Apa yang akan kamu lakukan ketika seseorang mengorbankan ibadahnya demi kamu bisa beribadah?
Pagi ini, sebelum ada yang datang, lelaki itu sudah tiba, mendirikan motornya, membuka pagar, menggeser pintu besi, mendesak motornya ke dinding lorong, mematikan lampu jalan, menyalakan lampu ruang besar, dan entah apa lagi. Aku mengenali kebiasaan itu, karena aku tinggal dalam gedung ini. Kukira aku akan susah tidur oleh karena riuhnya semalam, tapi pagi ini tetap saja aku mudah terbangun oleh karena kehadirannya.
Pada meja kerjaku, telepon pintarku memberitahu bahwa aku harus menjemput sepasang kakak adik yang sudah tak kuat datang sendiri. Aku berburu waktu, mandi secukupnya karena nantinya juga bisa mandi lagi, berpakaian, lalu segera turun, menyalakan mesin mobil, dan menyapa lelaki itu.
Aku bertanya, apakah dia akan segera mengikuti salat berjamaah pada pagi raya ini. Kurasa masih ada waktu, tapi sahutnya, cukup pengemudi kami saja yang libur, sementara dia berjaga di sini.
Selepas kuluncurkan perlahan mobil itu dari lorong mepet itu, lalu menumpahkannya ke jalanan yang mulai dialiri sejumlah manusia berpakaian teduh yang bermuara pada Masjid Agung kota kami, ada sebuah pertanyaan yang mengemudikan sebagian besar kepalaku. Pertanyaan itu berhenti bersama mobil yang kuparkirkan tepat di depan gerbang sebuah rumah.
“Apa yang akan kamu lakukan ketika seseorang mengorbankan ibadahnya demi kamu bisa beribadah?”
Apakah ini setara dengan ungkapan Sang Guru yang rela bertukar nyawa denganku? Bukankah lelaki itu telah bertukar kesempatan beribadah dengan kesempatanku, dengan kesempatan sejumlah orang yang juga datang pagi ini pada pintu yang terbuka dengan lantai jernih yang menyambut segala motif yang berjejal di benak masing-masing?
Aku menebak-nebak pikiran istrinya, anak-anaknya, keluarganya, tetangganya, kerabatnya, ketika mencarinya dan tidak menemukannya pada saf-saf itu. Aku menebak-nebak, apa yang akan mereka bisikkan dan katakan tentangnya, apa yang akan mereka lemparkan dan lekatkan padanya, ketika dia memilih berada di tempat ibadah yang tak seharusnya.
Yang kutahu, lelaki itu koster di gereja kami, yang pagi itu menjaga senyumnya, sebuah jendela yang merekah, menampilkan semangatnya, dengan segelas kopi hitam yang tak biasa diseruputnya oleh karena lambung yang tak kuat. Katanya, setelah kembali dari gereja, semalam dia baru tidur jam empat untuk menjagai sapi-sapi.
Aku hanya bisa berkata, itu tadi pagi, bukan tadi malam.
“Itu tadi pagi, Pak, bukan tadi malam…”
(Ciamis, 11 Agustus 2019)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: