Allah yang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Allah yang me-manusia.
Siapakah Allah buat kamu?
Pertanyaan semacam ini sangat sering kita dengarkan ketika berada di komunitas rohani. KTB, persekutuan, PA, apapun namanya dan jenisnya. Jawabannya pun bisa bervariasi: guru, sahabat, orang tua, penasihat, dll. Meski demikian, ada benang merah dari segala jenis jawaban tersebut, yaitu bahwa kita menggambarkan Allah sebagai sosok yang memang “maha”. Paling tidak, Allah bagi kita (pada umumnya) adalah sosok yang berotoritas dan—yang pasti—lebih tinggi. Kita sangat sungkan untuk menggambarkan Allah yang—bahkan—tidak setara dengan manusia yang berdosa. Kita selalu menaruh posisi diri seperti Yohanes Pembaptis yang berkata, “Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak”.
Allah sang “Maha”
Saya tak ingin mengatakan bahwa imaji ini sepenuhnya salah. Justru sebaliknya, imaji tentang Allah yang “maha” itu adalah konsep yang tak lekang oleh zaman. Faktanya, jutaan tahun evolusi manusia pun telah membuktikan bahwa dalam setiap konteks masyarakat dan zaman tertentu, imaji Allah itu selalu ada. Sejak zaman purba, manusia sudah mengenal konsep tentang “the higher being”, yang disepakati bersama, dan sebutannya bisa apa saja. Jadi, homo sapiens itu bahkan dari awal peradaban manusia sudah mempunyai konsep -konsep teologi yang juga dasarnya sangat beragam. Umumnya, dari mengamati fenomena alam, tak jarang agama -agama kuno mengenal konsep memberi sesajen/persembahan pada objek tertentu supaya tak dilanda bencana, atau berdoa di bawah objek tertentu yang dipandang sakral.
Praktik memberi sesajen, salah satu praktik religius yang masih dilakukan untuk memohon supaya para dewa menjauhkan dari marabahaya.
( sumber : https://alif.id/wp-content/uploads/2018/03/sesajen-2-e1507272061590.jpg )
Pemikiran teologis semacam ini diwariskan, dan terus berkembang seiring zaman, bahkan melahirkan banyak sekali konsep kepercayaan termasuk kepercayaan monoteistik. Ya, agama monoteistik itu tidak lahir dari ruang vakum. Teks-teks Alkitab yang kita baca pun—secara progresif—menceritakan tentang bagaimana masyarakat Yahudi awal bergumul dengan konsep Allah yang monoteistik.
Dasar kekristenan: Allah yang menjadi manusia
Yang menarik dari teologi Kristen secara khusus adalah bagaimana pemikiran Allah monoteistik itu dibawa lebih jauh lagi: Allah yang monoteistik itu mewujud, berinkarnasi dalam sosok Yesus Kristus. Ini adalah konsep yang nyeleneh, tidak biasa, dan—tentu saja—sangat berani.
Kok, bisa, Allah itu menjadi manusia? Lahir dari rahim seorang perempuan, bisa menangis, bisa marah, bahkan bisa mati? Banyak bukti yang diberikan oleh para penulis kitab Injil mengenai kemanusiaan Yesus; misalnya saja ketika Dia lapar setelah berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun (Matius 4:1-11), merasa letih dalam perjalanannya menuju Galilea dan beristirahat di pinggir sumur di Samaria (Yohanes 4:1-42), dan bersedih—bahkan menangis—melihat kedukaan yang dialami oleh Marta dan Maria karena saudara mereka yang bernama Lazarus meninggal (Yohanes 11:1-44).
Tak heran, di masa - masa awal kelahiran komunitas Kristen, pernyataan bahwa "Allah menjadi manusia" dianggap sebagai sebuah blasphemy (penistaan), dan seperti layaknya status quo kaum religius terhadap masyarakat yang dianggap melakukan blasphemy, senjatanya adalah persekusi. Namun, komunitas ini tak bergeming—bahkan semakin berkembang—karena figur Kristus yang mereka ikuti juga adalah figur yang dipersekusi oleh status quo.
Yesus Kristus, Berdiri sama Tinggi
Yang menarik dari kisah Yesus dibaptis bukan saja tanda - tanda ajaib yang menyertainya. Dengan memberi diri dibaptis, artinya Yesus tidak stand out, melainkan Ia berada di antara kerumunan manusia berdosa (hanya saja, "Ia tidak berbuat dosa," (Ibrani 4:15, yang ditegaskan melalui 1 Petrus 2:22). Yesus berdiri sama tinggi di sungai Yordan dengan orang yang berkata, “Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak” (Yohanes 1:27).
Figur Allah yang inkarnasional itu membuka diri-Nya menjadi setara dengan manusia, bukannya sosok autoritarian yang tinggi dan jauh. Allah yang sama menyebut manusia bukan lagi sebagai hamba, tetapi sahabat.
Mungkin banyak di antara kita yang terkadang sungkan mengakui bahwa sedang marah dan kecewa terhadap Allah. Namun, tahukah kita adanya realitas seperti ini disebabkan terbentuknya konsep "Tuhan tidak pernah salah, kita yang pasti salah jadi jangan marah kepada-Nya"? Ketika mengungkapkan perasaan negatif terhadap Allah, apa yang kita rasakan itu dianggap tidak valid dan "ditentang" dengan berbagai theodicy bahwa Allah itu punya rencana lain, pasti ada greater good, dan kita tak berhak untuk “protes” kepada-Nya.
Kabar baiknya adalah Yesus tidak menampilkan figur Allah yang anti kritik maupun anti protes. Bahkan bukankah beberapa nabi perjanjian lama (misalnya Elia, Yesaya, dan Yeremia) juga tak malu -malu untuk “menggugat” Allah? Ada pula yang tak mendapat jawaban secara langsung atas kekecewaan mereka. Namun, Allah tidak mematikan mereka begitu saja; Dia justru menerima setiap pengakuan mengenai perasaan dan pikiran mereka atas kedurjanaan bangsa yang mereka layani saat itu.
Jika kita percaya Allah dalam Yesus Kristus adalah penuh kasih, maka kasih itu selalu dimulai dengan penerimaan, bukan? Termasuk menerima gejolak emosi dan tidak menggampangkan permasalahan sesama kita.
"Menurut kamu, siapakah Aku ini?"
Pertanyaan Yesus kepada para murid ini relevan dan akan terus relevan bagi kita sekalipun. Yesus tidak sedang menginginkan jawaban yang legalis —sesuatu yang diajarkan oleh orang tua atau pemimpin agama kita—atau jawaban ndakik-ndakik nan filosofis dan teoritis.
( sumber : https://catatanseorangofs.files.wordpress.com/2021/09/mark-8-27-35-aa.jpg )
Ia ingin kita memiliki jawaban sendiri. Nyata dari dalam diri, apa yang kita kenal tentang Dia dengan relasi dengan-Nya, jawaban yang “dinyatakan sendiri oleh Bapa bukan oleh manusia”.
Allah yang menciptakan kita telah menjadi manusia, supaya Ia bisa berelasi dengan manusia secara manusiawi, dan tidak ada momen yang lebih cocok untuk merenungkannya selain momen kelahiran raga manusia-Nya yang sebentar lagi kita peringati dan rayakan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: