Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. (Matius 11:28)
Di artikel sebelumnya, kita melihat bahwa kebutuhan akan pelayanan mental, psikiatri, atau bahkan sebatas keinginan untuk dimotivasi dan “dikonseling” kerap kali digunakan mengeksploitasi saudara-saudari kita yang sedang menghadapi kehidupan yang sulit. Lalu, bagaimana dengan sikap gereja kita?
Di artikel bagian kedua ini, kita akan merefleksikan hal-hal yang harus kita hindari serta apa yang bisa kita kembangkan untuk memperluas pelayanan gereja sebagai salah satu pilar di masyarakat.
Part 2: The State of The Church
Depresi, sakit hati, trauma, dan fobia. Hal-hal yang berkaitan dengan mental seperti ini tentu makin terbukakan dan kita pahami dari hari ke hari. Bidang psikologi—yang terintegrasi dengan neurologi dan biologi—membantu kita untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam jiwa, baik bagi kita maupun orang lain.
Ketika membahas tentang self-help, saya yakin kita bisa melihat kemiripan-kemiripan dengan (sebagian) gereja zaman now. Fungsi gereja sebagai pilar masyarakat membuatnya mirip-mirip dengan berbagai perusahaan “pendidikan” dan institusi self-help. Ironisnya lagi, ppendeta juga seolah-olah berperan sebagai motivator dan penghibur bagi jemaat yang dilayaninya.
Dari sini, sebagai generasi muda, kita harus bisa melihat bahwa (1) kebutuhan akan pelayanan dalam aktualisasi diri dan psikologi merupakan kebutuhan penting; dan (2) gereja kita bisa terjatuh dalam jurang eksploitasi bila tidak digembalakan atau dipimpin dengan baik.
Sama seperti industri, gereja juga berpotensi memanipulasi jemaat
Eksploitasi dan sifat kultus yang dimiliki oleh industri self help bisa juga menjadi cermin bagi praktik gereja. Ada banyak kisah seperti Creflo Dollar, pastur yang minta jemaatnya beliin dia Rolls Royce dan pesawat Jet pribadi Gulfstream. Ada juga Robert Tilton yang memperkaya diri lewat sumbangan.
Beberapa seperti Kenneth dan Gloria Copeland membangun kultus personal. Mereka mengatakan bahwa, "Kalian harus dan wajib untuk semakin banyak memberikan persembahan. Kalau tidak Tuhan akan marah!" Uang tersebut datang dari orang-orang yang meminta untuk didoakan atau dibantu, tetapi Ken malah menghabiskan uang tersebut untuk membeli mansion besar.
Kembali lagi, target orang-orang ini adalah jemaat yang memiliki berbagai masalah asli dalam hidup mereka. Melalui teknik komunikasi yang manipulatif, para televangelist ini menguras dan mengeksploitasi umat sambil memberi saran, “Kirimkan saya uang, maka Tuhan akan memberkati Anda.”
Kartun yang mensatirkan praktik manipulatif dan eksploitatif gereja.
Kita mungkin tertawa ketika Ken Copeland menyembur liur-nya dan mengatakan, “COVID IS GONE,” sambil mengabaikan jemaatnya yang juga sakit, atau Robert Tilton berteriak, “Ho Ba Kanda!” sambil menyuruh kita memegang TV (dan kesetrum adalah tanda hubungan spiritual). Namun, ini menjadi tidak lucu ketika mereka minta dikirimkan persembahan dari orang-orang yang sedang bergumul dengan permasalahan pelik mereka. Beberapa gereja bahkan masih melakukan praktik eks-komunikasi atau disassociation—alias pengucilan dan larangan berbicara/berkontak pada orang tertentu—bila mereka tidak setuju dengan pandangan gereja. Artinya, Anda harus 100% setuju dan mau melakukan apapun kata pendeta dan petinggi gereja bila mau diakui.
See? Hal-hal seperti ini merupakan sisi yang perlu kita ingatkan dan kawal bagi gereja agar tidak jatuh ke lubang yang sama dengan industri.
Selain itu, sama seperti yang dikatakan salah satu artikel PGI, "Konseling adalah amanat agung yang terabaikan.” Selain karena mungkin SDM di gereja yang tidak cukup, namun kita kerap kali memiliki kesalahan persepsi dalam menghadapi penyakit mental.
“Kurang Doa” merupakan satu hal yang kerap kita labelkan pada orang-orang yang sedang kesulitan. Bahkan hal ini bisa dikatakan pada orang yang mungkin sedang berencana bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Padahal, mungkin saja mereka sudah berdoa, dan ketika Tuhan mengizinkan kita bertemu mereka—bukannya membantu—kita malah menambah masalah.
Tulisan ini tidak bisa dengan rinci menggambarkan hal-hal baik maupun buruk yang dilakukan gereja, tetapi paling tidak ini adalah refleksi kita mengenai permasalahan ini serta worst case scenario bahwa kita juga bisa melakukan kesalahan yang sama.
Lagi dan lagi, tulisan ini bukan mengajak Ignite People untuk melabeli gereja sebagai kolot atau irelevan. Sebaliknya, tulisan ini mengajak Ignite People (dan mungkin juga persekutuanmu) untuk meng-acknowledge atau mengakui bahwa ini ada hal yang perlu kita perhatikan (kesehatan mental-pengembangan diri). Nah, jika demikian, apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana pun gereja memiliki potensi besar dan positif di bidang ini.
Part 3: Faith Helps
Mengutip salah satu publikasi Kristen: Injil adalah kabar baik, walau tak selalu jadi saran yang baik. Menurut gue ini benar. Alkitab ga bisa serta merta jadi guide yang saklek sebagai petunjuk kehidupan kita (ingat, budaya kita berbeda dengan apa yang ada di budaya para penulisnya saat itu, meskipun prinsip-prinsip di dalamnyalah yang harus diambil). Alkitab dan segala injil di dalamnya adalah “Kabar Baik”. Maksudnya adalah, Alkitab itu lebih tentang iman dan pengharapan. Bahwa segelap apapun hari ini, nanti pasti ada terangnya. Bahkan untuk beberapa, mungkin kita ga hidup untuk menyaksikan terang tapi kita berjuang agar orang lain bisa menyaksikan terang suatu hari.
Pengharapan dan iman adalah dasar untuk kita menyerahkan hidup pada Tuhan. Ketika self-help hanya berkata, “Ini 10 langkah cepat perbaiki hidup dengan tanganmu sendiri!”, Tuhan—melalui Alkitab—justru berkata, “Yuk, Tuhan bantu kamu melalui jemaat-Ku yang lain.” Misalnya saja dari Galatia 6:2.
Nah, melalui gereja yang berdiri atas prinsip-prinsip Kekristenan, kita bisa mendapatkan koneksi dengan jemaat lain yang memiliki kompetensi yang kita butuhkan. Sebagai contoh, ketika kita konseling pada pendeta, mungkin saja beliau mengarahkan kita ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut. Intinya, melalui gereja, kita belajar untuk tidak menolong diri sendiri begitu saja, melainkan meminta Tuhan menolong kita melalui jemaat-Nya dan berbagai cara lain. Eh, bukan berarti ini kita bisa memiliki alasan untuk selamanya memilih tidak berdaya (helpless) karena merasa tidak ada seorang pun yang menolong kita, ya. Sebaliknya, pertolongan yang Tuhan berikan itu justru harus disambut karena dari situ Dia menyatakan pemulihannya pada kita. Sulit? Iya, tetapi jika hal itu membuat kita mengenal Tuhan dan diri sendiri dengan lebih utuh, kenapa harus terus mengurung diri terhadap anugerah-Nya yang memulihkan?
Beberapa gereja, baik di bawah GKI maupun denominasi lain, telah memberikan layanan konseling dan psikiatri. Tentu sumber daya manusia terlatih di sini cukup terbatas sehingga belum merata, tetapi ini adalah langkah awal yang bagus untuk gereja berperan di dalam penggembalaan. Setiap domba yang sakit, baik tubuh maupun pikiran, layak dilayani dan dirawat hingga sembuh kembali.
Masalahnya, hal ini—selain tabu di masyarakat—kadang-kadang juga mengharuskan kita menjadi rendah hati. Maksudnya adalah kita memiliki kecenderungan berprinsip bahwa kita memegang kontrol atas dunia kita, semua berputar di sekitar kita sehingga kita tidak butuh dukungan orang lain. Bahkan, tak jarang kita menyalahkan diri sendiri dan tak bisa menemukan jalan keluar karena keterbatasan kita. See? Ada kalanya kita tak bisa membantu diri sendiri, karena dengan mengurus segala hal sendiri malah menambah masalah. Itulah sebabnya adanya pengakuan bahwa kita bisa salah dan membutuhkan tangan Tuhan dan orang lain untuk membantu adalah langkah yang paling tepat. Juga, tak seperti kultus lain, kita harus mengakui bahwa hidup kita bisa mengalami naik-turun meski telah hidup di dalam Tuhan. Berpikir positif dan beriman itu penting dan tidak salah, tetapi ketika mengalami kesulitan dan masa yang tak menentu, sering kali kita itu cenderung melakukan salah satu dari dua kutub ekstrim: Antara terlalu pasrah sehingga tak bekerja karena “berharap” Tuhanlah yang akan membereskan permasalahn, atau terlalu mengandalkan diri sendiri sehingga tak berdoa.
Tentu seperti yang gue bilang sebelumnya,self-help melalui podcast, buku dan seminar bisa berguna dan positif. Namun, alangkah baiknya apabila semua dimulai dari perjumpaan dengan Tuhan dahulu. Kita perlu menguatkan iman (secara pribadi dan komunal—bersama saudara-saudari seiman yang bisa kita percayai), lalu mencari pertolongan profesional. Ingat kata ibu kantin gereja, “Jangan lupa bayar hutang kemarin!” ..... Eh, salah. Maksudnya, “Jangan lupa sarapan agar makin segar beribadah.”
Pada akhirnya, baik gereja maupun diri kita harus mau bekerja sama untuk menyediakan hal-hal positif yang membantu sambil membersihkan dan mencegah diri kita sendiri dan gereja kita untuk jatuh menjadi sosok eksploitatif. Selamat berproses, Ignite People! Kiranya kehadiran Tuhan mencukupkan dan menopang kita melalui anugerah-Nya!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: