True, shooting a child in the face is an act of immediate and bloody violence; nevertheless, the death of a child from lack of food or sanitary conditions over a period of years may not be immediate nor bloody, but it is no less violent.
Jika neoliberalisme menekankan kebebasan individu untuk berkembang dan memastikan pemerintah tidak terlalu mencampuri perkembangan tersebut, apa hal buruk yang bisa terjadi? Nampaknya, ide ini cukup bagus bukan? Mari kita melihat apa yang terjadi berdasarkan data-data yang ada.
Tak kurang 850 juta orang (12,5 % populasi dunia) mengalami kekurangan gizi pada 2010-2012, sedangkan penduduk Amerika Serikat menghabiskan jutaan dolar untuk mengurangi berat badan; pada 2010, 1,75 miliar orang di 104 negara hidup dalam kemiskinan multidimensi, yang tampak dalam krisis kesehatan, pendidikan dan standar hidup; krisis ekonomi 2008 mendorong 64 juta orang ke taraf penghasilan di bawah 1,25 dolar per hari dan di Afrika diperkirakan 30.000-50.000 anak meninggal sebagai akibat langsung krisis ini; negara-negara Global North juga mengalami ketimpangan, 1% pembayar pajak paling tinggi di Amerika, memiliki rata-rata 862.700 dollar setelah dipotong pajak dan 40% pembayar pajak paling rendah memiliki rata-rata 21.118 dollar setelah dipotong pajak. Contoh lain adalah pendapatan rata-rata di Amerika pada 2010 turun sebesar 7,1% dan tingkat kemiskinan adalah 15,1% (46,2 juta orang; terbesar dalam 52 tahun).
Memang betul kita melihat peningkatan taraf kesehatan, pendidikan dan peningkatan standar kehidupan lainnya. Hal ini yang biasa dijadikan alasan bagi pasar bebas agar lebih banyak kebebasan dan pasar. Di sisi lain, data menunjukkan tingkat kemiskinan yang semakin rendah. Namun, ada pergeseran standar yang dipakai, $1,25 USD tiap hari dibanding $1,90 USD per hari. Perbedaan 10 sen saja bisa menambah 100 juta orang miskin, dan diperkirakan bahwa sebagian populasi dunia hidup di bawah $5 perhari dan dua pertiga hidup di bawah $10 per hari.
Hal ini terjadi karena 1% populasi mengontrol mayoritas kekayaan dan mereka juga mengendalikan politik untuk melindungi kekayaan mereka. Kebijakan-kebijakan global diatur untuk memungkinkan ketimpangan ini. Kerakusan elite dunia menyebabkan ketidakstabilan yang kemudian menghasilkan kekerasan yang terstruktur. Kekerasan tidak terbatas pada ketimpangan distribusi sumber daya kelompok atau negara tertentu, tetapi juga proses pembenaran dan normalisasi ketidakadilan sosial-ekonomi tersebut melalui kerangka budaya dan legal. Kekerasan ini pada akhirnya memberi dampak kepada mereka yang rentan dan berhubungan erat dengan ketidakadilan sosial ekonomi, kehancuran ekologis, militerisasi masyarakat, ketimpangan distribusi kekayaan, akses yang sulit terhadap pendidikan dan kesehatan, kemiskinan, pengangguran, rasisme, diskriminasi etnis, ketidaksetaraan gender dan kebijakan ekonomi global yang menguntungkan bagian kecil populasi elit dunia dengan mengorbankan yang lain.
Bahkan di negara-negara yang maju seperti Amerika, Kanada, Australia dan Inggris, kemiskinan masih ada dan di beberapa tempat masih bertambah, meskipun di saat yang sama pada sisi lain orang-orang paling kaya, menjadi semakin kaya. Bagi De La Torre, kekerasan juga dapat diartikan sebagai:
True, shooting a child in the face is an act of immediate and bloody violence; nevertheless, the death of a child from lack of food or sanitary conditions over a period of years may not be immediate nor bloody, but it is no less violent.
Ife menjelaskan bahwa neoliberalisme mengerosi kesejahteraan masyarakat, yang menghasilkan krisis:
Continuing cut-backs in public services, lowering of the quality of service as overburdened workers are urged to ‘do more with less’, longer waiting lists and waiting periods, lack of access to health care (except for those who can afford private insurance), the deterioration of the public education system, poor staff morale, and a general lack of confidence in the capacity of the public system to cope.
Kritik-kritik lainnya yang diberikan adalah:
Brenner et al. menjelaskan mengenai institusionalisasi neoliberalisme. Mereka menjelaskan bahwa proses ini terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama, ada proses pengenalan inisiatif neoliberal, misal deregulasi industri tertentu, atau pemberian syarat atau pembatasan bagi orang-orang pencari bantuan. Kedua, munculnya disrupsi terhadap karakter lokal atau historikal tempat terjadinya hal ini. Hal ini mungkin terlihat sebagai perubahan cepat, restrukturisasi, inovasi teknis dan mungkin menimbulkan konflik, perlawanan, disrupsi dan krisis. Efek dari peraturan dan praktik neoliberal dirasakan berbeda dalam komunitas bahkan negara. Sebagian orang mengalami keuntungan dan yang lain dirugikan.
Pada pemerintahan Jokowi sekarang ini, saya memberi perhatian khusus terhadap polemik Rancangan Undang-Undang Omnibus law yang banyak ditentang. Di satu pihak, bagi para buruh, begitu kental cara menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan pekerja pada lapisan terbawah. Menurut mereka, dampak kepada para pekerja adalah: pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan dan berbagai kontroversi lainnya yang bisa kita lihat dari RUU ini. RUU ini terdiri dari 11 bidang dan ketenagakerjaan hanya salah satu dari bidang yang dibahas. 10 bidang lainnya pun tidak terlepas dari kontroversi atau kritik.
Di sisi lain, terlepas dari berbagai kritik bagi 900an halaman RUU ini, dari draft final yang beredar (saya tidak tahu, apakah draft ini yang disahkan atau ada draft lain yang dipakai), kekhawatiran para buruh yang disampaikan di atas tidaklah semua tertulis di sana. Pada poin ketenagakerjaan saya baru mendapati beberapa poin: membuka ruang PHK massal dengan dengan menambahkan 14 alasan melakukan PHK yang sebelumnya tidak ada, misalnya: perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan perusahaan; pailit; atau bahkan efisiensi (pasal 154A); dihilangkannya pengaturan batas waktu selama maksimal tiga tahun untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sehingga bisa dilakukan kontrak tanpa batas waktu yang jelas (pasal 59); serta dihapusnya peraturan mengenai kerja borongan/ outsourcing yang memungkinkan lebih banyak pekerjaan dilakukan secara outsourcing (pasal 64-65).
Pada isu lingkungan hidup, Indonesia Center for Enviromental Law menerbitkan analisis sebanyak 112 halaman mengenai RUU ini. Dokumen tersebut bisa kita akses di sini. Pada bagian kesimpulan mereka menyampaikan:
Berdasarkan analisis di atas beberapa temuan terhadap masalah dan potensi masalah lebih banyak dibandingkan temuan positif. Karenanya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
Dari sisi jurnalisme, Aliansi Jurnalisme Indonesia juga menyatakan sikap menolak. Pernyataan lengkap mereka dapat kita akses melalui website mereka di https://aji.or.id/ atau mengakses video pernyataan mereka di sini.
Saya juga, mengutip poin-poin yang menjadi kekhawatiran seorang teman saya yang merupakan seorang jurnalis:
1.Lembaga penyiaran swasta dan berlangganan boleh punya usaha lain selain penyiaran. (perubahan di pasal 16 dan 25 UU Penyiaran)
2.Biaya izin penyiaran akan disesuaikan berdasarkan zona dan parameter tingkat ekonomi (perubahan pasal 33 UU Penyiaran)
3.Lembaga penyiaran boleh siaran nasional, ini melegalkan TV nasional dengan kata lain SSJ jadi omong kosong saja (perubahan pasal 33 UU Penyiaran)
4.Rezim perijinan penyiaran semua di tangan pemerintah. Peran KPI sebagai rekomendator dihilangkan dengan dihapusnya pasal 34 UU Penyiaran
5.Dihapusnya pasal 34 juga konsekuensinya batas waktu perizinan TV 10 tahun dan radio 5 tahun tidak lagi diatur UU. Entah mau diatur di mana.
6.Dihapusnya pasal 34 juga menghilangkan aturan yang melarang memindahtangankan izin penyiaran ke orang. Artinya bebas diperjualbelikan.
7.Pasal 55 hanya ada ayat 1 dan ayat 2. Ayat 3 dihapus, yang artinya KPI tidak turut serta dalam pemberian sanksi administratif.
8.Pasal 58 yang mengatur sanksi administrasi hanya mengatur sanksi bagi lembaga penyiaran yang tidak punya izin penyiaran. Sanksi untuk iklan rokok, minuman keras dihilangkan dari UU ini. Sanksi terhadap pelanggaran pemusatan kepemilikan juga dihapuskan oleh Omnibus Law ini
9.Migrasi digital mutlak harus dilakukan 2 tahun setelah 2020, yaitu 2022. soal bentuk migrasi digital (isu single mux vs multi mux) diatur pemerintah.
Agung Wardana, Ph.D. menulis artikel berjudul Omnibus Law Cipta Kerja: Peneguhan Hukum sebagai Instrumen Akumulasi Kapital, mencoba memberikan gambaran yang lebih koheren atas UU Cipta Kerja dengan memfokuskan pembahasannya pada aspek metode dan kerangka teoritis yang digunakan dalam Naskah Akademik
Ia menyatakan bahwa naskah akademis RUU ini:
Dalam cakrawala teoretis tersebut, NA UU Cipta Kerja terbaca sangat problematik. Dari sisi empiris, Indonesia pasca-otoritarianisme telah masuk ke dalam periode Neoliberalisme Inklusif. Ini ditandai dibangunnya kelembagaan hukum mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang difungsikan untuk menciptakan level playing field dan memberantas ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh korupsi.
Alih-alih melanjutkan perbaikan dan penguatan institusi yang sudah dibentuk, melalui UU Cipta Kerja, negara kehilangan kepercayaan terhadap Neoliberalisme Inklusif dan mengambil langkah memutar balik.
Secara konseptual, NA masih menggunakan kerangka pikir kepustakaan Law and Neoliberal Market. Hal ini tercermin dari dirujuknya tesis Leonard J Theberge (1980) yang menekankan pentingnya deregulasi untuk mendorong perluasan pasar. Di samping itu, konsep pembangunan yang telah mengarah pada inklusivitas dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dalam NA dikembalikan kepada periode Law and Development State, di mana pembangunan semata-mata dimaknai di ranah ekonomi.
Konsekuensinya, sisi negatif dari kedua periode tersebut dapat terakumulasi. Dengan cara pandang Law and Neoliberal Market, pelaku usaha dipandang sebagai agen utama pembangunan yang layak mendapatkan perlakukan istimewa dengan berbagai relaksasi peraturan, termasuk bidang perburuhan dan lingkungan hidup, dan segudang insentif. Di sisi yang lain, sebagaimana dalam periode Law and Development State, negara bertugas memastikan target-target pertumbuhan ekonomi dapat terpenuhi. Konsekuensinya, negara menjadi semakin represif terhadap aktor-aktor sosial yang dianggap berpotensi menghambat pencapaian target tersebut.
Dari segi metode, NA UU Cipta Kerja disusun dengan penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian ini menumpukan sepenuhnya jawaban atas permasalahan yang diteliti pada data sekunder yang dapat mengandung bias karena data tersebut dipilah dan dipilih sedemikian rupa (cherry picking) semata untuk membenarkan asumsi dan hipotesis penyusun...
Penolakan atas pasal-pasal yang bersifat parsial dapat dijembatani dengan pemahaman yang lebih komprehensif atas kerangka ideologi di balik UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, seperti yang dijabarkan di atas, UU Cipta Kerja merupakan peneguhan lebih lanjut atas instrumentalisasi hukum demi akumulasi kapital yang mana kontradiksi dengan rakyat pekerja dan ekologi merupakan sebuah keniscayaan.
Dari berbagai sudut pandang yang saya paparkan, setidaknya berdasarkan draft yang beredar, kita bisa melihat aroma neoliberalisme dalam RUU ini.
Artikel selanjutnya akan membahas, apa benar kapitalisme dan neoliberalisme adalah satu-satunya jalan bagi krisis-krisis yang terjadi? Atau ada alternatif lain bagi sistem politik ekonomi pada masa ini?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: