Roma 1:16 (TB) - "Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani."
SAAT GEREJA “DILARANG” MENGURUSI POLITIK
Ketika menemukan berita Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menentang pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)[1], respons saya apresiatif, tetapi juga biasa saja. Sudah sepatutnya PGI mengeluarkan surat pastoral yang mengadvokasi jemaat gereja.
Perlu diingat bahwa di antara 75 pegawai KPK yang divonis gagal lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan terstigma “Taliban”, tidak sedikit di antaranya adalah warga gereja. Bahkan mereka dikenal sebagai orang-orang berintegritas, profesional, serta taat beragama. Sangat disayangkan bahwa di tengah isu “radikalisme”, sesama saudara dalam Kristus ikut dilempari stigma yang kebenarannya masih dipertanyakan.
Saya tidak sering apresiatif dengan PGI, bahkan ada kalanya mencibir mereka. Namun, beberapa kali membaca pernyataan sikap lembaga ini, saya melihat ada upaya berbenah dan peduli. Saya membaca sikap mereka menyurati Presiden terkait jaminan perlindungan beribadah[2][3], juga pernyataan sikap terkait bom Makassar[4] maupun terorisme Poso[5]. Pernyataan sikap PGI kali ini pun tampak sebagai tindakan pastoral. Tak ada statement terlalu “berpihak”, hanya memohon kebijakan adil dan pertimbangan matang.
https://tirto.id/akal-akalan-firli-pakai-cap-taliban-twk-untuk-pecat-pegawai-kpk-ggA4
Namun, respons netizen begitu liar, dan beberapa di antaranya memunculkan beragam celaan. Dari berbagai status di media sosial, baik oleh awam maupun pemuka agama, tidak sedikit yang menganggap PGI melangkahi wewenang. Ada anggapan bermain politik praktis, terkhusus elit-elitnya. Pernyataan-pernyataan itu diiringi berbagai argumen teologis maupun opini terkait “kondisi sebenarnya”. Longok saja, misalnya, Twitter PGI[6] untuk sampel respons terkait. Intinya, institusi Gereja tidak usah mengurusi politik dan tidak boleh “memihak”. Urus saja kebutuhan umat internal yang tak kunjung beres.
Saya pun merenungkan, salahkah keberpihakan Gereja terhadap isu-isu politik? Mungkinkah gereja benar-benar lepas dari politik, sementara pemilihan pengurusnya saja bersifat politis? Apakah tugas gereja dalam politik hanya di masa jelang pemilihan umum, yaitu mengimbau agar jemaat tidak golput? Bolehkah gereja di Indonesia bersuara?
MEMANDANG KEMBALI SURAT ROMA
Saya tak memiliki kapasitas menakar seberapa jauh gereja secara legal dan etis berhak menyatakan diri dalam isu-isu sosial-politik. Namun, saya tertarik menggumuli bagaimana umat Kristen mula-mula menghadapi isu sosial-politik di tempat mereka berdiam.
Pergumulan jemaat mula-mula ini tampak dalam Kisah Rasul maupun Surat-Surat Paulus. Kita dapat mengamati tegangan, di satu sisi sebagai komunitas orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan (ekklesia), di sisi lain sebagai warga negara dengan konteks wilayahnya. Ada tuntutan mengikut Kristus, juga menjadi warga yang baik. Bagaimana Rasul Paulus dalam pelayanan penggembalaannya menavigasi konflik ini? Surat kepada jemaat Roma merupakan salah satu yang menangkap tegangannya.
Surat Roma ditujukan kepada jemaat yang tepat di episentrum peradaban Romawi. Paulus kagum karena telah tersiar kabar tentang iman mereka (Rm. 1:8-9). Dalam kegairahan di tengah kehati-hatian atas potensi persekusi, Paulus rindu datang dan memberitakan Injil di pusat imperium.
Kadang-kadang, kita membaca dan melihat surat Paulus kepada jemaat di Roma ini sebagai kitab moralis, legalis, pun doktrinal. Banyak ulasan doktrin keselamatan, soal bangsa kafir yang berdosa di hadapan Tuhan, juga bangsa Yahudi yang tidak beda karena mengenal hukum Taurat tetapi tidak mengerjakannya. Surat ini juga menekankan pentingnya keselamatan oleh anugerah-Nya melalui iman.
Keasyikan membaca dan menguliti doktrin menyebabkan ada sisi terlewatkan: ini adalah surat kepada jemaat yang paling merasakan tegangan antara menjadi Kristen militan dan tuntutan menjadi warga negara yang patuh kepada Kaisar yang dituhankan, terlebih di pusat penuhanan Kaisar, kota Roma.
Photo by Matthias Mullie on Unsplash
PAULUS: RASUL DENGAN SIKAP POLITIS
N.T. Wright, mantan uskup Anglikan dan scholar, menguraikan kedalaman aspek politis surat Roma di esai berjudul Paul and Caesar: A New Reading of Romans.[7] Lewat esainya, beliau mengingatkan bahwa pengaruh Era Pencerahan menghasilkan perkembangan penggalian Alkitab yang mengasumsikan pemisahan agama dan politik. Ekses negatif bagaimana agama berkasih-kasihan dengan politik dan melahirkan konflik berdarah di masa lalu menghasilkan kecurigaan terhadap agama. Pemisahan gereja dan negara menjadi penting.
Terlepas dari hal-hal positif yang lahir darinya, pemisahan ini mengubur aspek penting yang dulu dianggap terberi dan kini banyak disangkali: agama dan politik akan selalu memiliki jalinan. Alkitab selalu menyatakan implikasi politis yang, walaupun seringkali bukan pesan utama teks, selalu hadir di latar, tersedia untuk digali.
Kerajaan Allah adalah konsep politis. Kristus datang membawa kerajaan “tandingan” dengan power yang berbeda dari bayangan manusia soal kuasa. Kematian-Nya adalah peristiwa politik. Dia dibunuh atas tuduhan makar, melalui kongkalikong antara imam-imam Yahudi yang takut kemuliaan dan hikmat-Nya melahirkan revolusi “aneh” dengan birokrat Romawi yang ingin menebas pemberontakan demi “stabilitas nasional” (Pax Romana, perdamaian Roma).
Paulus menyadari implikasi politis yang mendalam dari gerakan Kristen mula-mula. Kehadiran dan pertumbuhan gereja merupakan upaya pembangunan komunitas berhadap-hadapan dengan komunitas lainnya. Beriman secara Kristiani tak akan pernah bisa dilepaskan dari dimensi publiknya, walau selalu ada dorongan privatisasi agama.
Paulus menyadari Injil Kristus yang dikabarkannya tak bisa lepas dari konteks perlawanan terhadap kekuasaan dunia. Kerajaan Allah berhadap-hadapan dengan imperium yang menuhankan Kaisar dalam segala kedigdayaannya. Allah, atau Kaisar?
Akar kata Injil (euaggelion), “berita baik”, sebelumnya dikaitkan dengan kemegahan kekaisaran yang merawat “perdamaian dunia”. Akar kata Lord (kyrios) adalah otoritas yang layak menerima pengakuan, loyalitas, dan penyembahan: Sang Kaisar. Akar kata kedatangan Kristus kembali (parousia) pun awalnya bermakna soal kehadiran Kaisar.
Mulai melihat kesengajaan Paulus “mencuri” istilah kekaisaran untuk menyatakan Injil?
TANTANGAN PAULUS: KOMPROMI SUBVERSIF
Austin Farrer, saat mengajar surat Roma, biasa membaca Roma 1:8-15 dengan lantang lalu langsung melompat ke Roma 15:14 dan seterusnya. Dia akan bertanya kepada pendengarnya: mengapa Paulus meletakkan semua materi lainnya di tengah-tengah perikop ini?
N.T. Wright pun mengingatkan kita, "Jika Paulus membingkai surat ini dengan permulaan dan kesimpulan yang menggemakan tantangan jalan Kristus kepada Kaisar, bukankah seisi suratnya juga demikian?"
Maka, pembacaan Roma 13 secara parsial tentang ketundukan belaka menjadi miskin dan kaku, mencabut kepenuhan konteks sosial-politisnya. Sebaliknya, pembacaan menyeluruh akan membuat kita justru bertanya-tanya:
Bagaimana mungkin Paulus tak berstrategi dalam menggembalakan gerakan iman berhadap-hadapan dengan dominasi penindas?
Bagaimana mungkin ketundukan terhadap pemerintah Romawi tak dilihat dalam bingkai perhitungan langkah untuk menghidupi iman Kristen yang datang membawa “pedang” menghadapi kuasa dominan yang begitu angkuh?
Di sepanjang Perjanjian Baru, Paulus sangat lihai menggunakan privilege-nya sebagai Yahudi terpelajar dan warga Rum (Kis. 16:37-39) yang memiliki hak hukum. Patuh, namun melawan, karena Kristus melampaui Kaisar. Jangan-jangan, pola inilah yang menjadi kerinduan Paulus dalam panggilan mengerjakan kehendak-Nya: kompromi yang subversif. Perlawanan dalam ketundukan.
Photo by Ilona Frey on Unsplash
IMPLIKASI POLITIS: UNDANGAN BERSIKAP
Di masa lalu, otoritas berlebih gereja melahirkan kekejaman. Pun tak jarang kita melihat gerakan politis Kristen konservatif di negara-negara seperti Amerika Serikat yang melawan nurani keadilan maupun kebenaran Firman, bahkan menuhankan sosok yang dianggap dapat mewakili mereka. Sejarah keterlibatan komunitas Kristen di dunia politik sejatinya penuh noda. Tak heran, sebenarnya, bila tidak sedikit yang menegaskan bahwa gereja tak usah berpolitik.
Namun belajar dari Paulus, cepat atau lambat, gereja akan berjumpa dengan aspek politik dalam konteks kenegaraan. Izin ibadah dari pemerintah, persekusi, kebebasan memeluk agama, kerja sama antarumat beragama, pendidikan politik, pun membina dan menjaga umat yang ambil bagian di ranah politik praktis.
Belajar dari Paulus lagi, Injil selalu menantang dan membongkar perdamaian palsu. Kerajaan Allah tidak cocok dengan kekuasaan dunia yang berlangsung sekarang. Sikap gereja, walau tak berhak berpolitik praktis, sejatinya adalah untuk, dalam kerapuhannya, menawarkan oposisi, koreksi, maupun suara kenabian, menjadi perpanjangan tangan Allah yang terus mengoreksi dosa manusia hingga kedatangan Kristus kembali.
Maka ketika melihat ketidakadilan, kesewenang-wenangan mereka yang menjalankan amanat menjadi wakil Tuhan, serta upaya menegakkan perdamaian semu untuk menutupi konflik horizontal, bagaimanakah sikap kita?
“Tunduk” walau sejatinya hanya mencari aman, ataukah menggumulkan suara Roh Kudus dan ambil bagian bersuara, dalam koridor menjalankan hak dan kewajiban?
Siapakah Tuhan kita, Kristus ataukah berhala “Kaisar”?
Kiranya Allah menolong kita. Amin.
Referensi:
[2] https://www.beritasatu.com/nasional/684915/surati-jokowi-pgi-minta-jaminan-perlindungan-beribadah-bagi-umat-kristen,
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: