Tulisan ini hanyalah sebuah teriakan dari orang yang masih memiliki keterbatasan tentang dunia media, Oleh karena itu, masukan dari kalian akan sangat dibutuhkan. Selamat membaca, menghina, dan mengkritik ya.
Buat kalian pecinta YouTube, adakah dari kalian yang merasakan hal yang berbeda di awal tahun ini? Kalau ingin dirunut, sebenarnya sih dimulainya, bahkan lebih dari itu. Aku bukan penggila YouTube banget, tetapi gegara aku yang harus mampu untuk beradaptasi, aku cobalah untuk mulai ngikutin beberapa channel yang memang paling nggak bisa jaga kestabilan mental di masa pandemi ini. Salah satu dari channel tersebut sejujurnya sudah aku follow dari aku masih berjuang buat skripsi, tahun 2016 lalu. Ibaratnya, aku mungkin bukan cuma senang dengan materi dan cara penyampaian mereka, tetapi aku juga melihat konsistensi mereka untuk selalu berusaha “tampil beda”. Mungkin bagi para penyuka YouTube, pasti tahu!
Ya, aku sedang berusaha menggambarkan betapa aku “mungkin” tergila-gila pada content dari SkinnyIndonesia24. Mereka selalu berusaha tampil beda, dan tampil “melawan” riuhnya komunitas YouTube. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Konten-konten lama mereka juga masih layak diperhitungkan. Namun, sang pendiri, Andovi dan Jovial da Lopez memutuskan untuk “menutup buku” pada tahun 2021 ini. Sejujurnya, aku sempat kecewa dengan keputusan ini. Namun ternyata ada satu hal yang kemudian mulai aku pahami, setelah berusaha mendalami pernyataan kakak-beradik ini.
YouTube is giving the voiceless the voice. Tapi suara orang-orang kayak kita mati. Semua spotlight mengarah kepada orang-orang besar. YouTube, now is just a business. Konten(nya) Skinny, is always about resistance. Sistem YouTube sekarang menguntungkan orang-orang yang berkuasa dalam sistem. Ketidakadilan yang bermain di belakang kita. Sistem yang ada sekarang memihak kepada orang yang punya uang. Ini tuh sistem politikus. (Jovial da Lopez, 24 Juni 2019).
Keberadaan sistem relasi kuasa ini menarik bagi saya untuk membuka pembahasan ini. Michel Foucault misalnya, secara terang-terangan menyampaikan pemikirannya tentang relasi kuasa. Bahkan beberapa buku yang ia tulis, atau hasil wawancaranya ternyata dengan sangat tegas mengkritik sistem relasi kuasa, yang nyata ada di mana-mana. Dalam kasus YouTube, kita dapat menilai, tentang sistem relasi kuasa itu.
Kembali, aku bukanlah seorang yang terlalu paham dengan cara monetizing atau bahkan cara kerja YouTube yang detail. Tetapi yang mungkin aku ingin tekankan adalah, kita sebagai penikmat channel-channel dan konten-konten di YouTube itulah yang secara tidak sadar akan membuat sistem monetizing dan cara kerja YouTube akan terus berubah. Ya, benar! Mengikuti kehendak pasar. Selama pasarnya masih memilih konten-konten yang “tidak memberikan didikan dan/atau setidaknya berkualitas”, secara otomatis mereka, para content creator yang berusaha untuk menunjukkan kualitas dari sebuah konten akan tergusur dengan sendirinya.
Pilihannya ada di tangan kita, sebagai para penonton YouTube itu sendiri. Bahkan, pada kenyataannya, hal ini juga berlaku di media-media yang lain. Sistem monetizing media-media inilah yang menjadi sorotan. Namun, cara monetizing ini dibentuk juga dari permintaan pasar. Selama YouTube masih melihat bahwa konten-konten yang “kurang atau bahkan tidak sama sekali” berkualitas terus bermunculan dan menjadi penguasa dalam algoritma mereka, kita dapat membayangkan, bagaimana isi YouTube lima, sepuluh, bahkan lima belas tahun ke depan. Sadar atau tidak, kita turut menentukan cara algoritma YouTube ini bekerja, walaupun kita hanya bergerak sebagai seorang penikmat, penonton, atau apalah namanya itu.
Perlu kita ingat kawan-kawan, algoritma YouTube itu, ditentukan oleh kita, yang menginginkan sesuatu di YouTube tersebut. Selama kita masih menginginkan konten-konten yang hanya menawarkan giveaway atau hanya ingin untuk menjadi media panjat sosial, aku kira, mungkin keturunan kita besok tidak akan lagi dapat menikmati tontonan yang berkualitas, seperti yang mungkin sebagian dari kita "masih" nikmati saat ini. Pertanyaannya: bagaimana cara kita untuk dapat melihat dan mengetahui standar “kualitas” dari sebuah konten itu?
Rasanya pertanyaan tersebut akan dapat terjawab, kalau kita juga mau meningkatkan kualitas kebutuhan kita. Kebutuhan seperti apa yang sejatinya kita perlu miliki. Hanya sekedar dapat menghibur kita, atau mungkin dapat juga memberikan standar kualitas hiburan yang baru, yang tentu akan selalu meningkat. Secara tidak langsung, aku ingin mengatakan, kalau kita masih bertahan pada pola pikir yang tidak mampu mendorong kita untuk maju, untuk apa kita melakukan hal tersebut? Kualitas berbicara tentang bagaimana kita mampu melangkah ke depan guys! Bukan hanya nyaman dengan kondisi saat ini, atau bahkan memilih untuk mundur ke belakang.
Pada akhirnya, menyambung dari pertanyaan di atas, aku juga turut mengajak teman-teman semua untuk turut memajukan kualitas pemikiran kita, yang secara tidak langsung, nantinya akan memberikan dampak yang besar pada pilihan kita untuk melihat, mendengar, dan merasakan, mana hal yang berkualitas, dan patut untuk kita dukung, atau mana yang hal yang hanya membutuhkan jari kalian untuk like, comments, and subscribe. Ingat, kebutuhan kita pada media saat ini, cepat atau lambat juga akan mempengaruhi kebutuhan, dan bahkan pola pikir generasi setelah kita! So, the choice is ours, right. What will you choose?
NB: Jika ada teman-teman yang memiliki pemikiran yang lain, terutama di bidang per-konten-an, bisa banget kita berdiskusi, kemana arah kita, dan mau seperti apa kita nanti. Open discussion ya!
LLC-2021
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: