Layakkah kita menyingkirkan mereka yang berbeda dari kita? Sudah "Tuhan" kah kita, yang dengan sok berani mengusir orang-orang yang ingin melayani-Nya? Sesempurnakah itu kita?
Carolyn Tan Bee, pemilik Appa Bistro & Bar di Telawi, Bangsar, Kuala Lumpur, Malaysia, memiliki cerita hidup yang tidak mudah. Bahkan, sejak bayi, ia telah dibuang oleh orang tuanya. Ia dianggap tidak pantas ada di keluarga tersebut. Ia dibuang dan akhirnya dirawat oleh pengasuhnya. Bee pun sempat merasa down saat mengetahui bahwa ternyata ia adalah seorang “anak pungut” pembantunya. Namun, hidup Bee ternyata tidak berhenti sampai di situ. Ia menjadi pemilik sebuah restoran yang cukup terkenal di Penang, Malaysia. Ia yang terbuang digunakan oleh Tuhan untuk menjadi saluran berkat bagi puluhan karyawannya. Cerita yang serupa dengan Bee ternyata tidak hanya satu-dua. Ada puluhan atau mungkin ratusan.
Photo courtesy of Strait Times
Israel pun memiliki seorang hakim yang terkenal. Ia bernama Yefta. Bagi kalian yang kepo dengan ceritanya, aku sarankan kepada kalian untuk mengenalnya dalam Hakim-hakim 11: 1-11. Yefta adalah seorang anak perempuan sundal. Setelah ayahnya Gilead juga memiliki anak dari isteri sahnya, Yefta pun dibuang. Saudara-saudara tirinya mengatakan bahwa Yefta tidak akan mendapat milik pusaka keluarga, sebab ia anak perempuan sundal. Yefta pun terbuang (atau mungkin lebih tepat ‘dibuang’) oleh keluarganya. Yefta pun melarikan diri ke tanah Tob dan bergabung dengan para petualang.
Beberapa waktu kemudian, bani Amon berperang melawan orang Israel. Yefta pun dijemput oleh para tua-tua Gilead, untuk menjadi panglima perang bagi orang Israel. Yefta yang mungkin saat itu masih memiliki “dendam” dengan keluarga dan kaumnya sangat mungkin menolak tawaran itu. Tetapi, ayat 11 bagi saya adalah kuncinya, Dia tidak sembarangan mengambil keputusan. Ia terlebih dahulu membawa perkaranya ini kepada Tuhan. Yefta tidak bergerak sendiri, ada Tuhan yang menjaga dan memimpinnya.
“... Tetapi Yefta membawa seluruh perkaranya itu ke hadapan TUHAN, di Mizpa”
Hakim-hakim 1:11b
Seperti biasa, aku akan menyerahkan penelaahan Alkitab kepada para pendeta atau para lulusan teologi yang mampu menafsirkan bagian ini dengan lebih baik daripada aku. Pada tulisan kali ini, aku mau kita melihat bahwa Tuhan juga menggunakan orang yang “tidak sempurna” untuk menjadi alat-Nya. Ia mau menggunakan kita untuk memberitakan perkataan-Nya seluas mungkin bahkan tampil sebagai pembela umatnya sama seperti Yefta dan Bee.
Masih dalam suasana “liyan,” mungkin banyak kita yang berpikir, “Aku berbeda dari lingkunganku”, “Aku tidak diinginkan oleh mereka”, atau bahkan “Aku dibuang oleh para ‘normal.’” Kita merasa berbeda dan tidak diterima oleh masyarakat luas. Namun, sama seperti Yefta dan Bee, percayalah kawan, Tuhan punya cara yang unik dan sekaligus indah, untuk menggunakanmu sebagai kepanjangan tangan-Nya, menggunakanmu sebagai “corong” mulut-Nya, dan lain sebagainya. Masa lalu yang suram dan kelam, tidak akan membuat Tuhan lari dari padamu. Jika Ia memegangmu dan menjadikanmu sebagai alatnya, percayalah, rencana itu tidak akan pernah bisa digagalkan. Aku pernah menulis cerita tentang panggilanku menjadi pelayan Tuhan. Ia menggunakan aku yang tidak sempurna secara fisik untuk tetap melayani Dia, bahkan lebih lagi, aku dimampukan untuk lebih berani bersuara dan menyatakan kasih Tuhan bagi sekitarku.
Dari perenungan singkat ini, aku ingin kita melihat beberapa hal:
Orang yang tidak sempurna, dengan berbagai macam keterbatasannya, tetap bisa menjadi pilihan Tuhan untuk mengabarkan berita sukacita itu. Saat kita berpikir, "Aku tidak mampu, karena aku tidak sempurna", justru melalui ketidaksempurnaan kita itulah, kesempurnaan Tuhan semakin dinyatakan, Ia memiliki standar sendiri untuk memilih alat-Nya. Pertanyaannya: siapa kita mengatur Tuhan untuk memilih berdasarkan standar kita? Saat kita dipilih-Nya, siapa pun kita, mau orang dengan penyakit kronis, kaum minoritas seksual, anak-anak yang terbuang, yatim piatu, mantan gengster, bekas narapidana, kaum disabilitas dan lain sebagainya, Tuhan tidak main-main dengan panggilannya, apakah kita masih mau menolak panggilan yang tidak main-main itu?
Bagi para pelayan Tuhan yang merasa diri paling sempurna, dan kemudian secara berani, menolak orang-orang yang mau melayani Tuhan karena berbagai macam keterbatasan, aku katakan kepadamu, “Sudah sempurnakah kamu, sehingga berani menolak mereka yang diterima oleh Tuhan? Sudah sempurnakah kamu seperti Tuhan kita yang memang sempurna? Kalau belum, berkacalah pada ketidak sempurnaanmu kawan!” Tuhan saja mau memakai kita yang tidak sempurna. Mengapa kita yang mengaku sempurna justru menolak mereka yang “tidak sempurna”? Mengapa kita menyingkirkan para “liyan” dan menganggapnya tabu? Mengapa kita membatasi mereka dengan standar “sempurna” menurut kacamata kita? Sudah layakkah kita menjadi hakim atas manusia lain? Aku, secara pribadi, ingin mengajak saudara-saudara yang pernah menolak mereka yang “liyan” itu untuk mulai menerima mereka, apapun kondisi mereka, apapun orientasi seksual mereka, apapun kondisi keluarga mereka, apapun pekerjaan mereka, sebagai rekan sekerja Allah dalam pelayanan-pelayanan yang kita anggap “sempurna” itu. Ingat, bukan kita yang memilih pelayan untuk-Nya, tetapi Dia sendirilah, dengan otoritas penuhnya yang memilih mereka. Sekali lagi, “Apa hak kita untuk menempatkan standar kita sebagai standar Tuhan? se-Tuhan itu kah kita?”
Kiranya tulisan singkat di atas bisa membawa kita semakin dekat dengan mereka yang dulu kita “buang” dengan berbagai macam alasannya. Kiranya Tuhan memberkati kita semua!
LLC-masih dalam masa libur #dikamaraja
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: