INTP, ESTJ, Sanguin, Flegmatis, golongan darah, dan berbagai tes kepribadian lain menjadi hal menarik yang terus mencuri perhatian banyak orang, terkhusus pemuda.
Kita gemar singgah pada tautan yang memberikan penjelasan tentang diri kita. Bahkan dihubungkan dengan sesuatu yang kadang tak masuk akal! Dan saya, sebagai penyuka psikologi populer juga menggemarinya. Hingga suatu kali saya berkonflik dengan seseorang, dan menyadari bahwa ada cara pandang yang perlu saya benahi.
Mencari tujuan dari pengenalan diri
Mengenal diri sendiri itu baik, soal strength and weakness misalnya. Diharapkan dari sana kita terampil mencari strategi yang tepat dalam mengelola diri. Bagaimana mengatur waktu, bagaimana menghindari kekurangan motivasi diri, dan berbagai trik lain. Sayangnya tak sedikit yang melenceng dari tujuan utama pengenalan diri dan alih-alih menyemangati diri untuk menutupi kekurangan dan berproses di sana, justru menjadikan itu sebagai tameng agar tidak disalahkan.
Mungkin setahun lalu, saya bergesekan dengan seseorang yang sebenarnya tidak terlalu dekat dengan saya. Lalu ketika berhadapan untuk membicarakan kekesalan hati masing-masing, dia berujar: “Saya orang melankolis, bagimu yang sanguin ini akan cepat selesai. Bagiku, tidak”
Kalimat itu terus terbayang dan membuat saya banyak merenung. Mengapa kita akhirnya menyerah pada sikap hati tertentu atau bahkan pada relasi hanya karena menerima terlalu pasrah sebuah karakter yang ada dalam diri. Mengapa kita tidak justru berusaha ekstra dan menghayati bahwa relasi itu berharga untuk diperjuangkan.
Pembelaan yang digunakan
Beberapa bulan sebelum saya menulis ini, seorang kawan dekat yang mendalami psikologi mengeluhkan bagaimana tipe-tipe karakter ini memang kadang dipahami tidak tepat. Bukan lagi untuk mengelola diri tapi menjadi pembenaran kesalahan.
“Semakin kesini semakin tidak bijak penggunaannya (tes kepribadian). Bukannya untuk melihat area mana yang butuh diasah, malah menjustifikasi kekurangan”
“Aku emang gitu” bukanlah sebuah pembelaan. Untuk bertoleransi, iya. Untuk membela diri, sekali-kali tidak. Kita semua sebagai orang yang punya kekurangan haruslah bertoleransi terhadap tipikal khas orang lain yang mungkin rawan bergesakan dengan kita. Menjadi alasan untuk menerima orang lain, tanpa lupa memberi masukan agar ia juga terus berproses. Sayangnya, kecenderungan self-defense membuat karakter tertentu sebagai alasan bahwa tindakan kita tidak salah.
“Ya memang begini aku adanya.”
“Aku orang koleris, wajar dong marah-marah”
“Sebagai golongan darah B, aku emang santai dan berantakan gini. Uda wajar lah.”
Pembenaran terbaik yang harus kita gunakan adalah kasih. Kita tidak boleh lupa sesungguhnya, melankolis, sanguin, koleris, itu hanya karakter namun bukan identitas. Saya adalah seorang Kristen yang sanguin. Bukan sebaliknya, seorang sanguin yang Kristen. Pemahaman akan apa identitas kita dan apa yang hanya berupa karakter, mempengaruhi yang mana dulu yang akan digunakan kala menghadapi gesekan. Segala konflik harus dihadapi sesuai identitas kita. Dan identitas kita adalah: kasih.
Sekarang setiap kali saya tergoda berkata “sorry ya marah-marah aku emang koleris nih,” saya kini belajar lebih memilih berkata “maaf ya sudah marah-marah, lain kali aku coba lebih kendalikan emosi”.
Seperti Yesus sendiri
Siapa lagi yang patut selalu kita jadikan teladan selain Yesus sendiri. Begitu pula dalam menyikapi berbagai kekurangan orang lain, seharusnya itu bersumber pada bagaimana Yesus sendiri menyikapi kelemahan kita. Saya senang dengan kalimat ini: Tuhan menerimamu apa adanya, tapi tidak membiarkan dirimu terus begitu adanya. Iya, Bapa tidak sekalipun memandang miring diri kita dengan segala tumpukan salah. Dia bahkan menyengaja keunikan masing-masing pribadi. Tapi Ia rindu kita berproses makin serupa dengan-Nya. Tidak semata berpasrah pada keretakan.
Selain mengampuni dan menerima, wujud kasih kita dapat berupa saran dan masukan yang tulus. Bahwa, kita akan menerima orang itu apa adanya namun sekaligus rindu dia (bersama kita sendiri) menjadi orang yang terus lebih baik.
Sekali lagi saya ingin ulang kalimat parafrase dari Max Lucado itu: “Mencintai apa adanya, tanpa membiarkan diri menjadi terus begitu adanya.” Prinsip sederhana ini berlaku, bukan hanya dari Tuhan ke kita. Tapi dari kita ke orang lain bahkan ke diri kita sendiri.
Kepribadian adalah sebuah keunikan yang patut dirayakan, tapi tidak berarti harus berpasrah apalagi digunakan sebagai pembenaran.
Selamat berproses bersama, kawan!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: