Tidak ada sia-sia dari luka yang diobati, meskipun pengobatannya berlangsung seumur hidup.
"Aku lagi healing, nih, di ******." - isilah sesuai destinasi wisata yang Ignite People pikirkan pertama kali
"Daripada buang duit banyak buat healing, mending di kos aja sambil nonton Netflix."
"Ah, jajan ke kafe cantik aja kali, ya, buat proses healing. Kan, mau self-love."
Healing, healing, o healing.
Sejak makin dikenal masyarakat, isu kesehatan mental memunculkan banyak istilah di mana-mana, termasuk healing. Healing sendiri sebenarnya sudah jelas bermakna "pemulihan", tetapi benarkah jika istilah ini hanya diasosiasikan dengan hobi atau (bahkan) kegiatan untuk escape dari masalah kehidupan? Lalu, apakah healing selalu berhubungan dengan pelesiran ke tempat-tempat cantik nan hits?
Sebagai manusia, kita memiliki tiga jenis insting ketika menghadapi masalah, yaitu fight, flight, dan freeze. Freeze ini sendiri sebenarnya bisa berujung pada salah satu dari dua pilihan lainnya. Perlu diingat bahwa respons kita terhadap masalah dipengaruhi oleh background dan kepribadian kita. Artinya, setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menghadapi masalah. Namun, ada kalanya kita juga butuh mengambil jeda dalam memproses masalah tersebut, karena jika bertindak dengan impulsif (atau malah menarik diri secara berlebihan), kita justru akan menorehkan luka yang makin parah.
Photo by Yoann Boyer on Unsplash
Lalu, bagaimana jika masih ada luka yang kita bawa hingga saat ini?
Sebenarnya untuk sampai pada kesadaran ini membutuhkan waktu yang beragam. Ada yang sanggup menyadarinya dengan cepat karena dia dibesarkan di dalam keluarga yang kondusif, atau lingkungannya suportif untuk menolongnya bergerak mencari bantuan. Sayangnya, tidak sedikit yang baru menyadari luka tersebut ketika masalah demi masalah yang ada mengganggu fungsi hidupnya, sementara akarnya justru sudah timbul sejak bertahun-tahun sebelumnya. Ibarat luka yang bernanah, jika tidak segera diobati, luka batin juga membutuhkan pemulihan—misalnya melalui konseling dan terapi. Uniknya, luka yang diobati itu bisa menjadi luka yang memberkati, lo. Iya, karena siapa yang sanggup memahami orang lain yang memiliki masalah yang serupa kalau bukan orang yang pernah mengalami pengalaman yang serupa? Meskipun bisa saja ada konselor atau psikolog (bahkan hamba Tuhan) yang tidak mengalaminya, tetapi biasanya orang yang memiliki pengalaman dalam pergumulan yang serupa akan lebih bisa membayangkan kondisi dari orang tersebut.
Memangnya Tuhan mau memakai luka ini?
Oh, jelas. Tuhan mau, bahkan Dia tidak segan untuk mengubah luka yang dipandang remeh dan hina (bahkan najis) oleh orang lain (mungkin kita juga termasuk di dalamnya) menjadi sarana-Nya untuk menolong kita mengenal diri dengan lebih utuh lagi. Tidak hanya itu, luka yang dipulihkan juga memampukan kita memiliki pengenalan akan Tuhan yang diperkaya. Kita tidak lagi auto bilang bahwa Tuhan itu baik, tetapi ada penghayatan di dalamnya bahwa sekalipun kita terluka, Tuhan tetap bersama-sama dengan kita dan mau memulihkan dengan cara-Nya yang ajaib, dan bukankah itu artinya Dia baik? Kita juga tidak hanya mengenal Tuhan sebagai Allah yang mencukupkan segala sesuatu, tetapi juga Pemulih dan Sahabat. Jika pernah terluka di dalam relasi bersama dengan orang tua, melalui proses pemulihan (dan dengan pertolongan Roh Kudus, tentunya) kita akan dimampukan untuk mengenal dan menyebut Tuhan sebagai Bapa yang mengayomi seperti ibu. Bagi yang pernah terluka karena relasi yang manipulatif atau dikhianati, proses pemulihan akan menolong kita untuk mengenal Tuhan sebagai satu-satunya Kekasih dan sumber kebahagiaan yang sejati.
Kisah-kisah proses pemulihan kita akan memampukan orang lain menemukan bahwa masih ada pengharapan di dalam Tuhan untuk pulih, dan memiliki fungsi hidup yang berkenan di hati-Nya.
Bagi Minbi, adalah percuma jika kita bisa pelesiran ke mana saja demi "healing" tetapi jiwa kita tidak benar-benar mendapatkan bantuan serius dari tenaga profesional. Namun, mungkin Ignite People memiliki pandangan yang berbeda, atau tergerak untuk menanggapi ed letter kali ini. Karena itu, kami tunggu kontribusinya di dalam tajuk The Wounded Healer ini, ya!
By the way, tanggal 12 Maret ini akan ada Ignite Conference 2022 yang bertemakan "Healing". Mari, daftarkan diri Ignite People karena form pendaftaran masih dibuka hingga 8 Maret 2022!
Dari yang sudah (dan akan terus) menikmati proses "healing",
Minbi
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: