Betapa hidup kita yang kecil dan seakan tak menarik ini akan lebih berharga karena dapat menjadi kepingan mungil yang turut memberi bentuk pada rupa yang lebih besar dan indah.
Penghujung tahun selalu jadi waktu yang tepat untuk mulai kembali menyusun target, menata rencana yang belum sempat terlaksana, dan tentu saja sebelum semua itu, berefleksi. Akhir tahun adalah waktu bagi setiap kita untuk menoleh ke belakang dan berkaca — melihat, apa-apa saja pencapaian yang sudah kita raih, kegagalan yang kita alami, serta pelajaran berharga apa yang telah kita dapat.
Bulan Desember selalu sanggup untuk membuat kita melakukan kilas balik, mengenang kembali momen-momen berharga apa yang telah kita lalui. Saat kita melihat gambaran hidup kita di tahun ini, apa yang ada di benak kita? Banggakah? Bahagia karena di tahun ini kita berhasil meraih apa yang selama ini kita mimpi-mimpikan — kenaikan pangkat, menikah, dikaruniai anak, pindah ke rumah baru, mendapat penghasilan yang lebih tinggi? Atau justru tahun ini menjadi tahun yang buruk? Kehilangan pekerjaan, diputus pacar, menderita sakit, kehilangan orang terkasih, maupun terpuruk secara financial?
Tiap tahun selalu meninggalkan kesan yang berbeda bagi setiap kita. Tahun ini mungkin menjadi tahun keemasan bagi sebagian kita; namun bagi sebagian lain, mungkin menjadi tahun terburuk yang ingin segera kita akhiri; sementara sebagian lain merasa tahun ini adalah tahun yang sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya — stagnan dan membosankan. Namun apa pun yang kita alami, berhasil meraih puncak, mundur selangkah, atau pun berjalan di tempat, semua yang kita alami tidak membuat kita lebih tidak berharga.
Fokus yang benar
Seorang rekan pernah berkata pada saya, ”Enak loh jadi dokter, bisa menjangkau banyak jiwa”. Kalimat yang sanggup membuat saya tertegun cukup lama. Sebuah fakta gamblang yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Menjadi dokter berarti punya akses yang mudah dan begitu cepat untuk menyentuh kehidupan banyak orang, sebuah privilege, kalau mau dibilang. Tapi, saya tak pernah menyadarinya karena begitu sibuk dengan rutinitas, begitu fokus pada kelelahan, kebanyakan mengeluh, dan lupa bahwa sebenarnya ada hal yang lebih penting daripada pencapaian bagi diri sendiri.
Photo by Caleb Jones on Unsplash
Mungkin sebagian — kebanyakan, dari kita juga seperti itu. Fokus kita dengan mudahnya bergeser menjadi sama dengan dunia. Kita berlomba-lomba membangun hidup supaya jadi lebih ‘eksis’ di mata dunia, berusaha membuat orang lain ‘melirik’ kita, dan bahkan kita jadi jumawa saat orang lain berdecak kagum melihat kesuksesan hidup kita. Padahal, hidup ini bukan melulu soal kita, kita, dan kita. Siapa pun kita, tua atau muda, berhasil atau tidak, kuat atau lemah, kita tak ayal adalah ciptaan Allah yang telah dipersiapkan-Nya untuk melakukan pekerjaan yang baik.
Kerjakan bagian kita dengan sungguh
“Maka lakukanlah semuanya itu dengan setia, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri.”
Ulangan 5:32
Dalam masa penantian ini, hidup seperti apa yang kita pilih untuk kita jalani? Hidup yang terfokus pada diri sendiri? Tak peduli apa yang orang lain rasakan, yang penting kita hidup nyaman dan aman. Atau hidup dengan turut mengerjakan rancangan besar Allah? Coba bayangkan jika setiap kita—siapa pun kita, apa pun pekerjaan kita, melakukan pekerjaan kita dengan sungguh. Bayangkan jika kita memberikan diri kita seutuhnya bagi Tuhan dalam setiap pekerjaan kita. Seorang teller melayani nasabahnya dengan ramah, seorang customer service mendengarkan keluhan kliennya dengan sabar, seorang teknisi memperbaiki perabot pelanggannya dengan sepenuh hati. Betapa damai sejahtera akan tersampaikan dan menyentuh setiap hati yang kita layani. Betapa hal-hal seperti itu akan lebih berharga daripada gaji dan materi yang kita peroleh, ketenaran yang kita cari, serta decak kagum dari orang lain. Betapa hidup kita yang kecil dan seakan tak menarik ini akan lebih berharga karena dapat menjadi kepingan mungil yang turut memberi bentuk pada rupa yang lebih besar dan indah.
Photo by anja on Unsplash
Dan tentu saja, ketika kita menoleh ke belakang, melihat apa-apa saja yang telah kita lakukan, kita dapat tersenyum dengan bangga. Karena kita punya lebih dari sekadar feed Instagram yang terpoles rapi dan menuai ribuan likes, melainkan hidup kita telah menyentuh jiwa-jiwa yang terjamah oleh kehadiran kita. Hingga pada akhirnya, tak peduli seberapa banyak dan menyakitkan jatuh bangun yang kita alami dalam hidup, kita akan dapat mengamini, bahwa perjalanan ini bukanlah semata tentang kita, melainkan hanya untuk kemuliaan-Nya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: