Semoga kita yang tengah dalam masa penantian ini tidak menjadi pasif, tetapi aktif untuk menjadi pribadi yang lebih baik, hingga kelak di waktu yang tepat, Allah mempertemukan kita dengan orang yang tepat, ketika kita siap.
“Sekarang kamu lagi deket sama siapa?” tanya seorang rekan beberapa waktu lalu. Sebelum menjawab pertanyaan itu saya terdiam sejenak. Sepertinya ini pertanyaan yang selalu dia tanyakan tiap kali kami bertemu.
“Aku nggak lagi deket dengan siapa-siapa,” jawab saya dengan yakin tanpa harus memastikan apapun.
“Oh ya? Lalu bagaimana kamu menjalani hidupmu?” pertanyaan yang membuat saya bingung bagaimana harus menjawabnya. Satu-satunya alasan mengapa saya sulit menjawabnya adalah bahwa ya, saya hanya menjalani hidup. Begitu saja. Tapi saya yakin ini tidak akan membuat teman yang juga seorang gadis lajang ini puas. Saya memutar otak dan mata untuk menemukan kalimat yang tepat, “Emmm yaaa, aku pelayanan, baca buku, kadang nonton, nulis, terus nongkrong. Gitu.” Saya menatap matanya berharap menemukan kepuasan di sana. Bisa ditebak, saya melemparkan pertanyaan yang sama kepadanya dan kami memulai girls talk yang saya yakin anda tidak ingin mendengarnya.
Pertanyaan kedua dari teman saya itu membuat saya berpikir, memangnya bagaimana seharusnya seorang wanita lajang menjalani hidup? Apakah ketiadaan seorang kekasih membuat seorang wanita lajang akhirnya lumpuh, tidak utuh, atau tidak memiliki semangat hidup?
Pada November tahun ini saya akan genap berusia 25 tahun, suatu usia yang akan selalu menerima pertanyaan “sudah punya pacar?” atau “kapan menikah?” Saya bukan manusia super yang tidak bisa stres jika terus-terusan diperhadapkan dengan pertanyaan seperti itu. Merindukan seseorang untuk hadir dalam hidup kita sebagai rekan seperjalanan adalah suatu hasrat yang baik. Hasrat itu berasal dari Allah. Sampai saat ini pun saya memiliki hasrat itu. Namun masa penantian akan pasangan hidup tidak selamanya mudah, bahkan kadang dihiasi dengan uraian air mata.
Berikut beberapa hal yang menolong saya untuk menjalani masa penantian sebagai seorang wanita lajang:
@priscilladupreez www.unsplash.com
Mengakui kekosongan dan mengizinkan Allah
Setiap wanita atau mungkin juga pria lajang pasti pernah melakukan hal-hal seperti memandang iri kepada foto sepasang kekasih di Instagram, dengan menggemakan pertanyaan kepada diri sendiri, “Aku kapan ya?” Untuk para lajang di luar sana, dirimu tidak sendirian. Saya juga pernah mengalaminya, bahkan merasa jengkel dengan sepasang kekasih yang belum menikah namun memamerkan kemesraan yang berlebihan di media sosial.
Inti yang boleh saya pelajari dari proses menanti adalah ketika saya mulai iri terhadap hubungan orang lain, itu tanda bahwa hati saya sedang kosong, bahkan kosong dari Allah.
Seorang ahli fisika dari Prancis yang bernama Blaise Pascal (1662) mengatakan, “Ada ruang kosong dalam diri manusia yang tidak dapat diisi dengan benda ciptaan apapun, tetapi hanya dapat diisi oleh Allah yang dikenal melalui Yesus Kristus.”
Tidak masalah untuk merasa kosong dan sedih dalam masa menantikan pasangan hidup, namun akan menjadi masalah ketika mengira kekosongan itu dapat dipuaskan dengan memiliki kekasih. Tidak, hanya Allah yang sanggup memenuhi dan memuaskan hati kita dengan sukacita dan damai sejahtera, bukan seorang kekasih. Mengakui kekosongan dan datang kepada Allah menolong saya untuk menjadi pribadi yang utuh dan bahagia. “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu,” kata Yesus di dalam Yohanes 14:27.
@dianasimumpandey www.unsplash.com
Menertawakan masa lajang itu perlu.
Jackie Kendall & Debbie Jones dalam bukunya Lady in Waiting mengatakan bahwa jika kita belum bisa menertawakan masa lajang kita, itu tanda bahwa kita tidak menikmatinya. Jika tidak menikmatinya, berarti kita tidak bahagia. Padahal tidak ada yang bisa menjamin apakah kita akan bahagia jika memiliki kekasih atau menikah. Di dalam buku itu juga dijelaskan bahwa jika kita tidak bahagia ketika masih lajang, kita juga tidak akan bahagia meski sudah memiliki kekasih atau menikah. Kembali ditegaskan, bahagia itu adalah tentang menjadi puas dengan Allah saja. Tentu memiliki pasangan akan menolong kita dalam banyak hal, tetapi dia bukan sumber kebahagiaan kita. Sumber kebahagiaan adalah relasi yang intim dengan Sang Pencipta.
Saya memiliki suatu grup Whatsapp beranggotakan 4 orang. Di antara mereka, hanya saya seorang yang tidak memiliki kekasih. Suatu hari, seorang rekan mengirim gambar dengan keterangan, ‘Boleh juga nih buat modus’ (modus: usaha untuk mendekati seseorang). Lalu saya menimpali dengan ‘duh aku gak pinter modus. Mungkin itu alasan kenapa di grup ini gue doang yang jomblo hahaha.’ Celetukan itu membuat rekan saya tertawa dan saya pun akhirnya menertawai diri sendiri. Tidak ada rasa mengasihani diri atau penyesalan mengapa di antara kami hanya saya yang belum memiliki kekasih. Tidak. Saya menertawakan diri sendiri di dalam penantian dan ikut berbahagia ketika orang lain menertawakannya juga.
@candice_picard www.unsplash.com
Masa lajang adalah waktu untuk belajar dan mempersiapkan diri
Saya sering mendengar, menjalin sebuah hubungan bukanlah hal yang mudah. Itu alasan mengapa ada orang yang gonta-ganti pacar dan pernikahan berakhir dengan perceraian. Maka dari itu, masa lajang adalah waktu yang tepat untuk mempersiapkan diri bagi sebuah relasi serius ke depan. Ada banyak cara untuk belajar, mulai dari membaca buku, mengikuti seminar, atau bahkan mendengar kisah sepasang suami istri yang bisa menjadi teladan.
Ada beberapa buku tentang pasangan hidup dan masa lajang yang sudah saya baca. Buku-buku itu antara lain Lady in Waiting oleh Jackie Kendall & Debbie Jones, Sacred Search oleh Gary Thomas, Tuhan Masih Menulis Cerita Cinta oleh Grace Suryani & Steven Halim, When God Writes Your Love Story oleh Eric dan Leslie Ludy dan The Mingling of Souls oleh Matt Chandler.
Kita tidak hanya bisa membekali diri dengan pengetahuan, namun juga melatih dan mengembangkan diri dengan melakukan hobi, memiliki komunitas yang membangun, mengatur keuangan sendiri, dan berteman dengan banyak orang.
Semoga kita yang tengah dalam masa penantian ini tidak menjadi pasif, tetapi aktif untuk menjadi pribadi yang lebih baik, hingga kelak di waktu yang tepat, Allah mempertemukan kita dengan orang yang tepat, ketika kita siap.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: