Parents can only give good advice or put them on the right paths, but the final forming of a person’s character lies in their own hands - Anne Frank
Pada artikel sebelumnya, kita telah mengenal siapa itu Yael Trusch dan prinsip Jewish Parenting-nya yang pertama, yaitu bagaimana orang tua berkawan karib dengan hikmat yang sejati yakni Allah serta menjadi mitra Allah dalam mengasuh anak-anaknya. Nah, di artikel kali ini, kita akan membahas prinsip Yael Trusch yang kedua dalam pola asuhnya terhadap sang anak, berbasis Kitab Tanakh dan Talmud.
Capitalize on Core Competities
Apa yang dimaksudkan oleh Yael Trusch dengan memanfaatkan "core competities" atau "kompetensi inti"? Dalam sebuah artikel di sebuah buku psikologi yang berjudul Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang dapat membentuk kepribadian anak, di antaranya faktor lingkungan dan konstitusi (atau lebih dikenal sebagai faktor keturunan). Di luar faktor-faktor lingkungan yang sangat mungkin mempengaruhi tumbuh kembang si anak, Prof. Singgih Gunarsa menegaskan bahwa orang tua lebih dahulu harus mengetahui faktor-faktor yang mungkin diturunkan pada anak saat terjadinya pembuahan pada sel telur. Faktor-faktor keturunan itu disebut genotype (menurut para ahli, jumlahnya ada lebih dari 70 triliun), namun tidak semua faktor itu akan teraktualisasi, melainkan hanya beberapa yang akan terlihat secara gamblang yang disebut fenotype. Mungkin Ignite People yang pernah belajar genetika dalam pelajaran biologi pernah mendengar dua istilah tersebut, ya... Nah, untuk memunculkan fenotype pada anak, mereka perlu dirangsang oleh lingkungannya.
Inilah yang setidaknya dimaksudkan oleh Yael Trusch dengan "memanfaatkan kompetensi inti’". Artinya, setiap anak memiliki kompetensi-kompetensi atau susunan yang berbeda satu sama lainnya, bahkan, anak kembar sekalipun pasti memiliki model genotype yang berbeda di antara 70 triliun tadi. Menurutnya, Tuhan telah memberikan setiap anak keunikan pada kepribadiannya masing-masing, dan itulah yang harus diakui dan didukung oleh orang tua sebagai mitra Allah dalam mengasuh anak-anak. Yael Trusch mengutip Amsal 22:6:
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada hari tuanya ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Photo by Dave Herring on Unsplash
Tentu kita pernah melihat atau mendengar ada anak-anak yang dilarang untuk menekuni hobinya atau masuk ke dalam jurusan tertentu, sementara menurut mereka bidang tersebut merupakan passion yang ingin dikembangkannya. Bahkan bisa jadi justru kitalah yang mengalaminya (entah berperan sebagai seorang anak atau orang tua). Nah, penulis Amsal mengajak para orang tua untuk mengajarkan anak-anak "menurut jalan yang patut baginya", tapi apa sih sebenarnya maksud dari frasa tersebut? Frasa tersebut bisa diartikan melalui banyak perspektif. Misalnya, jika dipandang dari perspektif faktor genotype dan fenotype seperti di atas, maka ungkapan itu dapat diartikan sebagai ajakan orang tua untuk merangsang dan mendukung bakat terpendam anak agar dapat dikembangkan secara optimal, bukan justru memaksakan keinginan orang tua. Sebagai contoh, tidak jarang ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi dokter atau pilot, padahal sang anak sangat menyukai dunia kesenian. Walaupun begitu, bisa juga sebenarnya orang tua bersikeras karena dulu itu adalah cita-cita mereka yang tidak tersampaikan, atau karena mereka memandang profesi-profesi tertentu sebagai sesuatu yang berkelas—sementara yang lainnya tidak.
Dalam bukunya bersama Foster Cline yang berjudul Parenting With Love and Logic, seorang edukator asal Amerika Serikat bernama Jim Fay mencoba menjabarkan teori Diana Baumrind (psikolog perkembangan terkemuka) tentang tipe-tipe pola asuh anak. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa orang tua yang terus memaksakan kehendaknya serta menuntut tanpa mau mengerti sang anak adalah tipe pola asuh authoritarian (Baumrind menyebutnya sebagai The Drill Sergeant). Padahal dengan mendukung bakat dan setiap tahapan, anak-anak akan memiliki rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri yang baik, sebab anak merasa diterima oleh keluarga sebagai lingkungan pertamanya.
Jika dipandang dari perspektif psikologi perkembangan, maka, orang tua harus terlebih dulu memahami tahap-tahap perkembangan anak. Mulai dari tahap perkembangan psikomotor, kognitif, psikososial, moral, hingga tahapan perkembangan iman. Orang tua harus peka terhadap tahapan apa yang sedang dilalui oleh sang anak, sehingga orang tua dapat secara tepat mengasuh anak-anak "menurut jalan yang patut baginya" (Ada banyak buku-buku panduan pola asuh sederhana yang dapat membantu orang tua untuk mengetahui, kira-kira tahap perkembangan apa yang sedang dilalui oleh sang anak). Misalnya, balita yang sedang berada dalam tahapan pre-school age (4-5 tahun). Menurut teori Erik Erikson (yang dikenal sebagai psychosocial theory, dimana masa prasekolah termasuk pada fase initiative vs. guilt), anak mulai memiliki rasa penasaran yang begitu besar dalam dirinya, sehingga ia mulai banyak bertanya, mencoba hal-hal baru yang ia lihat ada di sekitarnya. Pada fase ini, anak membutuhkan dukungan untuk kegiatan eksplorasi terhadap dunia luar—termasuk ketika ia melakukan sebuah kesalahan. Nah, memang ada waktunya orang tua untuk mendisiplin anak (baca: tidak membentak tanpa alasan). Artinya, orang tua harus menjelaskan apa yang salah dari perilaku anak dan cara yang benar untuk memperbaikinya, lalu biarkan ia mencoba sendiri sampai bisa, sehingga ada kegiatan problem-solving disitu. Ketika orang tua memarahinya tanpa alasan yang jelas (bahkan memaki anak sementara dia tidak tahu apa yang dilakukannya itu salah), maka dia akan merasa bersalah dan tidak ingin mencoba melakukannya lagi. Sebaliknya, bila anak memperoleh teaching dan support yang sesuai, maka rasa penasaran serta kemampuannya akan semakin bertumbuh. Saya tidak bilang bahwa orang tua sama sekali tidak boleh memarahi anak agar mereka menjadi lembek, tapi justru peran orang tua sangat besar dalam pendidikan anak di masa golden age ini (0-5 tahun). Hati anak-anak masih lebih mudah dibentuk pada masa tersebut daripada mereka yang telah berusia remaja, mengingat mereka telah memiliki pola pikirnya sendiri—yang sangat berkaitan dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu.
Selain itu, Yael Trusch juga menuliskan pendapat seorang Rabbi dalam Tanya 12, bahwa "jalan yang patut baginya" juga dapat diartikan sebagai didikan tentang disiplin diri dan rohani pada anak. Artinya orang tua senantiasa mendidik anak dalam kerangka hukum Taurat atau terang Firman Allah sehingga pada hari depan ‘ia tidak menyimpang dari jalannya tersebut’ dalam artian tetap berpegang teguh pada imannya dalam Allah. Maka, Amsal 22:6 mengajak para orang tua untuk memahami anak-anaknya dari berbagai perspektif, kemudian barulah orang tua dapat mengasuh anak-anaknya ‘"menurut jalan yang patut baginya" sehingga tumbuh kembang anak akan menjadi optimal dan ingatlah, bahwa setiap pola asuh atau cara didik akan membentuk siapa mereka di masa depan.
Dear parents,
Let’s get to know our child more and more!
*Prinsip-prinsip Jewish Parenting dari Yael Trusch lainnya akan dibahas pada artikel-artikel #SPY selanjutnya, see you!
Catatan editor:
Ignite People bisa membaca buku dari John W. Santrock yang berjudul A Topical Approach of Life-span Development (atau Life-span Development (Perkembangan Masa Hidup)) sebagai referensi tambahan.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: