Pohon gak tumbuh karena matahari saja. Dia butuh langit yang mendung, hujan, angin yang kencang, dan malam yang dingin untuk bertumbuh
The Past Has Passed. It’s true, isn’t it? Inget gak berapa kali kita lupa bahwa masa lalu memang sudah berlalu? Coba ingat kembali momen ketika Ignite People mengenang masa lalu yang tidak terlalu menyenangkan dan perasaan yang hadir waktu itu hadir kembali ketika kita mengingatnya. Perasaan takut, sedih, marah, bersalah, menyesal. Segala perasaan itu hadir kembali ketika kita mengingat peristiwanya, bukan?
Frasa yang menusuk hingga ke relung ingatan aku, bahwa “the past has passed” mengingatkan aku kembali pada masa kecilku ketika aku mengucapkan perkataan yang kasar kepada kakak sulungku. Hingga pada satu titik, orang tuaku memutuskan untuk merawat kakak sulungku di asrama Kristen, hingga berulang kali keluar masuk RSJ untuk mendapat perawatan. Selama bertahun-tahun masa perawatannya, aku terus menerus menyalahkan diriku.
“Seharusnya aku gak ngomong kayak gitu dulu! Lihat kan, karena aku! Karena aku, abang jadi harus menderita di RSJ kayak gini! It’s all on you!”, batinku
Mengingat kembali kala itu, aku harusnya tidak menyatakan apapun yang menyakiti hatinya. Ingatan akan tindakanku yang begitu buruk perlahan-lahan membuat aku yakin bahwa perlakuan burukku padanya waktu itulah yang membuat kondisi kejiwaannya semakin parah. Perasaan ini terus menghantuiku. Sampai-sampai aku tidak berani bertemu langsung dengan kakak sulungku, tidak berani untuk memulai percakapan yang benar-benar tulus dan hangat dengannya, karena rasa bersalah yang terus aku ulang di kepalaku.
Aku jadi teringat dengan sebuah ilustrasi yang disampaikan oleh seorang pendeta di GBI Keluarga Allah, Jogja, bernama Ps. Nita Setiawan tentang seekor gajah. Seekor bayi gajah, diikat dengan rantai yang sangat berat sehingga setiap kali ia ingin lepas, ia akan tersandung, jatuh dan lemas. Setiap hari ia dikekang seperti itu, hingga pada suatu hari ia menjadi gajah yang besar dan kuat. Sang pawang hanya mengikatnya dengan seutas tali yang diikat pada sebuat batang bambu kecil. Mampukah ia lepas? Tidak, karena dalam benaknya, ia selalu gagal ketika mencoba sejak ia kecil.
Aku layaknya si gajah yang memilih terikat dengan penyesalan masa laluku.
Aku memilih untuk terus dikuasai oleh penyesalan.
Hingga aku sendiri tidak mampu untuk melihat kebahagiaan dalam kehidupan kakakku.
Hingga suatu saat aku bertemu dengan Bang Daniel, sosok mentor yang menyadarkanku akan satu hal.
“Kamu tahu, dek? Yang paling mengerikan itu ketika kamu ga bisa lepas dari penyesalan yang sama. Kebahagiaanmu direnggut oleh perasaan bersalah yang gak masuk akal.”
Bang Daniel menyadarkanku bahwa terperangkap di masa lalu dengan penyesalan yang terus menerus bukanlah kehendak Tuhan. Lho, kok bisa? Begini, bukankah Tuhan selalu mengampuni? Kesalahanku yang sudah bertahun-tahun ini kupendam bukankah sudah diampuni Tuhan? Sayangnya, lagi-lagi aku yang terlalu dibutakan penyesalan tidak mau melihat pengampunan Tuhan. Dan lama kusadar, bahkan kakak sulungku sudah tidak lagi mengingat peristiwa itu. Semua beban emosional yang kuberikan atas diriku selama bertahun-tahun sendiri adalah penyesalan yang irasional.
“Penyesalan yang baik adalah penyesalan yang
disertai bukti pertobatan dan pemulihan”
-Ps. Raditya Oloan-
Sesalku tak berarti jika aku memilih untuk tidak memaknai masa lalu yang telah berlalu itu. Mustahil aku mampu mengubahnya. Satu-satunya yang bisa kubangun ulang adalah perasaanku masa kini terkait masa laluku. Ya, masa lalu yang sudah berlalu itu bukannya dilupakan, tapi dimaknai ulang. Aku perlahan mulai memaknai kejadian itu sebagai satu event kecil yang mewarnai kehidupan.
Memang aku salah, karena berkata kasar kepada abang sulungku dan menyakiti hatinya. Namun, kesadaran itu justru membuat aku berkomitmen untuk berusaha sekeras mungkin untuk tidak menyakiti hati abang sulungku dalam hal yang paling kecil sekalipun. Aku mencoba sekuat hati untuk menunjukkan kasihku padanya.
Ketika aku mampu memaknai ulang masa lalu, pada titik itulah aku bisa melihat betapa banyak kesukacitaan yang bisa kubagikan kepada abangku.
Aku mulai memperhatikan abang sulungku yang asyik berbicara dengan Mama. Meskipun hanya dengan Mama ia berbicara lancar dan tidak gugup, aku setidaknya merasa sedikit berani untuk menghampirinya. Dalam beberapa kesempatan, aku mencoba membelikannya Yakult, minuman favoritnya, hehe. Bukan lagi karena perasaan bersalah, melainkan karena rasa sayang. Karena keinginan yang tulus untuk membuatnya senang. Sebab sekecil apapun senyumnya, jadi sangat berarti buatku :)
Aku percaya bahwa Allah Bapa, melalui Tuhan Yesus, dan dalam Roh Kudus ingin agar kita semua memiliki masa depan, di dalam Dia. Sayangnya, masa depan bersama-Nya tidak akan menjadi milik kita seutuhnya jika kita memilih untuk hidup di masa lalu, terperangkap. Yesus sendiri telah menyerahkan nyawa-Nya, keseluruhan Diri-Nya untuk menebus kita dan menjadikan kita ciptaan baru. Apakah kita ingin terus hidup di masa lalu dan menafikkan pengorbanan Tuhan Yesus yang dilandasi-Nya dengan cinta?
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru:
yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.
-2 Korintus 5:17-
Ketika aku melepaskan masa lalu dan menatap masa depan bersama Kristus,
pada saat itulah hatiku membuka diri untuk dipenuhi oleh cinta yang sejati
Setiap kenangan masa lalu selalu memiliki arti. Kita, bersama Tuhanlah yang menentukan artinya. Apakah ia berdampak bagi pertumbuhan kita sebagai pribadi kepunyaan Kristus? Atau ia justru menjauhkan kita dari kasih dan pengampunan Kristus? Masa lalu kita adalah wewenang kita. Yes, the past has passed. Dan dia selalu memiliki arti :)
“Lagian pohon gak tumbuh karena matahari saja.
Dia butuh langit yang mendung, hujan, angin yang kencang,
dan malam yang dingin untuk bertumbuh”
-Eka Nur Raharja-
*Judul “The Past has Passed” pada artikel ini terinspirasi langsung dari tema ibadah minggu Gereja Keluarga Allah tanggal 8 November 2020 yang dilayani oleh Ps. Nita Setiawan
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: