Meratap untuk Melawan - Ketika Rasa Sakit Berteriak

Best Regards, Live Through This, 15 May 2019
“Pain insists upon being attended to. God whispers to us in our pleasures, speaks in our consciences, but shouts in our pains. It is his megaphone to rouse a deaf world.” – C. S. Lewis

Museum MACAN dan Yayoi Kusama. Mungkin dua nama ini pernah kita dengar. Ya, Museum MACAN adalah sebuah museum seni modern dan kontemporer di Jakarta yang mulai tanggal 12 Mei hingga 9 September 2018 menggelar pameran lebih dari 130 karya seorang seniman Jepang bernama Yayoi Kusama, dengan tajuk “Life is the Heart of a Rainbow”. Saya yakin tidak sedikit dari kita yang berdomisili di Jakarta pernah mendatangi pameran tersebut, kemudian menyaksikan karya-karya yang penuh komposisi warna cerah dan motif polkadot, serta mengabadikannya lewat jepretan kamera dan unggahan foto di media sosial. Ribuan pengunjung datang setiap harinya, bahkan sampai ada beberapa karya yang rusak karena antusiasme yang begitu tinggi tidak diiringi kehati-hatian.[1]

Namun, ternyata di balik keindahan karya-karya unik tersebut, ada rasa sakit yang mendasari.

mediotejo.net

Sejak usia 10 tahun, Kusama sering berhalusinasi. Belakangan dia didiagnosis mengalami kondisi mental yang disebut Depersonalization Disorder (DPD). Depresi berat dan masalah jantung juga mengiringi perjalanan hidupnya. Hal ini menyebabkannya memilih tinggal di rumah sakit jiwa Seiwa di Tokyo sejak 1977.[2] Namun itu semua tidak menghalanginya terus berkarya. Motif polkadot yang menjadi ciri khas berbagai karya yang Kusama hadirkan tidak lain diambil dari imaji halusinasinya. Bahkan Kusama pernah bertutur, “Bila bukan karena seni, aku mungkin sudah bunuh diri sedari dulu.”[3]

Tak dapat dibayangkan bagaimana perjuangan jatuh-bangun Kusama menghadapi penyakitnya. Bahkan beratnya pergumulan yang dia hadapi terus menyatakan diri lewat karya yang dihasilkan. Seni digunakan sebagai alat perlawanan diri dan medium untuk berteriak soal apa yang Kusama alami.

Refleksi mengenai Kusama mengajak saya untuk menilik bagian Perjanjian Lama yang menghadirkan gema-gema penderitaan sebuah bangsa, namun juga menyerukan secercah harapan untuk bangkit: Kitab Ratapan.

RATAPAN: RAUNGAN BANGSA YANG TERLUKA

Pembacaan kitab Ratapan hingga selesai mungkin akan menghasilkan sebuah kesimpulan: kitab ini begitu murung dan sedih. Bila kita melihat kekristenan sebagai agama yang penuh pujian, rasa syukur, dan pengharapan, kita mungkin akan terkaget-kaget melihat bagaimana Ratapan dipenuhi dengan ungkapan rasa sakit. Walter Brueggemann, seorang teolog Perjanjian Lama, menaruh curiga bahwa ungkapan-ungkapan penderitaan seperti yang terdapat di Ratapan menjadi barang aneh dan tidak mengenakkan bagi gereja, bahkan secara tersirat ditabukan sehingga tidak banyak diperbincangkan dan diulas. Akibatnya, kita menjadi tidak diperlengkapi untuk menghadapi kehilangan, trauma, dan rasa sakit yang mau tidak mau harus dihadapi dalam kehidupan yang penuh pergumulan ini.[4]

Photo by Ben Hershey on Unsplash

Ratapan sendiri adalah kitab yang secara tradisi rabinik Yahudi dan gereja dipercayai dituliskan oleh nabi Yeremia. Kitab ini terdiri dari 5 puisi ratapan berstruktur rapih dari masa Israel kuno yang awalnya diucapkan dan dinyanyikan secara oral dari generasi ke generasi. Sumbernya adalah ungkapan perasaan-perasaan bangsa yang baru mengalami kekalahan besar.

Bangsa Yehuda dan Yerusalem jatuh ke tangan Babilonia pada tahun 587/586 SM. Kerajaan Yehuda dan ibukotanya, Yerusalem, sebelum peristiwa kejatuhan, begitu percaya diri pada keberadaannya sebagai bangsa pilihan Allah yang akan selalu dilindungi-Nya sepanjang masa. Tidak mungkin akan ada bangsa lain dengan allahnya yang akan menaklukkan mereka, mungkin demikian pikir mereka saat itu.

Namun kenyataannya, bangsa Yehuda, termasuk Yeremia di dalamnya, menjadi saksi mata atas hancurnya segala keagungan dan kemegahan yang diluluhlantakkan lewat serangan tentara Babilonia yang begitu dominan. Dalam dua tahun, Yerusalem direnggut, dinding-dinding kota dihancurkan, Bait Allah pun runtuh, dan akhirnya mereka mengalami pembuangan. Timbul begitu banyak pertanyaan yang amat sulit untuk dijawab. Bagaimana mungkin? Mengapa ini bisa terjadi? Apakah memang benar ada allah yang lebih mahakuasa? Atau jangan-jangan Allah sedang murka dan menghukum Yehuda? Mengapa Dia membiarkan segala penderitaan ini?

Sang Peratap berpuisi, bertutur, mengutarakan kesedihan sebuah bangsa yang menderita luka yang begitu menganga dan rasa sakit yang begitu kuat. Penggambaran akan kehancuran-kehancuran yang terjadi di Yerusalem seakan menegaskan penghukuman Tuhan. Dia mengizinkan segala hal itu terjadi karena begitu nyata dosa dan penyimpangan mempengaruhi kehidupan bangsa Yehuda. Lewat kata-katanya, Sang Peratap menggunakan medium puisi untuk menangkap pengalaman kepahitan manusia menghadapi tragedi dan kesakitan.

Namun dalam kesedihannya, Sang Peratap juga melawan. Sang Peratap menyelipkan seruan untuk tidak kehilangan harapan dan berani berharap saat rasanya tidak ada alasan untuk melakukannya. Lewat beberapa bagian, Sang Peratap bahkan mengajak untuk mempertanyakan keputusasaannya. Petikan-petikan dari Ratapan 3 menggemakan secercah keyakinan akan masa depan yang ada dalam lingkup rangkulan kasih Allah. Sang Peratap, dalam kesedihannya, menantang untuk kembali berharap dan melawan kejatuhannya. Secara paradoks, dalam ratapannya, Sang Peratap menantang untuk bangkit.

UNDANGAN UNTUK BANGKIT

Photo by William Randles on Unsplash

Maka, lewat refleksi atas puisi-puisi Sang Peratap, kita diundang untuk mempertanyakan momen-momen kejatuhan kita. Alih-alih merenungi tanpa henti mengapa hal buruk harus terjadi, kita diundang untuk menyiapkan diri menghadapi keniscayaan tragedi dan kejatuhan, bahkan lebih dari itu, untuk mengkritisi dan melawan. Ratapan bukanlah menjadi ungkapan tanpa makna. Malah, ratapan dapat dipandang sebagai sinyal bahwa kita belum mati rasa atas rasa sakit yang berteriak. Ratapan adalah tanda kepekaan kita akan dunia dan kemanusiaan yang sejatinya jauh dari “baik-baik saja”. Ratapan merepresentasikan kerinduan tak tertahan akan hadirnya Sang Juruselamat. Kerinduan untuk melihat dunia yang diperbarui oleh Allah yang menyatakan diri dalam Kristus, yang menggerakkan segala sendi kehidupan. Ratapan adalah undangan awal untuk bergerak menghadirkan kasihNya. Ratapan menuntut untuk bertindak atas dasar refleksi yang kuat, yaitu janji Allah untuk terus beserta dalam titik terendah sekalipun. Allah yang hadir mengambil bagian tepat di titik medan gumul-juang setiap kita. Karena hidup kita memang layak untuk diperjuangkan.

AJAKAN UNTUK MELAWAN

Kitab Ratapan mengundang saya untuk melihat diri dengan segala jatuh-bangunnya. Pernah ada masa di mana setiap hari saya mengharapkan kematian diri sendiri. Namun Tuhan terus memberikan pagi yang baru, tanpa henti, hingga sekarang ketika saya terus diizinkan untuk bangkit dan memperbaiki diri. Sedikit demi sedikit, dapat saya lihat tuntunan-Nya dalam setiap jejak langkah, terus menerus menopang ketika saya meratapi nasib dan dosa pribadi. Seakan dalam kehancuran saya, Dia terus menghibur dan membisikkan dengan lembut:

“Tenang. Sabar. Aku akan terus menemanimu.

Ayo, kita lawan bersama-sama.”

“Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:21-23)

Referensi:

1] https://hot.detik.com/art/d-4030860/karya-yayoi-kusama-dirusak-pengunjung-di-museum-macan-jakarta-ada-apa

2] https://arthive.com/publications/2463~Ten_facts_you_need_to_know_about_Yayoi_Kusama_The_Queen_of_PolkaDots

3] https://publichouseofart.com/articles/yayoi-kusamas-imagination-magical%20mystery%20tour

4] https://onbeing.org/programs/walter-brueggemann-the-prophetic-imagination/

https://www.theologyofwork.org/old-testament/jeremiah-lamentations/jeremiah-the-poet-at-work-lamentations

Wilma Ann Bailey & Christina Bucher – “Believers Church Bible Commentary – Lamentations & Song of Songs” (2015)

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER