“Roh manusia adalah pelita TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” (Amsal 20:27)
Silakan baca seri SPY sebelumnya di sini
Sebagai penganut Yudaisme yang terlihat begitu memperhatikan aspek-aspek psikologis pada anak dalam prinsip-prinsip parenting-nya, tentunya Yael Trusch tetap berpegang pada Taurat dalam mengasuh anak-anaknya. Oleh karena itu, dalam prinsip Parenting yang kelima ini, kita akan membahas pentingnya iman bagi orang tua serta bagaimana memperkenalkan iman di dalam Tuhan kepada anak sejak dini. Tidak apa-apa jika saat ini Ignite People mungkin masih belum berkeluarga. Siapa tahu SPY ini bisa menolong dalam berefleksi mengenai peran pengasuhan orang tua bagi Ignite People, bahkan menjadi bekal dalam meneruskan kehidupan yang berlandaskan pada Firman Tuhan bagi anak-anak kelak.
Stick to The Fundamentals
Akhir-akhir ini, kata fundamental mungkin memang mengalami peyorasi—bila dalam konteks pembicaraan perihal tafsir Kitab Suci, agama, dan hal-hal lain yang berkaitan. Namun yang dimaksudkan Yael Trusch dengan tetap berpegang pada fundamental atau dasar agama (dalam hal ini Yudaisme) ialah bagaimana orang tua tetap melandaskan segala dinamika kehidupan berkeluarga, khususnya dalam mengasuh anak pada apa yang tertuang dalam Kitab Suci. Dalam artikel #SPY2 telah dibahas bagaimana orang tua menjadi mitra Allah dalam mengasuh anak. Itulah alasan sudah seharusnya orang tua juga mengenalkan kepada anak perihal iman sedini mungkin, supaya anak-anak pun kelak menjadi mitra Allah dalam menjalani kehidupannya. Yael Trusch terkesima oleh cerita dalam Tanya 2, dimana seorang anak memiliki jiwa yang dikatakan merupakan bagian dari Allah itu sendiri. Itu berarti setiap anak memiliki kebaikan yang melekat pada kedalaman hatinya yang selama ini mungkin sulit kita lihat, bukan? Nah, berkaca dari situ, Yael Trusch mengajak para orang tua untuk mengenalkan iman dalam Tuhan sejak dini, sebab ia percaya bahwa ada bagian dari jiwa Allah di dalam diri anak-anak yang masih murni itu.
For Parents
Memperkenalkan iman kepada anak-anak tentu bukanlah hal yang mudah, mengingat mereka masih belum bisa menangkap sesuatu yang abstrak dengan cepat di usia dini. Ignite People bisa mempelajari hal ini lebih lanjut melalui teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget. Dia menyebutkan bahwa kemampuan berpikir abstrak baru berkembang ketika anak telah memasuki usia remaja (formal operational stage). Nah, karena itu, orang tua terlebih dahulu harus memiliki hubungan yang intim bersama dengan Allah. Mengapa?
Jawabannya bisa kita temukan melalui kehidupan Wendy Mogel yang pernah mengalami krisis iman dalam kariernya. Pendalaman ilmu psikologi yang dilakukannya sedikit-banyak menolongnya untuk mampu menerjemahkan setiap perilaku, kondisi seseorang, serta mengarahkannya. Meski demikian, Wendy Mogel menemukan bahwa Taurat dan ajaran para Rabbi tetap diperlukan untuk mencapai ketenangan jiwa dan spiritulitas kita. Akibatnya, terjadilah pergeseran paradigma dalam menjalani kariernya: ia mulai membangun supporting groups untuk para orang tua. Dari kelompok itulah, ia menemukan bahwa orang tua yang diliputi kecemasan akan sangat berdampak pada perkembangan sang anak yang juga akan merasa tidak percaya diri dan cemas dalam menghadapi tahap-tahap kehidupannya.
Berdasarkan kisah di atas, sangat diperlukan bagi orang tua untuk tetap berpegang pada Taurat dan terus memastikan spiritualitasnya terjaga, apalagi orang tua juga harus tetap bermitra dengan Allah dalam mengasuh anak-anaknya. Dengan menjaga spiritualitas diri, orang tua dapat turut menanamkan iman dalam diri sang anak sedari dini, yang juga terpancar lewat perilakunya sehari-hari sebagai wujud imannya kepada Allah. Tentunya ini tidak terlepas dari doa penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, karena sekeras apapun orang tua memberikan teladan, hanya Dia yang sanggup melembutkan dan mengubahkan hati anak-anaknya untuk mengikuti "jejak iman" yang orang tua mereka berikan.
Photo by Juliane Liebermann on Unsplash
For Children
Selain dari sisi orang tua, Wendy Mogel juga melihat, bahwa dalam banyak bimbingan konseling terhadap anak, sangat jarang para pembimbing menyampaikan tentang pesan-pesan yang terkandung dalam Mitzvot (613 Taurat). Ironisnya, bimbingan itu tidak menghasilkan solusi: anak-anak tetap merasa cemas dengan segala situasi dan tuntutan yang ada. Nah, dari sini kita bisa mulai menangkap bahwa memiliki pengenalan terhadap Firman Allah sejak dini ternyata sangat dibutuhkan oleh anak-anak. Meskipun menurut James W. Fowler dalam teorinya tentang tahapan perkembangan iman (stages of faith), iman belum dapat dikenali oleh anak yang berada dalam rentang usia 0-3 tahun, namun, orang tua tetap harus memperkenalkannya melalui nyanyian, buku-buku sederhana, dan ritual-ritual sederhana seperti berdoa sebelum tidur dan makan. Barulah pada rentang usia 3-7 tahun, ketika anak-anak mulai bisa berimajinasi, di sinilah peran orang tua sangat tinggi, tentang bagaimana menggambarkan Tuhan secara sederhana. Dalam karyanya yang berjudul Simple Words, Rabbi Adin Steinsaltz mengatakan bahwa akan lebih mudah jika kita menjelaskan keberadaan Tuhan secara antromorfis sebab itulah gambaran yang bisa ditangkap oleh manusia (misalnya menggambarkan Tuhan bagai pohon, pelangi, dan lainnya). Namun, seiring berjalannya waktu, penggambaran itu akan dipatahkan oleh fakta-fakta sains dan justru membawa banyak orang pada ketidakpercayaan akan adanya Tuhan.
Jika demikian, bagaimana menghadapi anak-anak yang mulai mendapatkan fakta baru, misalnya tentang teori evolusi Darwin atau mungkin tentang teori Big Bang? Banyak orang tua kebingungan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, “Ma, Pa, jadi yang betul dunia ini diciptakan dalam enam hari atau milyaran tahun? Terus, manusia itu evolusi dari kera atau diciptakan dari debu?” Disadari atau tidak, karena rasa takut orang tua bahwa anak mereka akan meninggalkan Tuhan jika menjelaskan yang sebenarnya, orang tua cenderung menghindari pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun ini justru berakibat buruk, bisa jadi menurunkan minat eksplorasi anak. Dalam bukunya yang berjudul The Blessing of a Skinned Knee, Wendy menceritakan pengalaman yang serupa bersama sang anak, dimana dia menyadari kebutuhannya terhadap waktu untuk menjawab pertanyaan "uniknya". Bahkan Wendy mengatakan bahwa ia baru memberanikan diri untuk memperhadapkan antara sains dan agama bagi anaknya yang masih berusia 8 tahun. Ia mengatakan,
“Tuhan itu ada, Nak; tapi cara kita memahaminya beda dari sains. Dalam mempelajari sains, kita menggunakan logika kita; tapi jika kita ingin mengenal Tuhan, maka kita dapat menggunakan Kesepuluh Perintah Tuhan, misalnya. Jadi, sains dan agama itu tidak berkompetisi, Nak. Setahu Mama, memang dunia diciptakan dalam milyaran tahun, tapi, kisah penciptaan dalam Kitab Suci tidak ingin memberikan fakta sains itu. Meski demikian, ada pelajaran yang bisa diambil. Misalnya, kerja keras itu memang penting, tapi ternyata mengambil waktu untuk beristirahat juga penting, seperti yang dilakukan Tuhan setelah menciptakan dunia.”
Jawaban seperti itu tidak akan membuat anak menjadi enggan untuk bertanya lagi, melainkan ia akan merasa diajak untuk berdiskusi yang semakin menumbuhkan rasa ingin tahunya lebih lagi. Selain itu, kita juga tidak menyembunyikan fakta yang ada. Nah, hal ini akan membantu anak untuk tetap berpegang pada ajaran Tuhan, tetapi di sisi lain peka terhadap masalah-masalah eksistensial yang akan ditemuinya di hari depan. Ya, tugas memperkenalkan iman kepada anak mungkin merupakan salah satu tugas terberat bagi orang tua. Namun ingatlah senantiasa bahwa menjadi orang tua ialah sama dengan menjadi mitra Tuhan, itu artinya Tuhan akan terus menemani serta menolong dalam setiap dinamika pengasuhan anak-anak.
*Prinsip-prinsip Jewish Parenting dari Yael Trusch lainnya akan dibahas pada artikel-artikel #SPY selanjutnya. See you!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: