Pancarkan kasih Kristus melalui kasih kita kepada sesama. Tuhan mengasihi manusia ciptaan-Nya. Merusak ciptaan-Nya sama dengan tidak menghormati Sang Pencipta.
Aku ingin berbagi tentang kisahku bersama para sahabatku yang tak lain adalah orang-orang yang terabaikan.
Maksudnya? Yup. Sejak duduk di bangku sekolah, tepatnya SD hingga detik ini, aku suka berteman dengan orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental, depresi, penyandang disabilitas, dan sejenisnya. Intinya orang-orang yang sering dipandang sebelah mata, dijauhi, dan di-bully. Saat aku memilih untuk lebih berteman dengan mereka dan tidak ikut menghina mereka, aku dianggap aneh oleh banyak orang.
1. Berteman dengan siswa ranking terakhir di kelas
Ketika duduk di bangku SD, teman-teman dekatku adalah dua orang yang hampir saja tidak naik kelas. Aku pernah mendapatkan ranking 5 besar. Para juara kelas lainnya enggan berteman dengan mereka karena takut menjadi bodoh dan dimanfaatkan, sehingga mereka berteman dengan sesama juara saja.
2. Berteman dengan orang yang memiliki keterbelakangan mental
Menginjak usia remaja, yaitu saat memakai seragam putih-biru, aku berteman dengan seseorang yang memiliki keterbelakangan mental. Banyak orang menghinanya, karena dianggap "nggak nyambung". Terkadang aku juga nggak mengerti tentang hal-hal yang dikatakannya, tapi aku berusaha memahami dan mendengarkan semua ceritanya. Cerita favoritnya adalah film-film China, Jepang, dan masalah dalam keluarganya. Meskipun berbeda kelas, tetapi pada jam istirahat aku sering bermain ke kelasnya. Dia sendirian dan tidak ada yang mau mengajaknya berbicara, cuma aku saja temannya. Ironisnya, ada orang yang dia anggap teman, padahal dia sering menertawakan di belakangnya. Kebanyakan sih cuma memanfaatkan saja, misalnya meminjam PR yang sudah dikerjakannya. Bahkan saudara sepupunya pun menertawakannya. Sahabatku ini sering merasa sedih dan menangis di hadapanku. Dia merasa sendirian. Terkadang aku juga berempati dan hampir meneteskan air mata. Aku menghibur dan menyemangatinya, lalu dia mulai tertawa lagi. Melihat sahabatku tersenyum, aku pun bahagia. Karena sering bermain sama dia, aku sering dijauhi, dianggap aneh dan diremehkan banyak orang. It's OK. Aku tahu konsekuensinya. Lebih baik aku dengerin dia cerita daripada lihat dia terluka.
3. Berteman dengan difabel
Difabel sering kali tidak memiliki tempat di kalangan mahasiswa gaul. Aku bersahabat dengan difabel ketika berada di dunia kampus. Sahabatku ini menggunakan kaki palsu. Kakinya sudah diamputasi sejak kecil. Hidupnya sering dianggap sebagai kutukan sebab berbagai masalah datang bertubi-tubi, misalnya beberapa sakit-penyakit yang menghantuinya selama bertahun-tahun dan cukup parah. Dia harus mengonsumsi obat-obatan, beralih dari obat A ke obat B lalu obat C. Belum lagi beban sebagai pengangguran dalam kurun waktu 2 tahun. Jujur saja, aku kadang juga bingung bagaimana lagi untuk menghiburnya, karena hidupnya penuh kepahitan. Tiap cerita pasti banyak keluh-kesah selama berjam-jam. Sahabatku ini sempat berniat bunuh diri. Aku terus berusaha untuk memperhatikan, menyemangati, dan mendoakan yang terbaik baginya walaupun kami sudah terpisahkan pulau dan samudera.
4. Berteman dengan pengidap depresi
Beralih ke dunia kerja. Aku bersahabat dengan orang-orang yang mengalami depresi. Aku sempat terkejut saat mengetahui fakta bahwa mereka depresi, tapi bersyukur mereka memercayakan rahasia ini padaku. Pil penenang dan konsultasi dengan psikiater dan psikolog menjadi rutinitas tiap bulan.
5. Berteman dengan pribadi yang sulit
Atasan saya datang dari keluarga yang broken home, ada perselingkuhan yang terjadi bertahun-tahun. Kebetulan dia pun pribadi yang sulit dan dibenci semua anak buahnya. Aku berusaha untuk mengerti bahwa orang yang pernah terluka, bisa jadi melukai orang lain juga. Daripada ikut membumbui gosip dan menjelek-jelekkan di belakangnya tiap hari, aku memilih untuk mendengarkan atasanku itu. Kini dia pun menganggap aku temannya dan mulai berubah ke arah yang lebih baik, bahkan meminta pendapatku mengenai beberapa masalah pribadi.
Sebenarnya aku bisa memilih ikut arus supaya punya lebih banyak teman, misalnya dengan ikut mengejek dan menertawakan mereka. Tapi, hidup mereka sudah sulit. Beban mereka sudah berat. Apakah harus memperberat beban mereka? Dari dulu aku memang nggak terlalu peduli sama pemikiran orang tentang aku. Aku berharga di mata Tuhan. Itu cukup.
"Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
-Matius 22:39 (TB)
Apa yang tidak kita inginkan janganlah kita perbuat pada orang lain. Kalau tidak mau dihina, jangan menghina. Kalau tidak ingin dijauhi, jangan menjauhi. Pancarkan kasih Kristus melalui kasih kita kepada sesama.
Menurutku, keterbelakangan mental, depresi, difabel, dan sejenisnya bukanlah penyakit menular, bukan juga topik yang bagus buat digosipkan. Jadi, Ignite People tak perlu ragu berteman dengan pribadi-pribadi ini. Mereka juga manusia yang punya rasa, punya hati. Bukan robot. Jangan sampai menjauhi dan ikut mem-bully sehingga mereka tersudut dan merasa sendirian di dunia.
Tuhan mengasihi manusia ciptaan-Nya. Merusak ciptaan-Nya sama saja dengan tidak menghormati Sang Pencipta. Semangat! 🤗
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: