Aku akan tetap berusaha mengasihi dia dengan segala kelemahannya karena Tuhan sudah lebih dahulu mengasihiku.
Suatu hari seorang teman datang padaku dan menceritakan kisah cinta yang sedang ia jalani.
Ia menuturkan bahwa beberapa waktu lalu, ia mulai menjalin relasi dengan seorang lelaki. Ia tahu benar, lelaki ini dapat dibilang sangat ‘duniawi’- seorang Kristen yang juga peminum, gemar clubbing, merokok, berfoya-foya, dan lain sebagainya.
Banyak orang di sekitar temanku yang lantas mencemoohnya. Mereka berkata bahwa ia terlalu berharga untuk lelaki itu. Mereka merasa lelaki ini terlalu berdosa untuk temanku yang sangat menjaga kekudusan hidupnya. Bahkan, karena amat besar perbedaan dari keduanya, tak sedikit yang memaksa temanku ini untuk mengakhiri hubungan tersebut.
Waktu berlalu hingga mereka memutuskan untuk melangkah ke tahap berpacaran. Ketika mereka semakin dekat dan kian mengenal satu sama lain, temanku menyadari bahwa kekasihnya itu memiliki masalah lain dalam dirinya, yakni kepercayaan diri yang begitu rendah. Lelaki itu sering menyatakan bahwa hidupnya sama sekali tidak berguna dan hanya mengganggu kehidupan orang lain. Tidak cuma sampai di situ, pernyataan hendak melakukan bunuh diri pun sering terlontar dari mulutnya.
Di suatu titik, temanku merasa tidak tahan lagi. Masalah dalam diri pasangannya ini mulai berdampak pada relasi yang sedang mereka bangun. Sang kekasih kian temperamental dan mudah menyalahkan diri sendiri secara ekstrem. Bahkan, tak jarang perkataan hendak melakukan bunuh diri turut terungkapkan ketika keduanya mengalami masalah dalam hubungan, termasuk pada masalah yang wajar sekalipun.
Di tengah pergumulan dan kelelahan yang dirasakan temanku untuk menjaga hubungan tersebut, tetap saja ia tak pernah berhenti memperjuangkannya. Lebih lagi, ia terus berjuang sekalipun tak ada timbal balik yang jelas dari pasangannya.
Photo by Bewakoof.com Official on Unsplash
Pernah dalam satu kesempatan, ia mengatakan sesuatu yang membuatku begitu tercekat, “Aku akan tetap berusaha mengasihi dia dengan segala kelemahannya karena Tuhan sudah lebih dahulu mengasihiku. Tidak hanya mengasihi, Tuhan juga berjuang mengubahkan aku dari seorang pendosa besar menjadi anak-Nya. Sekarang, Tuhan juga minta aku berbuat hal yang sama pada seseorang, yang tak lain sekarang adalah kekasihku. Memang semua ini tidak mudah, tetapi aku tetap berjuang.”
“Tuhan sendiri yang memberiku kekuatan untuk mengasihinya. Lagipula, statusku tidak berbeda dengan kekasihku, kami sama-sama seorang pendosa. Tidak ada dosa besar ataupun dosa kecil di mata Tuhan, semua sama di hadapan-Nya. Jadi, mengapa aku harus menjauhinya – ketika Tuhan menyuruhku menjadi garam dan terang bagi dunia?” imbuhnya.
Photo by ckturistando on Unsplash
Perkataan itu membuatku teringat pada sebuah kisah kasih yang indah, yakni cerita tentang kasih Tuhan itu sendiri. Walau Tuhan begitu sering dikecewakan oleh ciptaan-Nya sejak mereka jatuh dalam dosa, tak sedikitpun Ia menyerah untuk menyapa dan mengubahkan kita. Kasih Tuhan memang tidak mudah dicerna oleh pikiran manusia yang begitu logis.
Nabi, imam, dan hakim, satu per satu Ia datangkan untuk membuat manusia kembali pada-Nya. Namun saat manusia tetap tak mau mendengar dan bebal hati, Tuhan tetap mengasihi mereka. Sampai-sampai Ia sendiri rela menjadi manusia dan hidup bersama dengan mereka yang berdosa. Ketika itu pun, dunia pun tetap enggan menerima-Nya. Oleh ciptaan-Nya sendiri Ia lantas dicemooh, disiksa, hingga mati dengan cara yang paling hina. Itu semua Ia lakukan untuk menebus dosa manusia, untuk kamu dan saya. Itulah bukti kasih-Nya yang begitu besar bagi kita.
Photo by Juan Pablo Rodriguez on Unsplash
Aku menyadari, temanku sedang belajar menjadi serupa dengan Kristus. Ia tidak menjauh ketika menjumpai orang yang dipandang buruk oleh dunia. Ia mau belajar mengasihi dengan kasih Kristus, sebagaimana Kristus telah memulihkan hidupnya terlebih dahulu. Belajar mengasihi walau disakiti, belajar mengasihi walau dicerca, belajar mengasihi walau tanpa balasan.
Seiring berjalannya waktu, kekasih temanku menunjukkan banyak perubahan positif. Ia mulai meninggalkan kebiasaannya dahulu dan makin dalam lagi mengenal Tuhan. Usaha yang temanku lakukan bersama Tuhan tidaklah sia-sia. Bahkan temanku juga banyak dibentuk oleh Tuhan melalui hubungan yang ia jalani.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita mampu mengasihi orang yang “seakan lebih berdosa” seperti Kristus juga mengasihi kita yang berdosa? Ataukah cap sebagai “pendosa” begitu menganggu benak kita?
Tuhan menghadirkan mereka yang terhilang di sekitar kita bukan untuk kita biarkan begitu saja. Mari pandang mereka dengan belas kasih Tuhan, sapa mereka dengan damai Kristus, kasihi mereka dengan kasih Kristus, dan pertemukan mereka dengan Kristus. Jadilah saluran berkat Tuhan, bukan penghalang bagi “sang pendosa” untuk berjumpa dengan-Nya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: