Saya yang sebelumnya selalu menghitung kemalangan yang keluarga kami alami, yang selalu menghitung hal-hal yang harus saya korbankan, kini mulai bersyukur dan menghitung berkat-Nya.
Ada dua hal yang saya tidak suka dalam menunggu. Yang pertama adalah apabila saya tidak dapat mengusahakan apa pun, dan hanya bisa menunggu secara pasif untuk melihat apa yang akan terjadi. Yang kedua adalah ketika dalam menunggu saya tidak punya kepastian, karena semua yang terjadi di luar kontrol saya.
Januari 2013 adalah masa terberat dalam hidup saya dan keluarga. Pada tanggal 16 Januari 2013, ibu saya mengalami henti jantung di sebuah rumah sakit di Singapura. Ibu saya berhasil diselamatkan setelah mengalami henti jantung selama 2x20 menit. Jantungnya kembali berdetak, namun beliau dalam keadaan tidak sadar atau vegetative state, hingga saat tulisan ini dibuat.
Dokter yang menangani ibu saya mengatakan peristiwa ini adalah risiko operasi, sementara dokter yang menangani ibu saya di ICU mengatakan, kemungkinan ibu saya sadar dan sembuh sangat kecil, dan bahwa kami hanya bisa berharap dan menunggu keajaiban. Hari itu saya dan kedua adik saya benar-benar hancur. Ada rasa marah dalam diri saya. Setelah ayah kami Engkau panggil dua tahun lalu, sekarang apalagi, Tuhan?
Tiga bulan setelah peristiwa itu, kami sepakat membawa ibu pulang ke rumah kami di Jakarta. Keadaan tidak menjadi lebih mudah. Banyak hal yang harus kami persiapkan di rumah untuk bisa merawat ibu kami dengan baik. Saat itu saya masih menjalani masa kepaniteraan klinik di sebuah rumah sakit di Surabaya, adik pertama saya masih kuliah di Bandung, dan adik saya yang bungsu masih duduk di bangku SMA di Jakarta. Dengan kerja sama keluarga besar kami berusaha melakukan yang terbaik untuk merawat ibu di rumah. Lalu selanjutnya, apa yang bisa kami lakukan? Ya, kami menunggu.
Saya hanya bisa menunggu. Saya sebagai seorang dokter (saat itu calon dokter), mengetahui bahwa saya tidak bisa mengusahakan apapun. Saya tahu bahwa kerusakan otak karena sempat tidak terpenuhi kebutuhan oksigennya dalam jangka waktu tertentu adalah hal yang irreversible. Fakta bahwa saya tidak dapat melakukan apa pun, bahwa saya tidak dapat menolong ibu saya sendiri, begitu menyakitkan bagi saya. Fakta ini juga yang menumbangkan segala kesombongan saya yang sangat mengandalkan ilmu pengetahuan.
Saya merasakan bagaimana di masa menunggu yang penuh ketidakpastian ini, dapat terjadi dua kemungkinan: kita semakin dekat dengan Allah, atau justru jatuh ke dalam pencobaan dan semakin jauh dari Dia.
Ada masa-masa saya berdoa dengan sangat tekun, merasa berhak memohon (bahkan memaksa) kesembuhan untuk ibu saya, terkadang diselingi lantunan, “kehendak-Mu yang jadi, Tuhan”. Ada masa-masa pasrah dan bukan justru berserah. Ada pula masa-masa saya mengusahakan segala cara, mulai dari cara-cara yang baik hingga cara-cara yang saya tahu Allah benci. Berulang kali saya mengalami jatuh-bangun dalam keimanan saya kepada Allah. Berulang kali saya meragukan penyertaan-Nya. Tetapi berulang kali juga dengan pengampunan dan kasih-Nya yang begitu besar, Allah merengkuh dan mengangkat saya lagi.
“The Teacher is always quiet during the test,” adalah quotes yang sempat saya pegang saat itu. Namun tidak lagi relevan, karena yang saya alami adalah bahwa ternyata Allah tidak pernah diam. Dia terus bekerja dalam hidup saya dan keluarga. Dalam hampir enam tahun masa menunggu ini saya kembali merefleksikan apa yang sudah saya dan keluarga saya lalui. Saya yang sebelumnya selalu menghitung kemalangan yang keluarga kami alami, yang selalu menghitung hal-hal yang harus saya korbankan, kini mulai bersyukur dan menghitung berkat-Nya.
Saya berusaha melihat masa menunggu ini dari sisi yang berbeda. Ternyata Allah tidak pernah absen dalam kehidupan kami. Penyertaan Allah selalu nyata. Saya dan kedua adik boleh lulus kuliah dan memiliki pekerjaan yang baik. Allah mengajar kami bertiga untuk saling mengasihi dan menopang. Kami bersyukur memiliki satu sama lain. Rasa rindu akan kasih sayang ibu kepada kami bertiga membuat kami bersyukur betapa Allah memberkati kami dengan memberikan ibu (dan ayah) yang baik kepada kami.
Allah juga memberikan kami keluarga besar yang selalu mengasihi dan mendukung kami bertiga dengan sepenuh hati. Ayah dan ibu saya sangat diberkati memiliki kakak, abang, dan adik seperti mereka. Selama hampir enam tahun ini Allah selalu mencukupkan kebutuhan perawatan ibu dan kebutuhan kami sekeluarga. Saya percaya tidak hanya enam tahun ini, tetapi selanjutnya juga Allah akan selalu beserta kami sekeluarga.
Saya yang tidak dapat mengusahakan apa pun di masa menunggu ini belajar untuk rendah hati, berserah penuh, dan mengandalkan Allah. Saya diingatkan kembali bahwa Allah berdaulat dalam hidup saya dan keluarga saya. Allah mengajar saya untuk menyerahkan kekhawatiran saya kepada Dia dan percaya saja.
Hari ini, walaupun saya masih tidak tahu maksud Allah dan akhir masa menunggu ini, saya merasa aman dan damai karena saya mengenal Dia yang saya percaya. Saya percaya dua hal yang pasti: rancangan Allah adalah rancangan damai sejahtera, dan Dia akan membuat segalanya indah pada waktu-Nya.
Suatu saat nanti saya akan melihat kembali ke masa menunggu ini, setiap proses dengan segala senang dan sakitnya, dan bersaksi bahwa penyertaan dan kasih setia Allah nyata dalam hidup saya. Satu lagu kidung ini kerap kembali menguatkan saya dan para saudara saya di tengah masa penantian ini, dan saya pilih untuk menjadi penutup tulisan ini.
I don't know about tomorrow;
I just live from day to day.
I don't borrow from it's sunshine
For it's skies may turn to grey.
I don't worry o'er the future,
For I know what Jesus said.
And today I'll walk beside Him,
For He knows what is ahead.
Many things about tomorrow
I don't seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand.
I Know Who Holds Tomorrow - Ira F Stanphill
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: