Sejatinya amatlah mudah bagi Allah menyelesaikan masalah, tapi mengapa Dia seakan terus menunda Hari Baik itu tiba? Pasti, pastilah ada alasan yang mulia!
Memutuskan keluar dari sebuah pekerjaan yang nyaman adalah bentuk menantang diri. Begitu menurut gadis usia 22 tahun itu. Namun semua berjalan tidak seperti yang ia duga. Sepenuhnya melenceng. Permintaannya cukup sederhana kala itu, bahwa Tuhan mengijinkannya mendapatkan pekerjaan sebelum uang tabungan habis. Bulan demi bulan ia menanti dengan segala doa dan usaha, namun tidak satupun pintu yang tampak terbuka. Doanya tidak terjawab, dan itu jelas mengecewakan.
Di zaman yang berbeda telah ada kisah yang serupa, bahkan lebih sulit. Seseorang diancam akan dihabisi nyawanya oleh seorang yang berkuasa. Dia terus meminta Tuhan membuat orang itu mati hingga cemas di hidupnya bisa pergi. Namun Tuhan tidak melakukan apa-apa. Kisah ini adalah secuplik perjalanan Elia.
Baik Elia dan Gadis di cerita pertama, dan jutaan manusia lain pernah ada di titik ini. Kondisi dimana Tuhan tidak memberi apa yang kita harapkan, doakan, dan nantikan. Mari kita lihat satu per satu.
Meredefinisi Kebaikan Allah
Tercatat di 1 Raja-raja 19:1-18, sebuah pergulatan Nabi Elia. Setelah melakukan banyak perkara, wujud ketaatan Elia diperhadapkan pada ancaman bahaya. Seorang Raja bernama Izebel menggertak untuk menghabisi nyawanya. Walau nabi, dia pun manusia yang wajar jika sesekali merasakan rasa takut . Elia saat itu akhirnya memilih menjauh dari realita dan murung menyendiri. Sesaat kemudian malaikat Tuhan menghampiri. Disediakanlah roti bakar dan air sekendi (ayat 6). Namun Elia bergumam dalam hati, sebab dia tidak mengerti. Mengapa Pencipta tidak membuat Izebel mati, agar cemas di hidupnya bisa pergi. Namun Izebel mati tak di zaman Elia. walau mampu, tapi Allah menunda kematian sang sumber bahaya. Elia hanya diperintah untuk tetap melangkah (ayat 8).
Sampai disana, gadis di awal cerita yang sebenarnya adalah saya sendiri, merasakan hal yang serupa. Tidak sedramatis hingga nyaris kehilangan nyawa, namun dalam kapasitasnya sebagai gadis yang baru lulus kuliah, hal itu bukan perkara mudah. Ketika itu saya benar-benar berharap pekerjaan segera datang, namun pokok doa itu seakan tak sampai ke telinga Bapa. Saya mempertanyakan kapan hari yang lebih baik tiba?
Namun saya sadar melakukan sedikit kesalahan. Di bangku ruang ibadah pemuda GKI Residen Sudirman Surabaya, saya tersadar bahwa mungkin saya sedang menyetir Allah. Saya ingin memaksakan konsep “hari yang lebih baik” itu pada-Nya.
Elia, saya, dan mungkin banyak orang Kristen lain kerap menilai bahwa pertolongan Allah hanya tentang solusi terhadap masalah hingga lupa bagaimana Dia memelihara. Kebaikan Tuhan yang berupa pemeliharaan hari lepas hari tak kalah berharga dibandingkan mujizat di beberapa masa penting. Akan mengecewakan di hadapan Allah dan merugi pula kita sendiri jika iman kita didasarkan pada hal-hal fenomenal hingga lupa bahwa providensi Allah adalah hal luar biasa tanda kesetiaan dan kebaikan-Nya.
Saat itu saya sempat abai bagaimana cara Tuhan memelihara dua bulan awal masa sebagai pengangguran dengan super mengagumkan. Seperti Elia, yang diijinkan tidur lalu dibangunkan dan disediakan makanan dan minuman. Saya diperbolehkan memiliki masa istirahat. Keadaan bahwa sebelum lulus kuliah saya sudah bekerja, menjadikan masa perhentian ini menjadi momen istirahat yang menyenangkan. Pun, saya tak ingat kapan saya makan tak nikmat selama masa-masa itu. Bukan lagi roti bakar, tapi masakan mama. Saya rasa itu alasan besar untuk bersyukur saat itu!
Berhenti Bernegosiasi
Dalam kelanjutan perikop yang tadi saya angkat, tercatat bahwa Elia juga berharap disapa oleh Allah, lewat hal luar biasa seperti badai dan gempa. Uniknya, di tengah itu semua tidak dia dapati sapaan Pencipta. Justru di angin sepoi, kelembutanNya nyata. Saya jadi berefleksi betapa kerap kali hal itu juga saya lakukan. Saya berdoa namun cenderung mendikte-Nya. Berharap Tuhan melakukan dengan cara A atau B, memilih rute C, dan tidak mengambil langkah D. Iya, ada kecenderungan untuk menyetir Dia yang adalah Pencipta sendiri. Sungguh memalukan!
Seperti Elia, yang disapa lewat angin sepoi. Allah menyapa saya lewat buku-buku yang saat masa sibuk tak sempat terkonsumsi. Lewat jalan-jalan pagi di desa tempat asal saya. Lewat pendakian ke Ranukumbolo, atau lewat film bergenre komedi yang tiba-tiba hadir di satu saluran TV. Saya bahkan tak merasa kesepian. Sama sekali. Ada kakak perempuan yang selalu suportif, kekasih yang mendampingi, hingga teman lama ataupun baru yang hadir penuh ketulusan. Mereka yang selalu meyakinkan bahwa saya tidak akan sendirian di masa paling cerah atau gelap, adalah wujud “sekendi air dan roti bakar” yang tidak akan saya ingkari. Berhenti berdebat terhadap apa yang lebih baik bagi hidup kita agaknya adalah permulaan proses mengenal bagaimana cara Ia bekerja.
Sebagai penutup
Khotbah dan pergumulan di tahun 2014 itu menjadi sebuah pelajaran yang sangat saya syukuri hingga hari ini. Ketika masa tak beruntung kembali tiba, kita sejatinya dapat belajar memohon kerendahan hati agar tidak terjerumus pada sikap hati yang penuh negosiasi apalagi pendiktean. Namun pada sebuah bentuk hati yang dilunakkan, sikap hati yang menemukan kebaikan Allah di tengah sapaan angin sepoi, musik yang teduh, senyuman orang terkasih, hingga perut yang kenyang sebelum berangkat tidur. Kita perlu terus memohon pula sebuah mata yang memandang bahwa kebaikan Tuhan bukan hanya tentang solusi atas masalah, tapi juga tentang rangkaian pemeliharaan selagi menunggu solusi itu tiba.
Pengharapan akan hari yang lebih baik tak boleh sekalipun mendistraksi kita terhadap kesetiaan Dia yang Berdaulat. Dalam sebuah bukunya, penulis Nancy Leigh DeMoss pernah berkata: “God is more concerned with changing you than fixing your problems.” Mari kita ingat, terlalu mudah bagi Dia untuk menyediakan pekerjaan bagi saya saat itu, ataupun memberi pasangan, mengembalikan kejayaan ekonomi keluarga, hingga memulihkan keharmonisan relasi keluarga. Namun, saya rasa Tuhan tak ingin melewatkan masa tak enak itu tanpa mengubah hati dan pola pikir kita. Salah satunya agar kita memiliki definisi kebaikan Allah dengan tepat dan agar kita berhenti bernegosiasi.
Selamat mencoba!
PS: Khotbah kisah ini saya dapat di bulan permulaan menjadi pengangguran (yang akhirnya bertahan setahun penuh!) menjadi pegangan kuat melalui 365 hari yang menyiksa. Itu pula, pasti saya perhitungkan sebagai kebaikan besar dari Allah!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: