Bosan itu pasti, tapi bukannya bosan juga bisa diatasi?
“PPKM lagi PPKM lagi, hufft kapan selesainya”, entah sudah berapa kali aku mendengar bahkan membaca kalimat itu sejak Juli ini sepertinya? PPKM melulu akhirnya jadi capek, bosan, suntuk, bahkan ada yang menjadi semakin bodo amat. PPKM yang memiliki kepanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ini menimbulkan banyak hal menjadi terhambat, tertunda bahkan beberapa ada yang gagal. Seperti misalnya beberapa rencana wedding atau birthday party yang awalnya mengundang banyak teman dan kerabat, namun harus ditunda atau tetap diadakan dengan mengurangi jumlah tamu. PPKM nampaknya begitu me-apa ya? Bahkan akupun sulit mendefinisikannya, mau dibilang mencekam atau menakutkan, tapi PPKM ya tidak terlalu seperti itu. Mau dibilang santai-santai aja, juga ya kalian pasti membaca banyak dampak lain dari PPKM ini.
Namun pernahkah kita melihat sisi lain dari PPKM?
Sisi lain yang mungkin belum kalian sadari (bahkan aku pun baru menyadarinya beberapa waktu ini) atau mungkin sudah ya itu adalah hal yang baik. Ketika ada informasi mengenai PPKM, beberapa orang bahkan mungkin kita berpikir bahwa PPKM ini sangat tidak mengenakan bahkan menjenuhkan. Ketika pikiran-pikiran tersebut menyelubungi kita, pernahkah terbesit sebuah pikiran tentang “PPKM ini ternyata memiliki sisi positif yang sebenarnya mengajarkan kita tentang arti bersyukur dan mawas diri?” banyaknya kegiatan, banyaknya pekerjaan, banyaknya tantangan membuat beberapa orang lupa tentang hal itu.
Teman-teman, sadar tidak sadar kita terlalu fokus dengan bagaimana pembatasan tersebut. Pembatasan yang digunakan sebagai aturan dan larangan ini membuat kita terlanjur panik bahkan takut. Akhirnya kita fokus pada keluhan dan hal-hal yang berbau provokasi. Padahal melalui PPKM ini, kita dapat melihat bahwa apa yang biasanya menjadi rutinitas secara tidak sengaja menjadi seperti waktu kita untuk beristirahat (walaupun akupun mengalami bahwa saat apa-apa menjadi serba online ini, banyak kegiatan tampak tak memiliki akhir).
PPKM sendiri sebenarnya bisa menjadi semacam hidup baru bagi kita, dimana kita menjalani hidup yang berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya kita fokus sekolah, bekerja, bermain pun tetap digentayangin tugas-tugas, dalam PPKM ini kita belajar bagaimana mendekatkan diri dengan keluarga dan mensyukuri berkat Tuhan. Contohnya ketika kita merantau, pastilah waktu bersama keluarga menjadi berkurang dan mungkin jadwal yang seharusnya bisa digunakan untuk mudik kadang tidak bisa karena ada tugas. Melalui PPKM ini, (mungkin) kita bisa di rumah dekat dengan keluarga, memiliki waktu mengobrol dan mendiskusikan banyak hal yang kita alami.
Atau contoh lainnya, ketika makan diluar bersama teman atau keluarga kita, kadang kita sibuk menggunakan ponsel untuk melihat sosmed, walaupun sebenarnya saat ini pun ketika makan di rumah kita mungkin juga sibuk menggunakan ponsel tapi PPKM memberikan pandangan kita untuk lebih bersyukur. Saat ini masih bisa makan, masih bisa berkumpul dengan keluarga atau teman, lebih mensyukuri setiap makanan yang kita makan.
Ya! Lagi-lagi aku ingin menonjolkan bagaimana PPKM tidak semengerikan dan menakutkan itu.
Buktinya melalui PPKM kita masih bisa berkarya, walaupun mungkin tidak atau belum optimal karena lagi-lagi penyesuaian terhadap semua yang serba online ini. Tapi setidaknya kita dapat mencoba banyak hal baru yang pada saat sebelum pandemi ingin kita coba namun tidak ada waktu. Hal ini membuatku teringat kata-kata Moltmann tentang
“Allah mengizinkan namun dilain sisi Allah tidak pernah mendorong terjadinya kejahatan—Allah menguasai kejahatan sedemikian rupa, sehingga kejahatan (pada akhirnya) dapat membuahkan hal-hal yang baik—sehingga Allah membatasi kejahatan hingga akhirnya akan mengalahkannya”.
Pandangan Moltmann tentang Allah ini memang sedikit horror karena disatu sisi Allah tidak mendorong terjadinya kejahatan (baca: PPKM), namun disisi lain dijelaskan juga jika ada kesempatan Allah akan membatasinya hingga bisa dibilang, kita tidak akan menemukan atau mengalami kejahatan itu. Lalu, apakah kita akan menolaknya? Jika melihat dalam sudut pandang manusiawi tentu saja aku yakin, kita akan menolaknya—apakah ada orang yang mau terus-terusan PPKM? Ngga capek apa?—namun ketika kita melihat dalam sudut pandang iman menurut Moltmann kita akan menerimanya dengan senang hati, karena Tuhan menjanjikan PPKM itu pada akhirnya akan menjadi sebuah hal yang baik (dan yang pasti akan segera selesai kalau kita pun taat prokes).
Namun sekali lagi, bukankah biasanya kita lebih senang ketika melihat segala sesuatu yang berbau dengan PPKM dalam sudut pandang yang manusiawi, kadang kita terlalu fokus terhadap rasa lelahnya saja. Karena jika melihat dalam sudut pandang iman hal itu tampak sebagai sesuatu yang tidak masuk diakal, tidak memungkinkan bahkan sangat mengerikan. Padahal ketika kita bisa melihat PPKM dari sisi yang lain, kita akan memiliki semangat dan bahkan pandangan lebih positif yang santai.
Bosan itu pasti, tapi bukannya bosan juga bisa diatasi?
Seperti tertulis dalam 1 Korintus 10:13, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya”
Jadi, dear pembaca kita memang diijinkan untuk mengeluh dan merasa bosan, karena itu adalah hal yang manusiawi karena memang aku pun mengakui PPKM ini sangat lama. Tapi yuk kita melihat PPKM atau mungkin pembatasan-pembatasan bahkan prokes-prokes dari sudut lain, dengan tetap beriman kepada Allah dan percaya PPKM dan segala pembatasan ini akan segera selesai ketika kita sama-sama bahu-membahu mentaati prokes yang sudah ada. selamat ber-PPKM <3
Love, Emmaps
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: