"He who labors as he prays, lifts his heart to God with his hands." - Saint Benedict
Dua-tiga hari sebelum artikel ini ditulis, aku dikejutkan dengan berita Lionel Messi resmi mengakhiri kontraknya dengan FC Barcelona. Padahal Messi sudah terlihat akan memperpanjang kontraknya dengan FC Barcelona, tetapi mendadak saja dia untuk memperpanjang. Dari berita tersebut, aku menangkap bahwa kita semua belum mengetahui akan dibawa ke mana kedua kaki spektakuler tersebut (hingga tulisan ini dibuat).
Aku sendiri sangat berharap Messi bisa mengakhiri karir sepak bolanya di FC Barcelona, tetapi juga bisa dibayangkan betapa sakit hatinya klub Catalan tersebut. Kuingat, hampir dua dekade yang lalu, seorang remaja miskin asal pelosok Argentina dibawa pergi ke kota Barcelona yang megah. Remaja itu dibawa untuk menjalani suntik hormon agar pertumbuhan tubuhnya lebih optimal, yang akhirnya membuatnya sukses menyabet banyak gelar. Musim lalu saja, Messi meraih El Pichichi (gelar untuk top scorer La Liga).
Apa mau dikata, Messi lebih memilih untuk mengakhiri kebersamaannya dengan FC Barcelona. Aku sangat menyayangkan keputusan La Pulga tersebut. Kalau Messi mau bertahan, bukankah itu akan menjadi sejarah yang sangat bagus? Ada satu pemain yang mengabdi selama dua dekade untuk satu klub sepakbola (terhitung sejak Messi masih di La Masia, akademi klub sepakbola FC Barcelona). Rekor yang fantastis, bukan?
Sayangnya, idealisme hanya tinggal idealisme. Jangan hanya melihat dari sudut pandang FC Barcelona; kita juga perlu melihat dari sudut pandang Messi. Ada rumor yang mengatakan Messi tidak bahagia di FC Barcelona. Kedua sahabatnya, Luis Suarez dan Neymar, sudah tidak ada lagi di klub tersebut. Belum lagi, beberapa rekannya saat FC Barcelona tengah berjaya sudah pergi meninggalkan Messi. Andres Iniesta, Carles Puyol, atau Xavi Hernandez adalah tiga dari contohnya. Buatku pribadi, aku bisa paham kenapa Messi memilih untuk mengakhiri kerja sama dengan FC Barcelona. Bisa jadi Messi merasa jenuh, ditambah lagi lingkungan klub Catalan yang sekarang mungkin sudah berubah menjadi lingkungan asing untuknya.
Sahabat, apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisi Lionel Messi? Jangan menyangkal juga, sebab aku merasa kita semua berada dalam posisi seperti dirinya (meskipun dalam konteks yang berbeda-beda). Kita ingin bertahan, tetapi beberapa pertimbangan mengharuskan kita untuk tidak lagi bertahan, lalu mencari peruntungan di tempat yang lain. Aku juga sering berada di posisi seperti itu. Jika memutuskan bertahan, aku diledek bodoh. Jika memutuskan untuk pindah (bahasa gaulnya, move on), aku dicap tidak setia, kurang ajar, brengsek, tidak tahu diri, dan beberapa kata-kata yang sangat menusuk kalbu.
Namun pertanyaannya, apakah kesetiaan yang sebenarnya itu? Kenapa itu seperti sesuatu yang langka? Persoalan bertahan atau tidak akan selalu menjadi persoalan dilematis. Itu baru tentang hubungan horizontal kita dengan sesama manusia. Lantas, bagaimanakah dengan hubungan vertikal kita bersama Allah? Sudahkah kita setia dan tidak lari kepada hal-hal lainnya selain menuju kepada-Nya? Bukankah Yesus pernah berpesan kepada kita agar setia pada hal kecil (Lukas 16:10)? Jujur saja, kita sering berkata ingin dianugerahi mahkota kehidupan, dan menikmati relasi bersama Allah di dalam kekekalan (oke, dari sekarang pun kita bisa mengalaminya, meskipun penggenapannya saat kedatangan Yesus kedua kalinya), tetapi tak jarang kita justru menyelingkuhi Allah. Pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan betapa sakit hatinya Allah ketika melihat prioritas (bahkan pusat) kehidupan kita beralih dari-Nya?
Peristiwa keluarnya Messi itu membuatku merenung, "Sudahkah aku mengutamakan Allah dalam hidup aku? Bisakah aku tetap setia hingga akhir kepada-Nya, walaupun ada lika-liku di dalam perjalanan imanku?"
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: