"Punishment is not for revenge, but to lessen crime and reform the criminal." - Elizabeth Fry
Bertepatan dengan artikel ini ditulis, ada suatu berita memikat perhatian penulis. Secara singkat, berita ini mengisahkan Rizki, seorang ojol yang menyeberang melawan arus. Namun, ia ditegur dengan keras oleh pengemudi lain (disebut pelaku) sehingga ia harus berhenti dan terjadi adu mulut. Tidak lama kemudian, adik Rizki melihat apa yang terjadi. Membela kakaknya, ia langsung menghampirinya dan mendorong si pengemudi tersebut. Pengemudi tersebut tidak terima, geram, terjadilah kontak fisik di antara keduanya sampai-sampai adik Rizki terjerembap ke aspal sambil meringis kesakitan akibat luka tusuk, Rizki panik dan bergegas ke rumah sakit terdekat. Berharap akan kesembuhan adiknya, setelah 27 menit kemudian kabar yang sampai pada telinganya ialah adiknya sudah tidak tertolong.
Mungkin jika kita membaca kisah ini, kita dapat berpikir bahwa hal ini disebabkan karena manusia telah jatuh dalam dosa. Namun, apakah dosa hanyalah sekadar perbuatan jahat yang dilakukan manusia? Bukankah manusia berada di posisi tidak bersalah? Di manakah kasih Tuhan? Hal-hal inilah yang akan dijawab dalam 2 bagian artikel ini.
Dosa tidak memiliki bentuk fisik. Dosa juga tidak diketahui asalnya dari mana, walau mungkin ada di antara kita ada yang berpikir dosa datangnya dari buah pengetahuan yang baik dan jahat. Sebenarnya, bukan juga. Buah pengetahuan yang baik dan jahat tidak mengandung zat dosa yang seolah-olah seperti virus menyerang tubuh dan mental sehingga manusia menjadi “sakit” (berdosa). Ingat bahwa Tuhan mengatakan bahwa apa yang Ia ciptakan baik, termasuk tumbuhan? Ini tidak terlepas juga dengan pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Pelukis: Lucas Cranach the Elder
Yang dipermasalahkan bukanlah buahnya, melainkan cara mendapatkannya. Dalam Kejadian 2:17, secara implisit manusia tahu bahwa jika memakan buah tersebut, itu berarti manusia melawan Allah. Bukankah dengan manusia mencari pengetahuan yang di luar Allah, sang sumber kebenaran, itu berarti manusia mau menentukan hidupnya sendiri terlepas dari Allah? Lagi pula, dengan adanya pohon ini itu berarti Allah mau manusia memiliki pengetahuan yang baik dan jahat, tetapi di dalam Allah, bukan di luar Dia sebab segala kebenaran (termasuk moralitas, etika, filsafat, sains, dll.) ialah kebenaran Allah. Dengan inilah, manusia berada di posisi telah berdosa, yakni lebih mendengarkan diri sendiri/Iblis dan malah menjauh dari Allah.
Mungkin kita sempat terpikir bahwa manusia tidak bersalah sebab telah tertipu Iblis.
Oleh karena itu, manusia juga dikenakan hukuman oleh Tuhan namun tidak dikutuk seperti Iblis. Apa yang manusia dapatkan merupakan konsekuensi dari kondisi terlepas dari Allah (misal harus mengusahakan tanah, makan tidak langsung petik, dll.) dan menunda kematian manusia. Manusia juga diberikan kesempatan untuk mengalami kematian (Kej.3:22-24), sebab jika manusia hidup selamanya dalam kondisi berdosa, itu berarti sudah tidak ada pengharapan bagi manusia kembali lagi bersama Allah. Dan pembaca mungkin dapat menemukan lebih dari 10 Anugerah Tuhan dalam Kej.3 saat manusia jatuh dalam dosa, tetapi contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Tuhan ialah Allah yang adil dan kasih.
Di balik penghukuman-Nya, terdapat tujuan dan sasaran. Tujuan-Nya ialah memulihkan dan memelihara keadilan-Nya yang telah dilanggar oleh dosa. Sasaran-Nya ialah mengembalikan keadilan yang dibengkokkan dan mencegah pelanggaran terjadi lagi di kemudian hari. Bukankah ini mirip dengan prinsip hukum sekarang ini? Dan dengan Ia menunda kematian manusia, keadilan-Nya maupun kemurahan-Nya dapat terlaksana.
Bukankah hal ini kabar baik? Melalui penundaan-Nya, kita yang sering membangkang ini masih Ia beri kesempatan. Ini juga mengingatkan kita dengan suatu ayat,
Berpalinglah kamu kepada teguranku! Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu. (Amsal 1:23)
Dalam ayat ini, "sesungguhnya" secara implisit menyatakan bahwa ia berjanji akan langsung melakukan apa yang ia telah nyatakan terhadap orang yang berpaling kepada tegurannya. Siapa yang berkata demikian? Hikmat. Bagaimana kita bisa berpaling kepadanya? Takut akan TUHAN dan mengenal yang Mahakudus (Ams.9:10). Jika kita sadar bahwa dalam kejatuhan manusia Tuhan menunda hukuman kekal manusia, seolah-olah memberi ruang bagi manusia untuk berbalik kepada-Nya, apakah kita masih sering berpaling dari pada-Nya?
menegur terang-terangan, berapi-api, di tempat lapang, tapi banyak yang menolak (Ams.1:20-33) Sebagai penutup, kepada kita Ia menghukum selayaknya bapa mengasihi anaknya (Ams.13:24; Ibr.12:5-8), bukan karena Ia sedang balas dendam atau irasional tak beralasan. Walau ada hal yang membuat manusia bertanya-tanya, Allah adalah suprarasional (melampaui akal pikir manusia) dan tidak “baperan”. Antropomorfisme (gaya bahasa dalam Alkitab) digunakan agar pembaca lebih paham akan Allah yang transenden dengan menyatakan perasaan Allah selayaknya manusia. Misal, “Allah menyesal” bukan berarti Allah yang seperti manusia tidak tahu masa depan dan tidak pasti keputusannya. Dan Ia tidak menyesal memberi kesempatan bagi manusia yang telah jatuh untuk dapat kembali pada-Nya dan terus-menerus tetap menegur terang-terangan, walau mereka asyik sendiri.
Apakah kita telah berpaling kepada-Nya? Atau, apakah kita menyesal atas kesempatan yang Ia berikan kepada kita?
... namun, apakah dosa hanya sekadar perbuatan jahat saja? bagaimana proses manusia bisa jatuh dalam dosa? sekadar inikah kasih Allah?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: