Sampai kapan roda kelelahan ini terus berputar?
Beberapa kali orang tuaku pernah bercerita waktu masih balita, aku pernah hampir kejatuhan vas beling dari atas lemari. Ga kebayang jika kala itu orang tua tak ada di sisiku, mungkin kepala ini bocor, dan bahkan bisa jadi aku udah damai sentosa di surga bersama-Nya.
Andaikan seperti itu yang terjadi...
Dengan kondisiku ini, rentan bagiku terhadap ‘kematian’. Bukan karena hidrosefalus itu sendiri, tapi karena postur tubuh ini seiring dengan perkembangannya. Dalam masa pertumbuhanku, tubuh yang seharusnya bertambah tinggi justru membuat tambah membungkuk. Akibatnya, paru-paru ini cenderung tertekan. Beberapa kali aku menjalani opname di rumah sakit, tak lain karena ini, sehingga seringkali aku hampir tak ada.
Tapi Tuhan, kenapa Kau izinkanku tetap selamat?
Kalau ditanya, “Jadi, kamu ga bersyukur Tuhan masih memberi kesempatan padamu untuk hidup?”, jawabannya AKU TETAP BERSYUKUR! Hanya rasanya aku lelah!”
Lelah fisik, lelah pikiran, lelah hati pula, Tuhan!
Photo by Anthony Tran on Unsplash
Pikiran kayak gini sebenarnya kayak orang bimbang, sih. Ibarat kata pepatah, "Hidup segan, mati pun tak mau".
Hidupku memang selalu dikelilingi oleh orang-orang baik, perhatian, dan juga sayang padaku. Aku yakin kalau ini anugerah Tuhan karena Dia sayang diriku. Sampai saat ini, aku ada pun karena kasih Tuhan. Namun, di balik itu bukan berarti sama sekali ga ada orang yang suka "nyinyir", bikin down, atau bahkan iri denganku (walaupun aku malah bingung, apa yang bisa bikin orang lain iri ke aku? Hehe).
Sebagai orang percaya dan udah menyerahkan diri kepada Tuhan Yesus Kristus untuk dilahirbarukan, aku merasa seharusnya aku ga boleh patah semangat, harus tegar, dan selalu bersukacita walau ada orang-orang yang kurang suka denganku ataupun situasi sekitar lagi ga kondusif. Meski begitu, “Aku ini kan juga manusia biasa yang punya perasaan!”
Terselip dalam doaku tiap pagi, “Tuhan, biarlah Kau pakai hidupku seturut kehendak-Mu. Tolong berikan aku hikmat untuk memahami apa yang hendak Kau sampaikan padaku.”
Memang tak ada yang pernah mengatakan bahwa hidup sebagai orang percaya itu selalu dijamin menyenangkan dan baik-baik saja. Yesus Kristus yang adalah Anak Allah—dan Tuhan—pun turun ke dunia menjadi manusia, selanjutnya justru menanggung siksaan karena dosa manusia. Siksaan yang diterima-Nya bahkan berujung pada kematian di kayu salib, seolah-olah menunjukkan bahwa Dia adalah orang yang terkutuk di hadapan Allah dan manusia. Ironis! Padahal, Yesus sendiri adalah Anak Allah yang menjadi manusia. Di dalam kemanusiaan-Nya, kalo memang ga kuat menanggung beban, sah-sah aja seandainya Yesus ingin menggunakan kuasa-Nya agar dapat terlepas dari siksaan. Toh, bukannya sebenarnya Dia menderita juga bukan karena kesalahan-Nya, melainkan dosa-dosa kita?
Photo by Melissa Askew on Unsplash
“Dalam doa, aku udah selalu bilang mau buat nyerahin hati dan pikiran biar dipimpin Tuhan. Berarti... harusnya aku juga siap menerima dan menjalani kehidupan ini, dong, walaupun aku bakal masih tetep bisa merasa lelah? Bukannya hidup bakal terus berputar?”
Beneran ga mudah, ya, buat mengimani kalau Tuhan selalu beserta ketika kita justru merasa sebaliknya. Meskipun bisa hapal ayat Alkitab yang menyatakan Dia adalah Allah yang adil dan peduli, nyatanya untuk melihatnya dengan iman itu sulit. Kita malah bertanya-tanya, "Benarkah Dia peduli? Kalau iya, kenapa aku masih menderita?"
Berbicara tentang penderitaan, aku teringat pada kisah Ayub, salah satu tokoh dalam Alkitab yang sepertinya merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan, bahkan jauh lebih berat. Yaps, orang yang saleh di hadapan Allah juga bisa menderita, dan (ironisnya) dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya demikian!
Ayub merupakan seorang yang kaya raya dari tanah Us (bisa dibaca di Ayub 1). Hidupnya begitu saleh dan jujur. Dia hidup dengan takut akan Allah dan menjauhi segala kejahatan. Nah, untuk menguji kesalehan Ayub, Iblis ingin mencobai Ayub atas seizin Allah. Meski Ayub hidup takut akan Allah, pada hakikatnya dia juga manusia biasa yang punya perasaan, hingga menjadikannya berkeluh kesah.
Sebelum penderitaan lebih dalam, siapa, sih, yang ga sedih ketika segala kepunyaannya raib? Umumnya, sebagai manusia biasa, kita pasti begitu terpukul. Lalu ini, baru saja kepunyaan Ayub dijarah, dia juga harus kehilangan anak-anaknya yang direnggut nyawa.
Dan itulah yang dialami Ayub.
Penderitaannya seakan-akan ga pernah usai. Iblis mencobai Ayub dengan memberikan barah yang busuk dari kepala sampai ujung telapak kakinya. Alih-alih memberi dukungan dan mendoakan, orang-orang terdekat seperti istri maupun sahabat-sahabatnya justru semakin menguji iman Ayub.
Makin lama dan bertubi-tubinya masalah yang kian dihadapi, Ayub pun berulang kali menggerutu. Wajar aja, sih, kalo dia gitu. Kehilangan hartanya sekaligus, anak-anaknya mati dalam waktu bersamaan, belum lagi barah yang menjijikkan dan menyakitkan harus diterimanya untuk alasan yang tidak dia ketahui seutuhnya. Tidak heran kalau dia sangat berduka dan bergumul atas kehilangan demi kehilangannya ini. Luar biasanya, dia sama sekali ga menyalahkan Tuhan. Padahal tergambar jelas gimana cemooh datang berlimpah.
Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" - Ayub 2:10b -
Kalo ditarik ke masa kini, andaikan iman Ayub ga kuat, mungkin bisa jadi tergolong persoalan mental health seperti yang telah menjadi fokus dimana-mana.
Sebenarnya bukan hanya Ayub yang bergumul dalam kesedihan demikian. Di dalam Alkitab, masih ada tokoh lain yang diceritakan mengalami depresi yang sangat berat, seperti Rut dan Daud. Rut baru saja kehilangan suaminya, dan dia memutuskan pindah ke kota asing bersama Naomi, mertuanya yang pahit hati atas kematian tiga pria penyokong kehidupannya. Begitu pula Daud, yang depresi karena dikejar-kejar oleh Saul, bahkan setelah menjadi raja pun dia harus menyingkir karena Absalom, anaknya sendiri, mau membunuhnya. Akan tetapi, di tengah-tengah kondisi buruk seperti itu, mereka terus mempertahankan iman di hadapan Tuhan, sang gunung batu yang kokoh itu.
Photo by Jasmin Ne on Unsplash
"Tapi mereka, kan, tokoh Alkitab yang emang diceritakan bisa melalui permasalahan bersama Tuhan. Gimana denganku?"
Tidak ada salahnya untuk menyambut rasa lelah, duka, dan kepedihan itu, Ignite People. Itulah sebabnya Tuhan memberikan kita kemampuan untuk mengekspresikan emosi dan pikiran kita, karena kita diciptakan-Nya segambar dan serupa dengan-Nya. Namun, pertanyaannya adalah... apakah Ignite People menyadari apa yang sedang terjadi? Apakah Ignite People mau menyerahkan hati yang hancur kepada Tuhan (walaupun saat ini kehadiran-Nya terasa abstrak, bahkan absen) untuk diubah-Nya menjadi cara-Nya menyapa orang lain yang mengalami pergumulan serupa?
Mungkin di antara Ignite People atau teman-teman kita di luar sana pernah atau bahkan sedang merasakan lelah yang luar biasa. Tidak apa-apa. Justru di dalam kerapuhan kita, kuasa Allah menjadi nyata—bahkan melampaui akal pikiran kita. Kiranya Allah yang sama juga berkenan memampukan kita untuk terus mempertahankan iman dengan setia hingga garis akhir nanti! (Aku mengatakannya bukan karena mampu, melainkan juga mengingatkan diri sendiri)
Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.
- Yakobus 5:16b -
Bawalah setiap nafas hidup kita kepada Allah! Karena, bukankah hanya Sang Pencipta yang mengetahui, memahami, serta memperlengkapi segala ciptaan-Nya seturut tujuan-Nya?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: