agnostik/ag·nos·tik/n orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui; ateis/ate·is/ /atéis/ n orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan.
Penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia ini memaparkan dua kata yang mungkin membuat sebagian orang Indonesia yang begitu taat beragama berjengit. Takut, jangan-jangan dua kata itu bisa mendeskripsikan orang dekat mereka.
Tentu saja kata-kata itu juga mengkhawatirkanku, terlebih ketika menjadi pengurus gereja. Ada kekhawatiran orang-orang yang kulayani menjadi tidak beriman lagi. Ada rasa bersalah bila orang setaat aku membiarkan begitu saja orang-orang yang kehilangan iman di sekitarku. Aku harus memperjuangkan mereka untuk “kembali kepada Kristus!”
Sampai pelan-pelan aku sendiri malah menjadi lelah dan muak.
Lelah dan muak dengan dengan segala tetek bengek birokrasi di gereja beserta aktivis-aktivisnya yang penuh permainan politik. Jijik dengan kemunafikan lingkungan sekitarku yang sebagian besar Kristen. Bosan dengan ritual-ritual, doa dan firman yang terasa hampa, hanya omong kosong, tidak bernas.
Aku semakin malas beribadah. Kemudian aku mulai meragukan keberadaan Tuhan. Pelan-pelan aku membenci segala pengajaran agama yang pernah dijejalkan ke otakku, oleh pendeta, orang tua, guru, dan masyarakat secara umum.
Semua itu terasa begitu palsu, tidak autentik, bahkan tidak relevan. Pelan-pelan aku berubah menjadi yang selama ini aku takutkan. Aku menolak keberadaan Tuhan, pun melihat eksistensi-Nya (atau ketiadaan-Nya) sebagai hal yang tidak penting dalam kehidupan.
Aku mulai melihat agama sebagai akar berbagai kerusakan di dunia.
Aku “kehilangan” Dia.
Photo by Francisco Gonzalez on Unsplash
Selama beberapa tahun aku bertahan dalam posisi itu, menjalani hidup tanpa mempercayai tuhan jenis apapun. Ah, sungguh masa yang membebaskan, pikirku saat itu. Tidak perlu terikat dogma. Hanya fokus menjadi baik, bermoral, dan berguna bagi sekitar. Sungguh menyenangkan kala dapat bernyali mempertanyakan dan menertawakan segala lelucon yang sebelumnya kupercayai sebagai fakta tak terbantahkan dan tak bisa dipertanyakan. Kalaupun harus mengambil sesuatu dari agama, cukup beberapa hal positifnya saja. Tak perlu kuikuti aspek supranatural dan hal-hal “bodoh” lainnya.
Akupun memakai masa itu untuk mempelajari lagi agama dari awal. Sekadar mengincar konfirmasi bahwa agama memang hanyalah kebohongan, alat propaganda penguasa-penguasa dunia untuk mengendalikan perilaku rakyat jelata.
Aku semakin berkenalan dengan sejarah masa lalu gereja dan komunitas agama lainnya yang begitu berdarah. Di saat yang sama aku juga mulai mencoba membaca Alkitab secara penuh. Pada awalnya terasa terkonfirmasi bahwa “kitab suci” memang hanyalah buku fiksi, membicarakan hal-hal yang tidak riil dan penuh kontradiksi.
Namun seiring berjalannya waktu, aku merasakan keanehan.
Semakin membaca Alkitab dan merenungkan isinya, serta mempelajari masa lalu kekristenan, pelan-pelan kurasakan ada yang berubah.
Kenapa buku “fiksi” ini, terasa begitu menusuk keseharianku dan kehidupan nyata manusia?
Kenapa ajaran yang kuanggap omong kosong ini, bisa menyentuh jiwa-jiwa untuk saling memberi dan berkorban seperti jemaat gereja mula-mula?
Kenapa agama yang masa lalunya begitu berdarah ini, di saat yang sama sepanjang sejarah juga menggerakkan kemajuan peradaban, bahkan menumbuhkan ide penghargaan hak asasi manusia tanpa pandang bulu?
Kenapa konsep tuhan penuh amarah, pelan-pelan menjadi konsep Sang Maha Kuasa penuh belas kasih?
Kenapa pelan-pelan kurasakan ada kekosongan di hati yang perlu diisi sesuatu yang tak bisa aku deskripsikan?
Photo by Marcus Cramer on Unsplash
Kenapa kekristenan mulai masuk akal?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mencoba lagi untuk menaruh sepotong kecil “iman”. Alkitab semakin giat kubaca dan coba pahami. Kucoba dengarkan baik-baik khotbah pembicara. Kucoba ikuti lagi komunitas orang percaya, di gereja maupun di kampus, dalam lingkup persekutuan besar maupun kelompok kecil. Kucoba pahami keseharianku, lingkunganku, bagaimana konsep Tuhan bisa menembusi segalanya.
Pelan-pelan aku merasakan perubahan yang membuatku terkesima. Khotbah-khotbah terasa mulai akrab lagi. Penuh kasih menyapaku, namun juga menegurku.
Pembacaanku akan Alkitab semakin mendalam. Dengan lembut tapi pasti memasuki sudut-sudut terdalamku, menelanjangi motif-motif egoisku saat mempertanyakan agama. Pelan-pelan aku mulai berpikir bahwa aku menolak agama karena aku tidak berani dipertanyakan atas kesalahan-kesalahanku. Bahwa aku tidak sanggup menerima kebenaran yang menggelisahkan.
Aku mulai melihat pegiat-pegiat rohani dari kacamata berbeda, saat mereka menyambutku dengan kasih, mengajakku ikut persekutuan dengan ramah, melayani pertanyaan-pertanyaanku yang aneh dengan kerinduan mencari jawaban bersama-sama dan tanpa penghakiman, bahkan tidak memperlakukanku secara berbeda hanya karena pola pikirku tidak biasa. Singkatnya, menjadi sahabat spiritual yang hangat. Aku terus diajak untuk terlibat.
Aku mulai merasa damai lagi di tengah-tengah pemeluk agama bernama “Kristen” ini. Uniknya, rasa damai itu hadir di tengah segala ketidaksempurnaan yang terus kudapati. Aku masih terus mencari kelemahan dalam setiap khotbah dan menemukan potongan-potongan yang bisa kucibir.
Masih kulihat di sana-sini adanya kepalsuan, ketika melihat sapaan-sapaan aktivis rohani yang terlihat jelas dibuat-buat supaya terkesan ramah.
Akupun masih belum melihat Alkitab sebagai firman yang sempurna.
Lalu aku terkaget-kaget saat kusadari sesuatu.
Yang terutama berubah bukanlah “mereka”. Akulah yang pelan-pelan berubah.
Aku mulai melihat Kekristenan sebagai agama yang dianut orang-orang tidak sempurna, namun sepanjang sejarah terus mati-matian menunjuk kepada Sang Maha Sempurna.
Aku mulai melihat elemen ketulusan orang-orang beriman di sekitarku, yang rindu mendedikasikan hidup sebagai rasa syukur. Mengasihi bukan demi suatu target, namun sesederhana ungkapan syukur karena telah mengalami anugerah kasih terlebih dahulu.
Pelan-pelan mulai kupahami cara kerja Dia, Sang Maha Membolak-balikkan Hati.
Aku mulai melihat masuk akalnya keberadaan Sang Pencipta yang penuh kasih.
Pelan-pelan kutemukan Tuhan.
Oh, salah, bukan aku yang menemukan Tuhan.
Tuhan yang menemukan aku.
Aku tak bisa lari lagi.
Hingga suatu waktu, di altar gereja, aku mengambil keputusan.
Aku mengaku percaya.
Photo by Arjunsyah on Unsplash
Atas dasar inilah aku rindu berbagi pergumulan imanku. Aku percaya, kasih-Nya dengan sabar mengubahkan. Kasih inilah yang patut diteladani ketika menyambut rekan-rekan yang meragu dan merasa tersingkirkan. Bukannya terus berupaya menjadi “rumah sakit” (hospital), melainkan menjadi sahabat dalam perjalanan spiritual (hospitable spiritual friend).
Sebab kusadari, pada akhirnya aku bukan tunduk karena dikalahkan.
Aku tunduk karena merasakan kasih-Nya yang merengkuh dengan hangat, yang membuatku melihat segalanya dengan lebih jelas dan baik adanya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: