"Aku bukan bonekamu" menjadi sebuah penegasan bahwa dirinya adalah subyek bukan obyek, sehingga menjadi tameng dari penjajahan eksistensial.
Aku bukan bonekamu bisa kau suruh-suruh
Dengan seenak maumu
Aku bukan bonekamu bisa kau rayu-rayu
Kalau kau bosan pergi dan menghilang
Lirik di atas adalah reff dari lagu "Keke Bukan Boneka" yang dinyanyikan Kekeyi, seorang selebgram yang sedang naik daun belakangan ini. Tentu beberapa kita tahu bagaimana respon netizen mengenai lagu ini atau bahkan kepada Kekeyi. Ragam hujatan dapat kita lihat dengan mudah di kolom komentar Youtube dan Instagram Kekeyi atau bahkan kita jumpai pula di akun-akun shitposting atau akun meme. Namun saya harap teman-teman di sini tidak ikut-ikutan menghujat. Mengapa? Ya, nanti ada artikel lain yang membahas mengenai hal tersebut hehehe.
Lirik dan musik dalam lagu ini terkesan sepele, namun ketika lagu ini sering muncul di feed akhirnya saya penasaran untuk mencari liriknya dan menontonnya di Youtube. Ternyata liriknya bagi saya memiliki makna mendalam yaitu soal eksistensi manusia. Tapi saya tidak akan membahas keseluruhan liriknya, melainkan reff-nya saja yang menjadi lirik paling menarik bagi saya (sekaligus paling asik juga didengarkan ahahaha), yang berisi gugatan eksistensial manusia.
Saya yakin jika lagu ini dinyanyikan di abad 19 hingga abad 20, lagu ini akan menjadi anthem-song para filsuf eksistensialisme. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang mencari pemahaman mengenai manusia secara nilai dan makna, yaitu soal tujuan kehidupan, dan pengenalan akan diri (psikis-fisik). Singkatnya eksistensialisme adalah penggalian akan esensi dari eksistensi manusia. Tentu filsafat eksistensialisme memiliki ragam penjelasan dan pemahaman yang berbeda di antara filsuf-filsufnya namun ada satu hal yang menjadi satu fundamental utama dari eksistensialisme, yaitu kesadaran akan kebebasan dan keotentikan manusia secara utuh. Kebebasan pada eksistensialisme tidak mengarah pada sikap bebas yang brutal, namun menyadari bahwa tiap diri manusia adalah pribadi yang bebas (merdeka) dan otentik. Yang menjadi hal penting adalah tiap keotentikan dan kebebasan seseorang jangan sampai merenggut keotentikan dan kebebasan orang lain, maka dari itulah eksistensialisme mengecam segala jenis penindasan.
Dari poin tadi, lirik reff lagu ini menjadi jeritan akan terjajahnya eksistensi manusia. "Aku bukan bonekamu, bisa kau suruh-suruh dengan seenak maumu". Lirik ini mengindikasikan adanya "penyerobotan eksistensial" yaitu usaha untuk merenggut esensi dari eksistensi manusia. Kata "boneka" secara harafiah memiliki arti sebuah "obyek" yang diatur oleh "subyek" dimana obyek tidak memiliki keotentikan dan kebebasan karena dirinya diatur sepenuhnya oleh subyek. Setiap manusia bagi eksistensialisme bukanlah obyek, dan "boneka" menjadi analogi dari manusia yang tidak berdiri pada dirinya sendiri sehingga ia mudah "disuruh-suruh dengan seenak maumu". Namun frasa "Aku bukan bonekamu" menjadi sebuah penegasan bahwa dirinya adalah subyek bukan obyek, sehingga menjadi tameng dari penjajahan eksistensial.
Lirik reff kedua, "Aku bukan bonekamu, bisa kau rayu-rayu. Kalau kau bosan pergi dan menghilang". Lirik ini berisi soal "rayuan penjajahan eksistensial" di mana manusia diajak meninggalkan kesubyekannya yang memang penuh dengan tantangan untuk beralih menjadi obyek dengan ditawarkan ragam kenikmatan. Namun kenikmatan apapun yang dialami sebagai obyek tetap saja kenikmatan yang semu, karena subyek bisa saja menjadi "bosan, ia akan pergi dan menghilang".
Menjadi subyek tidaklah mudah, menjadi pribadi yang sadar akan keotentikan dan kebebasan tanpa merenggut kedua hal ini dari oranglain tentu sulit. Refleksi terus-menerus, komitmen dan integritas dalam hidup memang banyak mengalami goncangan, namun apakah kita rela untuk menjadi boneka yang tidak memiliki makna jika tanpa subyek (orang lain yang mengontrol diri kita)? Lagi-lagi ditegaskan di awal lirik, bahwa "Aku bukan bonekamu" yaitu manusia yang yakin untuk berdiri pada dirinya sebagai subyek utuh.
Yesus sendiri tidak melihat manusia dan ciptaanNya sebagai obyek. Yohanes 15:15 mengatakan
"Aku tidak menyebut kamu lagi hamba sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah kudengar dari BapaKu."
Ungkapan Yesus ini menegaskan bahwa pentingnya pola relasi subyek-subyek yang digambarkan pada konsep "sahabat". Sahabat menjalin relasi secara setara dimana keotentikan dan kebebasan masing-masing dihargai dan saling berbagi untuk saling bertumbuh sebagai orang merdeka. Konsep tuan-hamba adalah relasi satu arah secara vertikal dan menimbulkan penjajahan keotentikan dan kebebasan manusia. Dari sini kita melihat bahwa Yesus sendiri juga menolak wujud penjajahan eksistensial, Ia menjadi Allah yang mau merendahkan diriNya untuk menjadi sahabat bagi ciptaanNya dengan menjalin relasi secara setara dan merdeka.
Jadi apakah kita adalah boneka?
Atau kita turut mengumandangkan, "Keke(Aku) bukan Boneka"?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: