Semakin dewasa aku semakin menyadari bahwa materi yang berlimpah, barang-barang mewah bukanlah tolok ukur sebuah kebahagian. Gaya hidup minimalis bukanlah hidup serba kekurangan melainkan cara hidup untuk tidak terikat pada kepemilikan barang.
Aku adalah salah satu orang yang menikmati gaya hidup minimalisme. Keluarga dan teman-teman seringkali mengomentari,
“Kamu itu tidak menikmati hidup,”
“Buat diri sendiri kok pelit banget sih,”
“Sesekali bolehlah manjain diri, jangan kayak orang susah dong, kan kamu bisa beli, beli aja udah.”
Celotehan-celotehan itu sejujurnya sangat mengganggu telinga. Sebetulnya aku sendiri sama sekali tidak merasa tersiksa dengan pola hidup yang hanya memiliki sedikit barang, tepatnya hanya barang yang benar-benar aku butuhkan. Aku paling sering merapikan barang-barang yang memang tidak terpakai dan diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan dan membeli apa yang benar-benar aku perlu saja dan selebihnya uang ditabung. Aku juga tidak pernah tergiur untuk membeli barang yang sedang trend di pasaran. Meskipun banyak orang ramai-ramai berjuang demi mendapatkan suatu barang, kalau itu memang nggak penting buatku, aku juga nggak akan membelinya.
Semakin dewasa aku semakin menyadari bahwa materi yang berlimpah dan barang-barang mewah bukanlah tolok ukur sebuah kebahagian. Gaya hidup minimalis bukanlah hidup serba kekurangan melainkan cara hidup untuk tidak terikat pada kepemilikan barang. Terkadang barang yang kita miliki tidak menambah kualitas kehidupan kita karena yang sering terjadi kita membeli barang hanya untuk membuat orang lain terkesan kepada kita. That's it! Betul nggak?!
Maka dengan menerapkan gaya hidup minimalisme aku memahami bahwa ada banyak hal-hal yang jauh lebih penting dibandingkan dari sekedar sebuah barang. Nah, pola hidup ini akhirnya berimbas juga pada pola hidupku mengatur keuangan.
Sebagai seorang Kristen, aku banyak belajar dari Yusuf sebagai salah satu mentor yang baik dalam mengatur keuangan. Penasaran?! Yuk kita gali bagaimana kisah “Sang Manajer” terbaik-Nya Allah mengelola banyak hal yang dipercayakan kepadanya dan akhirnya mengispirasiku untuk melakukan hal yang sama.
Pertama, aku belajar untuk berdisiplin diri, (Kej 39:3-4; 21-23). Dalam kisah Yusuf, setiap situasi dimana Yusuf ditempatkan (di rumah Potifar maupun di penjara bahkan sampai di Istana Mesir pun), disiplin dan kerja kerasnya dihadiahi kepercayaan penuh oleh Allah. Ini hal yang lebih utama untuk dimiliki setiap dari kita: kepercayaan. Disiplin sangat penting sebagai langkah awal dalam mengatur keuangan. Tanpa disiplin sangat tidak mungkin mencapai tujuan yang diharapkan. Tuhan tidak akan mempercayakan kita tanggung jawab yang lebih besar jika kita tidak mampu bertanggung jawab mulai dari hal yang kecil. Jadi, berapa pun pendapatan dan keuangan yang dipercayakan pada kita saat ini, yuk mulai mendisiplinkan diri untuk mengelolanya dengan baik.
Setiap akhir bulan sebelum menerima gaji bulan berikutnya, yang aku lakukan adalah mengevaluasi pergerakan keuanganku selama sebulan kemarin, lalu aku mulai membuat perencanaan keuangan untuk bulan berikutnya (mis. kebutuhan apa saja yang diperlukan). Dalam membuat plan keuangan aku membaginya ke dalam 6 bagian yaitu: Life Cost 40% (kebutuhan bulanan, kartu kredit/cicilan, tempat tinggal, makan, dan transportasi); Social Cost 5% (nongkrong, traktir temen, main/ hiburan); Study Cost 10% (beli buku, investasi pendidikan, seminar atau kursus); Investment 20% (tabungan, investasi deposito, reksadana, saham, dll); Family Cost 15% (untuk diberikan ke orang tua dan kebutuhan belanja keluarga); Give Cost 10% (persembahan atau donasi). Mengenai pembagian prosentase, setiap orang bisa saja berbeda karena prioritas dan kebutuhkan masing-masing pribadi pastilah berbeda. Jadi, jika teman-teman merasa itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan boleh diikuti jika berbeda silahkan disesuaikan sendiri dengan kebutuhan masing-masing dari pribadi ya.
“Kok social cost nya sedikit sekali?” Ya, karena aku bukan orang yang suka foya-foya sejujurnya. Jadi, menurutku untuk sekadar jalan dengan teman dan cari hiburan, 5% sudah cukup. Setiap ada penambahan income bukan berarti langsung dialokasikan semua ke social cost aja lho ya, tidak seperti itu. Aku akan tetap distribusikan ke semua bagian, sehingga semua bagian keuangan juga mengalami kenaikan jika income kita bertambah. Jadi, logikanya, kalau ada kenaikan income bulanan seharusnya tabungan dan investasi kita juga bertambah. Nah, pola seperti ini aku lakukan dengan disiplin setiap bulannya. Di sini pencatatan setiap pengeluaran itu sangat penting. Jadi, jangan malas mencatat ya.
Kedua, dari Yusuf aku belajar juga mengenai visi atau tujuan (Kej. 41:25-32). Saat Yusuf mengartikan mimpi Firaun, ia akhirnya mengerti tujuan yang dikehendaki Allah untuk dilakukan bangsa Mesir itu. Yusuf memandang visi yang sangat jelas, yaitu mencari cara agar dapat mengumpulkan hasil pada 7 tahun masa panen dan bertahan pada 7 tahun masa sulit berikutnya.
Dalam mengatur keuangan bulanan, kita juga bisa membaginya menjadi dua bagian, tanggal 01-15 disebut masa kelimpahan (tanggal muda, yaitu habis menerima gaji bulanan) dan tanggal 16-30 disebut masa kesulitan (tanggal tua). Lalu yang perlu dilakukan adalah mencari tahu apa tujuan keuangan kita. Apa tujuan kita saat mengatur keuangan? Semestinya ini perlu dijawab dulu dengan jelas sebelum kita mulai mengatur keuangan. Apa itu demi masa depan dan keluarga? Atau demi keinginan untuk memiliki sesuatu? Atau apakah ada hal lainnya? Semua tergantung pada kita sendiri. Kembali lagi, kita punya prioritas dan kebutuhannya masing-masing, tidak bisa disamakan satu orang dengan lainnya. Dari visi atau tujuan inilah kita kemudian bisa mengambil suatu tindakan sebagai misi untuk menyelamatkan diri dari masa-masa sulit. Sejujurnya, jika aku mulai tergoda untuk membelanjakan uang demi hal yang tidak perlu, aku akan kembali mengingat pada visi dan tujuan keuanganku dan ini berkali-kali menjadi langkah yang jitu dan berhasil untuk aku akhirnya sampai pada tujuan dan visi tersebut.
Ketiga, Yusuf mengusulkan kepada Firaun untuk menempatkan "penilik" keuangan (Kej 41:34), "Baiklah juga tuanku Firaun berbuat begini, yakni menempatkan penilik-penilik atas negeri ini…" dan kita tahu pada akhirnya Yusuf lah yang diberi kuasa oleh Allah sebab ia dipandang sebagai orang yang berakal budi dan bijaksana sehingga mampu bertanggung jawab dalam mengatur segala yang dibutuhkan bangsa itu.
Jika saat ini kita belum bisa dan terbiasa untuk mengatur keuangan secara mandiri ada baiknya kita mencari seseorang yang memang mengerti betul dan dapat dipercaya untuk membantu kita dalam mengatur keuangan, mungkin anggota keluarga, mentor, financial planner profesional. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dan membantu kita dalam mengendalikan keuangan yang disimpan. Lakukanlah hal ini jika kita memang orang yang sadar kalau sedang memiliki "masalah" dalam mengatur dan menjaga keuangan. Sesekali berdiskusi dengan teman tentang cara mengalokasikan keuangan yang efektif bagus juga untuk dilakukan.
Keempat, Yusuf secara tidak langsung telah mengajarkan kita untuk menabung dan berinvestasi lho. Coba tengok di Kejadian 41:34-35.
"...dan dalam ketujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima dari hasil tanah Mesir. Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun-tahun baik yang akan datang ini…"
Kumpulkan di tahun baik untuk tahun kelaparan, simpan seperlima atau 20% dari penghasilan gunakan ini sebagai tabungan atau investasi kita. Apakah ini berarti menyimpan atau menabung uang adalah usaha yang bertentangan dengan Firman Tuhan? Tentu saja tidak. Dalam ajaran Kristus, memberi adalah sebuah usaha seorang Kristen untuk menunjukan kepada dunia ketaatan tanpa syarat. Jika perintah itu datang kapan saja, uang yang dimiliki tidak dapat menggantikannya. Hal ini tidak berarti kita dilarang hidup berkelimpahan dengan hasil usaha dalam bekerja. Hidup berkelebihan untuk menolong orang lain yang membutuhkan pada waktu-Nya adalah tujuan yang mulia, terutama jika nama Tuhan dimuliakan karena perbuatan tersebut. Ajaran Kristus dalam kisah Yusuf melatih kita untuk menabung di masa panen demi bertahan di masa sulit. Haiyo, apakah kita saat ini sudah merencanakan untuk punya tabungan pensiun? Sudahkah kita menyisihkan dana khusus sebagai dana darurat?
Dana darurat itu penting digunakan di masa kelaparan seperti masa akhir-akhir ini yang secara mendadak perekonomian negara kita tergoncangkan oleh karena pandemi. Nah, apakah kita sudah mempersiapkan dana ini untuk masa kelaparan yang akan datang berikutnya? FYI, dana darurat idealnya berjumlah tiga kali lipat total life cost kita setiap bulan. Contoh, jika untuk kebutuhan life cost kita setiap bulan sebesar lima juta rupiah, maka untuk dana darurat kita membutuhkan lima belas juta rupiah yang perlu dipersiapkan di masa kelimpahan kita untuk bertahan hidup selama tiga bulan masa kelaparan nanti. Kalau mau aman, biasanya pergerakan perekonomian negara baru akan stabil berjalan di masa enam bulan setelah berbagai kebijakan baru dibentuk. Untuk itu aku pribadi memang mempersiapkan dana darurat sejumlah enam kali life cost bulananku untuk bertahan selama enam bulan masa kelaparan berikutnya. Silahkan dicoba. Ini akan sangat berguna untuk masa tak menentu di depan nanti. Pada akhirnya, bukan hanya kita saja yang menikmatinya, tapi juga semua orang yang mampu kita tolong melalui tabungan itu. Nama Tuhan pun dimuliakan melalui tindakan kecil dan disiplin kita dalam mengatur keuangan.
Nah sekarang pertanyaannya, “Kalau gitu sama aja dong dengan dana untuk persembahan? Kenapa perlu dibedain? Toh sama-sama menabur pasti akan berujung pada tuaian.”
Dalam praktik hidup orang Kristen, tidak jarang kita dengar khotbah yang mengajarkan orang untuk "memberi maka kamu akan diberi, bahkan berkelimpahan." Benar kan? Tidak ada yang salah dengan hal itu. Pemberian perpuluhan bagi Tuhan dan menolong orang yang membutuhkan adalah salah satu hal wajib untuk dilakukan. Akan tetapi, memberi dampak yang buruk bagi kehidupan rohani kita jika hal ini dilakukan dengan harapan bisa mendapatkan kembali apa yang telah diberikan, bahkan lebih. Karena itu, kita harus membedakan antara dana persembahan dengan investasi ya. Dana persembahan atau “give cost” bukanlah untuk berinvestasi kawan-kawan. Mengapa?! Karena jika kita mengharapkan “return/imbalan” dari apa yang kita telah tabur dan berikan itu, fokus kita hanya akan mengharapkan pemberian-Nya dan bukan kedekatan dengan Pemberinya. Nah sekarang mengerti ya bedanya, kenapa kedua hal ini perlu dipisahkan masing-masing.
Mungkin Ignite People bukan seorang minimalis dan tidak berniat untuk mengubah pola hidup menjadi minimalisme. Tentu itu sah-sah saja dan aku pun tidak akan memaksamu. Namun, paling tidak sharing ini bisa membantu Ignite People untuk lebih aware dalam mengatur keuangan. Kalau apa yang aku sampaikan ini terlalu sulit untuk kamu praktikan kita mulai dari hal yang simple dan kecil dulu ya. Berdisiplin dirilah dulu untuk tidak membelanjakan uang demi barang-barang yang tidak perlu. Dimulai dulu aja dari situ, lalu pelan-pelan belajarlah untuk menabung dan berinvestasi. Kalau dari Ignite People ada yang punya cara menarik lainnya dalam mengatur keuangan yuk ceritakan caramu, supaya aku juga bisa belajar..
Kabar baiknya, kita sama-sama dipercayakan Allah menjadi manager, pengelola dan penatalayan keuangan-Nya Allah, hanya saja porsinya yang berbeda-beda sesuai apa yang dipandang baik oleh Allah. So, gunakan kepercayaan Allah ini dengan bertanggung jawab ya. Selamat menjadi manager keuangan-Nya Allah.
"Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:23)
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: