Tanah air siapa? Benarkah ini tanah air kita? Sebuah penawaran bagi anda yang mungkin mulai kehilangan cintanya atau belum pernah sama sekali berhasil mencintai Indonesia. Penawaran yang mungkin tidak semanis rayuan pulau kelapa, tapi menyemai benih harapan.
Lagu “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki berhasil memprovokasi saya, menetapkan hati untuk mencintai Indonesia, cinta kasih yang begitu meluap dan haru yang mendalam ini mulai terasa sejak saya berusia kurang lebih 15 tahun. Saya bersekolah di sekolah Kristen, dan sejak dalam kandungan bergereja di GKI, sehingga mungkin itu menjadi satu dari beberapa faktor mengapa di masa remaja saya hanya berteman dengan mereka yang menyatakan diri sebagai pengikut Kristus.
Saat berkuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di Indonesia, mata saya baru benar-benar terbuka pada sebuah kenyatan bahwa “tanah air beta” ternyata tidak semagis syair Rayuan Pulau Kelapa, juga tidak seguyub lirik Satu Nusa Satu Bangsa. Bahkan ironisnya, beberapa kali saya menjadi sangsi benarkah ini tanah air—milik—beta juga? Bagaimana tidak? Diskriminasi terhadap suku dan ras di negara ini begitu kental dan mewabah di mana-mana. Tak usah lah bicara soal izin membangun gedung gereja. Perkara sesederhana mencari sepetak kamar kos pun sudah terkontaminasi oleh rasisme dan radikalisme. Begitu banyak hal-hal pahit yang saya pilih untuk menjadi luka di batin saya ternyata ikut membentuk diri saya yang beranjak dewasa.
“Tanah airmu iku, kebacut pek, kaet biyen aku yo salah lek gawe tanda salib lak an! Mestie, dalam nama Bapa, Putera dan Bunda Maria.” Kelakar teman saya seorang Katolik, di masa hebohnya buku penuntun belajar yang dicetak resmi oleh salah satu kementerian “lolos” audit dan memuat isi ajaran yang salah kaprah.
Di hari gegeran soal buku pendidikan yang menulis Tuhan—orang Kristen dan Katolik—adalah Allah, Bunda Maria, dan Yesus Kristus itulah saya mulai menggunakan pertanyaan “Tanah Air Siapa?” dan tagar #tanahairbeta sebagai jawabnya dengan nada sinis penuh kemarahan. Saya merasakan cinta pada tanah air ini meredup, hingga dengan serius bersama suami, kami sempat bergumul, untuk mengikuti jejak salah satu kakak kandung saya yang sudah mengganti kewarganegaraan ke tempat lain. Pada akhir diskusi, kami bersepakat untuk tetap berjuang, walaupun idealisme tentang hidup berbhinneka tunggal ika mulai meluntur.
Photo by Visual Karsa on Unsplash
Sehari setelah dengan resmi diberitakan bahwa Indonesia batal menjadi tuan rumah piala dunia U20, saya bersama suami mengikuti sebuah sarasehan kebangsaan bertajuk “Indonesia Punya Siapa?” di GKI Manyar Surabaya. Saya bersyukur memutuskan untuk hadir dan pulang dengan sebuah bekal keyakinan bahwa masih ada harapan. Disampaikan oleh Pdt. Andri Purnawan bahwa ketika kita memberi embel-embel pada tahun 2024 sebagai “tahun politik” maka sebenarnya kita sedang mengurangi kesakralan dari politik itu sendiri.
“Jika 2024 adalah tahun politik, maka 2023 itu tahun apa?” Pertanyaan retorika dari Pdt. Andri saya jawab dengan candaan, “Tahun kelinci, Pak.” Jadi ditegaskan kembali bahwa politik bukan hanya sekedar pemilu.
Dengan lugas, Pdt. Andri mengimbau kita umat kristen mulai belajar untuk lebih partisipatif dalam hidup berbangsa dan bernegara. Menggunakan hak suara pada saat pemilu berlangsung memang bisa dikategorikan ke dalam bentuk partisipasi. Namun, itu saja tidak cukup! Dalam sarasehan yang sama Gus Aan Anshori juga mengungkapkan sebuah fakta bahwa banyak orang Kristen yang sudah menjadi apatis terhadap negara sendiri. Tidak sedikit yang memilih untuk diam, beberapa ada yang menjadi marah, dan ada juga yang hanya pasrah—bukan berserah, melainkan lebih ke arah, “Wis wegah!”*
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pdt. Andri memberikan beberapa gagasan yang bisa digunakan oleh gereja untuk bisa lebih berpartisipasi dalam eksistensinya di dalam sebuah negara; seperti mengadakan kegiatan sarasehan kebangsaan dengan melibatkan lebih banyak pihak, dan ada juga himbauan untuk mendaftarkan diri untuk bisa aktif terlibat dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Photo by Rio Lecatompessy on Unsplash
Saya mendapatkan gagasan yang lain terinspirasi dari sarasehan di malam itu. Jika Ignite People cermati, dalam tulisan saya kali ini ada beberapa penggalan kalimat yang dengan sengaja saya sajikan tercetak tebal. Ada satu konsistensi ide dari semua kalimat yang saya cetak tebal. Membuat keputusan, memilih, menetapkan, menyepakati, melakukan, menghadiri, semua itu adalah hal-hal yang bisa kita lakukan sebagai warga negara yang lebih berpartisipasi.
Mungkin ada di antara Ignite People yang bisa memulai dengan memutuskan untuk mencintai negara ini, atau memilih untuk tidak memelihara kepahitan dan mengukirnya di dalam hati sampai menjadi luka yang borok busuk bau dan menjijikkan. Mungkin ada juga yang seperti saya, tiba di titik jengah, muak dan nyaris menjadi apatis. Apa pun pergumulan kita mengenai bangsa-yang-"mungkin"-sulit-dikasihi, kita perlu memohon kepada Tuhan agar dilimpahi hikmat dan belas kasihan-Nya dalam memulai langkah partisipasi—menghadiri kegiatan sarasehan serupa atau bahkan memprakarsainya adalah salah dua contohnya.
Terlepas apapun status kecintaan kita terhadap negara ini, kita bisa memulai partisipasi politik dengan sesederhana menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar secara konsisten; kita juga bisa memulai partisipasi dengan hadir tepat waktu, menghapus pemikiran bahwa jam karet adalah cerminan dari budaya Indonesia. Kita bisa mulai membuka diri bersahabat dengan mereka yang tidak atau belum mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, semata-mata murni karena kita mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22:39).
Langkah yang lebih ekstrim, bagi Ignite People yang mungkin adalah seorang pemimpin di gereja tempat anda berjemaat, anda dapat menggagas tema-tema ibadah yang lebih beragam, mengajak umat menjadi garam yang tidak hanya diam di air laut, bahwa tanggung jawab kita sebagai manusia seistimewa kepercayaan yang Tuhan berikan untuk Adam dan Hawa, bukan sekedar beranak-cucu dan bertambah banyak—melainkan kita dipanggil untuk mengerjakan mandat budaya berupa pemeliharaan dan pengelolaan bumi ("menguasai bumi," demikian firman Tuhan dalam Kejadian 1:28).
Saya memilih beberapa tindakan, salah satu di antaranya adalah menggunakan waktu istirahat saya untuk menulis artikel ini, seraya memanjatkan doa agar kiranya artikel ini bisa memantik harapan.
“Hurt people, hurt people; healed people, heal people.” Jika yakin telah dipulihkan oleh kebangkitan Kristus, masihkah kita mau tinggal diam memilih peran sebagai korban (playing victim)?
Indonesia tanah air siapa? Tidak dengan sinis, dengan penuh cinta saya proklamirkan, "Indonesia itu tanah air beta sampai akhir menutup mata!"
*wis wegah = sudah ogah, sudah segan (bahasa Jawa)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: