"Puisi selalu berhasil menjelmakan perenungan paling dalam”
Beberapa waktu, lalu saya menyelesaikan perkuliahan Kristologi. Bagi yang belum akrab dengan kata ini, Kristologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang Yesus Kristus dalam agama Kristen yang menggunakan dasar iman. Iman ini harus bersifat dinamis dan rekontruktif. Kita bisa melihat pentingnya merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks tertentu yang dekat dengan kehidupan umat itu sendiri. Selama satu semester, saya mempelajari bagaimana pemahaman manusia dalam konteks tertentu memandang dan memahami Yesus, hingga bagaimana Yesus dilihat dalam tradisi agama lain. Contohnya melalui perjumpaan dengan agama-agama lain seperti perjumpaan Krisna dengan Yesus dan Yesus yang direfleksikan dalam budaya Jawa. Namun, yang menjadi paling menarik adalah ketika pada tes akhir mata kuliah karena di sana ada sebuah pertanyaan, “Bagaimana Anda merefleksikan Yesus dalam konteks diri Anda?” Pertanyaan ini mungkin terlihat mudah sekaligus sulit bagi saya untuk dipikirkan ulang, tetapi entah bagi Anda. Bagi saya, ini adalah pengalaman unik, dan saya ingin menceritakannya di sini.
Saya selalu mencoba memahami dan merefleksikan segala sesuatu dengan seni, lebih spesifik dengan seni sastra berbentuk puisi atau syair. Begitu pula tentang iman yang berbicara tentang bagaimana saya merefleksikan Yesus. Seringkali puisi menjelma sebuah perenungan paling dalam. Dalam merefleksikan Yesus dalam konteks dan budaya keseharian saya, saya sering merasakan Yesus secara berbeda, dan menuliskan refleksi saya ke dalam beberapa puisi, seperti berikut:
Mata Kail
Kau bagai muara yang tak berujung
aku mata kail yang selalu gagal menyelam
Malang, 2018
Photo by James Wheeler on Unsplash
Puisi ini tercipta ketika beberapa pergumulan terjadi di kehidupan saya, disusul beberapa pergumulan besar lain terjadi, dan lalu selesai begitu saja. Dari sini, muncul pertanyaan bagaimana masalah besar terjadi dan selesai begitu saja, berlanjut pada penghayatan saya kepada Yesus, yang membuat saya merasa tidak mampu memahami apa yang Ia lakukan di kehidupan saya. Saya merasa selalu gagal dan tidak pernah sampai pada jawaban yang memuaskan. Yesus terlalu muara untuk saya yang kail ini selami. Sesekali saya juga berhasil menemukan Yesus pada satu momen, merefleksikan-Nya ketika dalam sebuah ibadah, dan kembali saya menjelmakan perenungan itu menjadi puisi.
Kedatangan
Datanglah
Kami menyiapkan segalanya
Pakaian terbaik
Kain tenun termahal
Keledai yang paling sehat dan pintar di kota
Daun-daun yang tumbuh subur
Sorak-sorai
Senyum sumringah Sanak saudara
Serpihan kata dalam doa
Datanglah
Aku menyambutmu penuh
Aku penuh hadirmu
Minggu Palmarum, 2018
Penghayatan terhadap Yesus yang lain adalah puisi yang memiliki unsur ucapan syukur terhadap penyertaan-Nya dalam kehidupan saya pada tiap detiknya, bahkan ketika saya tertidur. Penyertaan itu serupa angin, gelap, dan puisi. Dalam puisi “Titip” berikut ini, saya merasakan bahwa Yesus menuliskan puisi ini, dan mengirimkannya padaku ketika tidur.
Titip
Aku titipkan sebait puisi
Pada angin dan dingin
Agar ia sampai padamu
Dalam hening tidurmu
Aku titipkan sebait hening
Pada gelap dan lelap
Agar sampai padamu, mimpimu
Hilang perihmu
Malang, 2018
Photo by Jonathan Rados on Unsplash
Tiga puisi dari banyak puisi mungkin mampu mewakili apa yang saya refleksikan, pertanggungjawaban atas refleksi seperti ini, dan apa alasannya. Saya memilih untuk menggunakan puisi karena salah satu bagian yang menarik di dalam Alkitab adalah Kidung Agung dimana berisi puisi dan syair. Beberapa berpendapat bahwa puisi ini menggambarkan percintaan antara manusia dengan manusia, antara wanita dengan pria. Beberapa juga berpendapat bahwa Kidung Agung memiliki muatan erotis yang tak pantas dimasukan ke dalam Kitab Suci. Namun, yang saya hayati dari Kidung agung ini adalah cinta Yesus itu sendiri terhadap umat-Nya, dan disampaikan dengan bahasa-bahasa metafor yang indah. Begitu pun saya membuat puisi demikian.
Hubungan Yesus dengan umat-Nya yang tergambarkan dengan hubungan pria dan wanita juga dapat ditemukan dalam kitab Hosea 1-3, yang mengisahkan sebuah pernikahan yang kokoh dibangun dengan dasar saling percaya dan kesetiaan. Namun, kepercayaan itu berubah karena ketidaksetiaan. Hal ini menjadi pengingat serta menggambarkan kehidupan umat Allah di masa itu dengan-Nya. Beberapa penafsir juga mengatakan bahwa tafsir akan kitab ini melambangkan hubungan Yesus Kristus sebagai mempelai pria dan gereja sebagai mempelai wanita.
Bagi saya, adalah penting bagi kita untuk merefleksikan kembali apa yang kita percayai. Merefleksikan dan memikirkannya kembali akan membuat kita sampai pada iman yang dinamis dan rekontruktif. Merefleksikan Yesus secara pribadi dan sesuai dengan konteks hidup kita yang unik juga akan membuat kita merasakan semakin dekat dengan-Nya. Satu lagi yang saya yakini,“Puisi selalu berhasil menjelmakan perenungan paling dalam.”
Selamat berefleksi.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: