buddhisme.[1]
Bertolak dari gagasan Buddhisme yang dibaurkan dengan paradigma Taoisme dan Konfusianisme, Zen Buddhisme mengembangkan sebuah pandangan akan kesatuan realitas manusia dan alam (sono mama atau tathata dalam Buddha). Namun kesatuan ini bukan penyatuan semata, melainkan realitas manusia atau “the self” dan realitas alam adalah dua entitas yang berbeda namun terhubung dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berangkat dari kesatuan jiwa dan alam ini, maka Zen Buddhisme berupaya melihat realitas dengan apa adanya dalam rangka menemukan keluasan tentang realitas, yang lepas dari bentuk-bentuk konseptualisasi yang sempit dan terbatas. Setiap entitas memiliki konsep pada dirinya sendiri, yang lebih luas dari gambaran atau konsepsi-konsepsi di luar dirinya. Realitas dipandang melebihi konsep apapun. Dengan memandang dan menerima sesuatu dengan apa adanya, maka pada saat itulah wacana akan menjadi lebih luas.
Image on Wyoming Department of Health
Dari pijakan tentang melihat realitas dengan apa adanya, Koan sebagai metode tanya-jawab dalam meditasi Zen Buddhisme menuntut sebuah pemecahan tanpa melalui jalan penalaran bahkan melampaui nalar. Biasanya dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang terkesan tidak masuk akal atau barangkali tidak mungkin untuk dijawab. Oleh karena, jawaban yang diberikan oleh guru Zen juga boleh jadi tidak memberikan jawaban pasti atau bahkan tidak menjawab sama sekali. Koan tidak memiliki jawaban-jawaban intelektual. Justru, dengan demikianlah tujuan Zen adalah melewati batas-batas pemahaman yang bersifat konseptual semata. Koan memberi suatu pemahaman dalam rangka mengatasi pemikiran yang dualistis (antara yang benar dan salah) dan bersifat final.[2] Jawaban yang bersifat final dan lekat dengan konseptual akan mempengaruhi keluasan realitas yang akan diterka dan didapat oleh pemahaman manusia. Dan bagi para guru Zen, sikap tidak menjawab adalah jawaban yang satu-satunya, karena jawaban yang tidak bersifat konseptual terhadap pertanyaan dinilai sangat cukup, sebab hal itu akan menuntut sikap menerima pembedaan yang memungkinkan lahirnya pertanyaan-pertanyaan baru untuk digumuli terus menerus, dan Satori menjadi tujuan Zen untuk melampaui semua perbedaan dalam kaitannya dengan diri dan semesta, termasuk antara benar dan salah, ada dan tidak ada.[3] Sehingga menciptakan sebuah sikap yang terbuka atas distingsi-distingsi dan merujuk pada keindahan serta kesempurnaan realitas sebagaimana adanya, tanpa distingsi apapun.[4] Koan mengajarkan bahwa dalam sebuah pertanyaan, janganlah sampai diri dikendalikan oleh jawaban-jawaban konseptual yang final, sebab jawaban yang sejati adalah melampaui penalaran. Sebagaimana kehidupan selalu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang harus digumuli senantiasa.
Image on Peakpx
Narasi dimulai dari sebuah babak dimana Yesus telah bangkit dan menampakkan diriNya kepada para muridnya di pantai danau Tiberias. Yesus turut sarapan dengan murid-muridNya, dan setelah sarapan Yesus bertanya kepada Simon Petrus dengan pertanyaan : “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?”. Lalu Petrus menjawab “Benar Tuhan, Engkau tahu, aku mengasihi Engkau”. Kemudian Yesus berkata kepada Petrus “Gembalakanlah domba-dombaKu”. Pertanyaan ini diajukan kembali oleh Yesus kepada Petrus dengan bentuk pertanyaan yang sama, juga dengan jawaban yang sama oleh Petrus dan juga Yesus. Pertanyaan ini diulang kembali untuk ketiga kalinya oleh Yesus, dan akhirnya Petrus menjadi sedih hatinya sambil menjawab, “Tuhan, engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”, lalu Yesus tetap menjawab “Gembalakanlah domba-dombaKu”. Barulah Yesus berkata kepada Petrus sebuah pemberitaan akan masa tua, hingga kehendak bagi Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Tanya jawab akhirnya ditutup dengan ajakan Yesus kepada Petrus “Ikutlah Aku”.
Sama seperti praktik Koan guru Zen yang bertanya kepada muridnya, Yesus mencerminkan sebuah sikap menguji penghayatan dan permenungan Petrus muridNya. Dialog antara Yesus dan Petrus yang repetitif ini boleh terkesan tidak masuk akal atau sukar dipahami. Yesus merepetisi pertanyaan “apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?”, kemudian ketika Petrus menjawab “benar Tuhan, Engkau tahu, aku mengasihi Engkau”, Yesus justru menambahkan jawabanNya “Gembalakanlah domba-dombaKu”. Pertanyaan yang diajukan oleh Yesus ini menuntut sebuah kesungguhan dan permenungan atas diri Petrus, serta jawaban yang diberikan oleh Yesus masih tetap sama dan bersifat kurang memberi kepastian bagi Petrus. Bahkan sampai ketiga kalinya, ketika Petrus menjadi sedih hatinya dan berpasrah diri, Yesus tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Ada sebuah momen permenungan yang dapat ditarik disini.
Image by Tuzy M on Medium
Ketika Petrus tetap berserah diri pada Yesus “Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihiMu”, Petrus melihat Yesus dengan apa adanya dan bersedia menerima keluasan jawaban yang tidak bersifat final itu. Bahkan, Petrus diberi cerita oleh Yesus terkait gambaran masa depan Petrus dalam pelayanannya mendatang hingga mati dan memuliakan Allah. Sampailah pada titik dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut direnungkan dan menemui ujung pangkalnya dalam keputusan untuk menghidupi pertanyaan itu, yakni Yesus mengajak Petrus “Ikutlah Aku”. Ini adalah momen Satori bagi diri Petrus ketika ia tahu bahwa ia harus menggumuli pertanyaan itu sampai akhir hayatnya. Jawaban Petrus bukanlah sesuatu yang final, melainkan jawaban yang harus dihayati senantiasa, serta menuntut sebuah keputusan dan keberserahan diri dengan memandang Tuhan apa adanya.
Ini juga dapat menjadi makna dan refleksi tersendiri bagi kehidupan kita sebagai manusia beriman yang larut dalam keseharian dengan segala gegap gempita kehidupan. Betapapun banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupan yang mungkin mengepung diri kita dan bahkan barangkali banyak hal dalam hidup yang sukar untuk dijelaskan dengan konsepsi-konsepsi nalar positif. Seperti penderitaan hidup, pengharapan yang kosong, doa yang tak terjawab, disinilah orang beriman dapat belajar dari Koan, bahwa barangkali jawaban bukanlah satu-satunya jalan yang final. Melainkan dengan memandang keluasan akan kemungkinan-kemungkinan dalam hidup, tidak mudah mengambil suatu sikap judging, serta menghidupi pertanyaan-pertanyaan dan misteri dalam kehidupan, sehingga kehidupan beriman kita semakin diuji dalam keluasannya. Pergumulan menjadi suatu hal yang pasti untuk ditempuh, sampai tibalah diri kita pada momen Satori yang mungkin bersifat sekejap, tak terduga, dan dinamis prosesnya. Tetap harus disadari bahwa, peziarahan untuk menemukan jawaban akan terus berlangsung, sampai pada kesudahannya, demi kemuliaanNya.
[1] John M. Koller, Filsafat Asia, (Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2010), h. 488
[2] John M. Koller, Filsafat Asia, (Maumere: Seminari Tinggi Ledalero, 2010), h. 488
[3] Ibid, h. 490-491
[4] Ibid, h. 491
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: