"Because the good man was a Samaritan, Jesus is drawing a strong contrast between those who knew the law and those who actually followed the law in their lifestyle and conduct."
Pertengahan bulan lalu, aku diwisuda. (Akhirnya, setelah ribuan purnama). Banyak ucapan selamat berdatangan, beberapa datang dari teman-teman semasa sekolah hingga kuliah, teman-teman komunitas, juga dari mereka yang hanya kenal selewat saja. Dari golongan terakhir, cukup banyak terselip pertanyaan akan melanjutkan S2 di mana, dalam negeri atau luar negeri, akan ambil beasiswa apa, nanti lulusnya akan jadi dosen di mana, disertai dengan cibiran yang senada dengan "Zaman sekarang gelar sarjana itu tak ada harganya," juga desakan untuk segera bersekolah lagi sebelum dikejar umur dan menua.
Omong-omong menua, di awal bulan, seminggu sebelumnya, 'ibu suri'-ku berulang tahun. Beliau adalah seorang famili dari silsilah yang cukup jauh yang, sembilan tahun yang lalu, mengambilku sebagai anak walinya karena kedua orang tuaku baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral dan harus kembali ke tempat kerjanya di pulau seberang. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP tidak ikut dibawa karena saat itu sudah menjelang ujian nasional dan kelulusan, sehingga beliau menawarkan pada kedua orang tuaku agar aku dapat ikut tinggal di rumahnya.
Dulu, kalau ditanyai hal-hal sederhana seperti ingin makan apa, ingin pergi ke mana, atau ingin pakai baju yang mana, aku selalu menjawab "terserah". Hal tersebut lalu terbawa ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar seperti mau melanjutkan sekolah di mana, apa cita-citaku, ingin jadi apa aku nanti, yang akhirnya hanya kujawab dengan "nggak tahu". Barangkali ada hubungannya dengan pola asuh dan hasil didikan yang kuterima dari kecil, sehingga aku sempat berpikir kalau aku tak pernah punya kebebasan untuk memilih yang aku mau, bahkan pada hal-hal kecil sekalipun. Aku tahu persis, mau bilang ya atau tidak, toh tak akan didengar juga. Tak akan didukung juga. Jadi buat apa repot-repot bersuara?
Kupikir ibu suriku akan sama saja: hanya tahu menuntut tanpa mau menuntun. Di hari-hari pertama aku tinggal di sana, aku seringkali masih menjawab 'terserah' atau 'nggak tahu' tiap ditanyai mauku apa. Tapi lalu beliau bilang, kalau disuruh memilih, nggak boleh jawab terserah. Katanya, aku harus belajar tegas untuk menentukan pilihanku sendiri. Anak-anaknya yang lebih tua beberapa tahun dariku pun beberapa kali bilang kalau 'terserah' itu bukan jawaban. Menjelang akhir masa SMP-ku, ibu suri beberapa kali memberiku kesempatan untuk memboncengnya di perjalanan kami sepulang sekolah. Mengawasi kanan-kiri, mengingatkan kalau terlalu dekat dengan kendaraan lain, lalu memberi kode kapan harus menyeberang. Beliau juga bukannya tak takut sama sekali. Kalau diperhatikan lagi,
barangkali kepercayaan yang diberikannya dan keyakinannya bahwa aku bisa, jauh melebihi rasa takut itu.
Ibu suriku barangkali tidak pintar menurut standar kebanyakan orang. Beliau tidak menyelesaikan kuliah diplomanya, menjadikannya 'hanya' seorang lulusan SMA swasta tidak terkenal di kota kecil kami. Beliau tidak berkeahlian menggunakan software-software canggih, tidak bisa membantuku mengerjakan PR Matematika ataupun Fisika dengan persamaan-persamaannya yang rumit, tidak punya cukup pengetahuan untuk bisa membantuku menyelesaikan makalah maupun karya ilmiah. Beliau juga tidak pernah merasakan wisuda, memakai toga, lalu bersalaman dengan rektor atas kelulusannya dari bangku kuliah.
Tapi beliau tidak pernah meneriakiku. Ibu suriku tak pernah berbicara kasar padaku, tak pernah tahan mendiamkanku terlalu lama, tak pernah membanting barang-barang saat marah. Kalau ada hal-hal yang tidak beliau pahami, beliau pasti bertanya, bukannya membuat asumsi, apalagi melemparkan tuduhan-tuduhan tak berdasar. Beliau selalu membuka ruang dialog dan berdiskusi tanpa adanya prasangka yang menyudutkanku.
Beliau selalu menyemangatiku menyelesaikan tugas sambil sesekali membuatkan donat dan segelas susu hangat untuk menemaniku. Beliau percaya aku mampu menyelesaikan tanggung jawabku dan tak pernah sekalipun menjatuhkan aku. Beliaulah yang merawatku dengan penuh kasih dan kesabaran ketika sakit, mengantarkan ke dokter, meminjamkan bahunya untukku bersandar sembari menunggu giliran datang, juga yang menyuapkan bubur yang dibuatnya sendiri. Beliau mendampingiku di acara-acara kelulusan ketika akhirnya masa studiku selesai, menyelamatiku, lalu mendoakan hal-hal baik untukku, terlepas dari keyakinan kami yang berbeda.
Kini, menjelang tahun kesepuluh aku tinggal di rumahnya, aku kembali menelusuri garis-garis waktu hingga jauh dan menyadari bahwa segala keberanian yang kumiliki sekarang, semua kepercayaan diri yang dibangun dalam waktu bertahun-tahun ini adalah hasil penempaan Tuhan yang bekerja melalui ibu suriku dan keluarganya.
Pada titik tertentu, ibu suriku yang mengizinkanku tinggal di rumahnya dan mendidikku hari lepas hari adalah orang Samaria yang baik hati itu. Memang, beliau sejatinya masih seorang saudara walau dari silsilah yang cukup jauh. Namun tetap, beliau tak punya kewajiban apapun untuk melakukannya. Beliau tak memedulikan jauh-dekatnya hubungan darah, tak membedakan mana yang perlu ditolong, mana yang tak usah. Dan buatku, si anak SMP dari sembilan tahun yang lalu ini, diterima oleh orang lain adalah salah satu anugerah terbesar dalam hidup.
Kupikir beliau sungguh punya kemampuan untuk memberdayakan orang-orang di sekitarnya. Sebelum merawatku, beberapa kali beliau juga mengasuh anak-anak sepertiku: yang bersekolah jauh dari keluarga, tetapi masih terlalu muda untuk bertanggungjawab atas diri sendiri. Seperti pada kami, sebagai ketua PKK, beliau juga menghidupkan kembali lingkungan kami dan juga semangat ibu-ibu yang sempat redup selama beberapa waktu.
Dari beliau aku belajar bahwa kecerdasan tidak melulu soal akademik saja. Bukan tentang gelar di belakang nama yang berjajar panjang ataupun nilai-nilai fantastis yang tercetak di atas ijazah. Pendidikan itu penting, tetapi ketika pendidikan membuat kita angkuh, sombong, dan merendahkan orang-orang yang tak bisa mendapat kesempatan yang sama, maka barangkali pendidikan itu tak usah diberikan sama sekali.
Toh ilmu tak hanya bisa didapatkan dari guru dan dosen yang mengajar di ruang-ruang kelas di sekolah maupun di universitas, atau dari buku-buku yang ada di perpustakaan luas. Pengetahuan ada di mana-mana, pada tiap-tiap orang yang pernah dan akan kita temui dan kita jadikan guru, juga pada tiap-tiap tempat yang pernah dan akan kita kunjungi dan kita jadikan ruang kelas.
Pada akhirnya gelar cuma akan jadi hiasan pada nama yang tak berarti apa-apa, dan ijazah hanyalah selembar kertas yang tak lagi punya nilai. Bahkan nama, wajah, atau suara kita; semua akan jadi fana pada waktunya. Pengaruh dan nilai-nilai yang kita wariskan pada orang lainlah yang akan terus dikenang dan membekas di ingatan orang-orang yang hidupnya pernah bersentuhan dengan kita.
Terima kasih, Bu Ida, ibu suriku yang turut membangunku tanpa menggurui, yang mendampingi tanpa melangkahi. Terima kasih karena sudah tahan sembilan tahun berurusan denganku dan segala kemalasan serta omong kosongku untuk diet mulai besok. (Haha).
Semoga aku bisa jadi seperti Ibuk, yang walaupun bukan cahaya yang bersinar paling terang, tapi mampu membuat cahaya lain di sekitarnya berpendar lebih cemerlang.
Selamat ulang tahun.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: