Rabu Abu : Seruan Pertobatan Murni Tanpa Kepalsuan

Going Deeper, God's Words, 29 January 2021
Hanya debulah aku Di alas kaki-Mu, Tuhan Hauskan titik embun Sabda penuh ampun [BERTOBATLAH! Dan percaya kepada Injil]

Rabu Abu, mungkin setiap kita sudah begitu familiar mendengarnya. Sebagai seorang Kristen rasanya kurang pas bila kita tidak mengikuti ibadah Rabu Abu di gereja. Ibadah ini unik, terdapat di tengah minggu, di tengah setiap rutinitas kerja kita dan biasanya gereja akan dipenuhi oleh banyak orang yang ingin mengikutinya. Lebih uniknya lagi, selepas ibadah biasanya terdapat tanda spesial di dahi setiap jemaat yang beribadah. Terdapat lambang salib hitam yang pekat yang tertoreh pada setiap dahi jemaat.  Tak jarang, akhirnya jemaat mengabadikan tanda didahinya dengan berselfie ria sehabis ibadah.



Rabu Abu atau Ash Wednesday adalah hari pertama pada kalender liturgi gerejawi yang yang menandai bahwa kita memasuki masa Prapaskah selama 40 hari sebelum Paskah. Dalam masa ini, gereja mengajak setiap orang percaya untuk melakukan langkah pertobatan dengan berpantang atau berpuasa. Menyangkal diri dan masuk dan bersatu kedalam penederitaan Kristus sendiri sebelum akhirnya IA menderita sengsara, wafat, dimakamkan dan bangkit dari antara orang mati. Tradisi penorehan abu pada hari Rabu Abu itu sendiri berasal dari budaya yang disaksikan oleh kitab Perjanjian Lama, di mana abu menjadi lambang perkabungan, rasa sesal, berkabung dan juga pertobatan umat. Bangsa Israel kerap menggunakan abu sebagai simbol pertobatan. Misalnya pada kisah Yunus, ia berseru supaya orang kembali pada Tuhan dan melakukan pertobatan, Kota Niniwe kemudian memaklumkan puasa serta mengenakan kain kabung serta menyelubungi dirinya dengan kain kabung sembari duduk di atas abu. Atau seperti Ayub, yang meratapi keadaannya dengan duduk di atas debu.

Abu menjadi sesuatu hal yang dibenci orang yang sudah bersih, sebab abu akan mudah menempel dan bertebaran dimanapun yang akan merusak atau mengurangi keindahan. Abu memiliki sifat yang kotor, mudah untuk dipindahkan dan tidak memiliki arti, bahkan dijauhi oleh orang-orang agar tidak menjadi kotor.  Abu yang tertoreh di dahi dalam ibadah Rabu Abu sejatinya ingin berbicara pada segenap kita bahwa kita adalah manusia yang lemah, rapuh dan terbatas seperti layaknya abu. 

Abu yang tertoreh itu memiliki maksud untuk menyadarkan kita pada ketidakberdayaan kita sebagai manusia. Hidup kita juga layaknya seperti abu, kotor hitam dan pekat. Diselimuti oleh keberdosaan dan kehinaan serta kefanaan belaka.


Lantas, mengapa kebanyakan orang setelah mengikuti Ibadah Rabu Abu begitu bangga memamerkan abu yang tertoreh di dahinya ? Mengapa kebanyaakan orang begitu tenggelam dalam euforia Rabu Abu dengan dengan abu yang hitam pekat tersebut? Bahkan, kalau ingin jujur, saya sempat berada dalam euforia bangga memamerkan abu itu di social media saya kala itu ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Sedikit bercerita, kala itu saya tumbuh besar di sekolah Katolik, yang mewajibkan saya mengikuti Rabu Abu.  Kala itu, keren saja gitu rasanya seharian di sekolah dengan abu yang tertoreh di dahi. Bahkan saya sampai tidak menghapusnya hingga pulang sekolah. Agar semua orang yang melihat tahu, saya sudah mengikuti Rabu Abu. Kemudian orang yang tidak mengetahuinya akan bertanya, apa itu yang ada di dahi saya?



Dalam setiap tahunnya, bacaan Injil Rabu Abu selalu sama tetapi tetap selalu menjadi cambuk bagi saya setiap mendengarnya. Bacaan dari Injil Matius 6 : 1-8 berlanjut di ayat 16-21. Dalam bacaan ini, Yesus dengan tegas mengkritik dan mengecam cara hidup beriman para imam-imam yahudi dan ahli-ahli taurat pada zaman itu yang terlalu mengedepankan ritual keagamaan belaka serta munafik. Yesus pun memberikan himbauan bagi kita bagaimana seharusnya kita berdoa dan memberi sedekah (ayat1-8), mengampuni (ayat 15), berpuasa (ayat 16-18), dan mengumpulkan harta (ayat 19-21). Menurut saya, ini benar benar bagian pembacaan injil yang cukup keras untuk menegur setiap kita. Bagaimana tidak, terkadang kita rasanya sama dengan orang farisi dan imam imam. Memang kita tidak secara spesifik kita berdoa layaknya mereka yang suka berdoa di lorong-lorong, tikungan jalan raya. Tapi kita cenderung untuk memamerkan keimanan kita kepada orang lain. Merasa kitalah yang paling benar dan sempurna. Kita cenderung terhenti pada ritual belaka sampai lupa berjumpa secara pribadi denganNya. Seringkali kita pun melayaniNya hanya untuk menyenangkan diri kita sendiri dengan pujian yang kita dapatkan.  Atau lebih parahnya menilai atau bahkan menghakimi keimanan kita jauh lebih baik daripada orang lain. Seperti cerita saya kala duduk di bangku sekolah, begitu bangga memamerkan abu yang ada di dahi saya demi dilihat orang. Sesungguhnya saya sudah mendapat upahnya dari situ. 



Yesus hendak mengajarkan pada kita untuk mendobrak setiap kepura-puraan dalam diri kita.  Yesus mengundang kita untuk kembali bertobat, berbalik dan menyesali segala perbuatan kita (metanoia) serta melihat kembali apa yang menjadi motivasi sebenarnya dalam hidup yang kita jalani terutama kehidupan keimanan kita. 

Apakah selama ini, segala yang kita lakukan , kita hanya mencari pengakuan dan penerimaan dari orang lain ? 

Apakah selama ini kita melakukan aktifitas keagaaman kita seperti melayani hanya untuk dilihat dan dipuji orang belaka ? 

Atau apakah selama ini kita merasa kita mampu menjalani hari-hari dengan kekuatan kita sendiri? 

Manusia memang tidak pernah mengetahui maksud hati sesamanya. Namun Allah melihat segala yang tersembunyi itu. Yesus tahu apa yang sebenarnya yang ada dalam hati dan pikiran kita. Rabu Abu, kembali menjadi momen kita berefleksi. Dengan abu yang tertoreh di dahi kita, marilah kita menyadari kerapuhan kita, ketebatasan dan keberdosaan kita yang kerap kali hanya menjalankan rutinitas peribadahan kita belaka. Serta kembali mengalami metanoia, proses pertobatan sejati kita untuk tidak kembali menjadi pribadi yang berpura-pura dalam kehidupan. Hendaknya kita sebagai anak Tuhan pun terus bermawas diri di tengah segala kekurangan kita dan terus-menerus berubah agar semakin menyerupai Kristus. Biarlah metanoia pun terus terjadi dan nyata terlihat dalam setiap kehidupan

Selamat mempersiapkan diri memasuki Masa Raya Paskah dengan berpuasa dan berpantang.


Soli Deo Gloria

LATEST POST

 

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Kalimat pada judul yang merupakan bahasa latin tersebut berasal dari slogan sebuah klub sepak bola t...
by Jonathan Joel Krisnawan | 27 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER