Kita semua pun sekarang hidup ‘dipingit’ apapun gendernya.
Kita terlalu sibuk mengeluh suntuk WFH, kita nggak ingat RA Kartini WFH nyaris seumur hidup!
Ingatkah IGNITE People, kalau sebentar lagi Hari Kartini? Sejujurnya aku (hampir) lupa karena terlalu bosan terkungkung di rumah. Liat tembok kamar, ngedumel. Liat meja kerja, stres. Liat kasur, bosan. Oh Tuhan, beginikah rasanya jadi tahanan politik macam Aung San Suu Kyi pada jamannya?
***
Saat mengeluh, aku merasa baik dunia maupun pikiranku jadi sempit. Kamar yang sudah sempit, makin sesak oleh pikiran buruk. Pikiran yang seharusnya luas, jadi menyusut seperti balon. Kalau kata orang bijak...
"Sebentar-sebentar mengeluh.
Mengeluh kok sebentar-sebentar."
-Cak Lontong
Akupun teringat pada penelitian yang pernah kakakku lakukan di Jepara beberapa tahun lalu dalam rangka penulisan novelnya, sebuah fiksi-historik mengenai sosok RA Kartini. Teringat akan cerita-ceritanya mengenai hidup sang pahlawan muda.
“Kartini kehilangan masa kecilnya ketika ia harus menjalani masa pingitan, sebagaimana anak perempuan Jawa di masa itu. Kala itu, sekitar awal 1892, Kartini yang baru saja lulus Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang Eropa) sedang galau. Di usianya yang belum genap 13 tahun, ia sudah diperintahkan ayahnya menjalani pingitan. Dia sempat menghiba ke ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS, setingkat sekolah menengah) di Semarang. “Tidak,” jawab sang ayah tegas.
"Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!" tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Industri, dan Agama Hindia Belanda.
Seketika dunia Kartini menyempit. Dia dilarang keluar dari kompleks rumahnya yang megah. Kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Kartini menceritakan betapa putus asa ia menjalani pingitan yang mengerikan. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci.”
-Majalah Tempo
***
Kartini hampir gila dalam kurungan rumahnya. Namun ia tidak membiarkan pikirannya ikut menyempit bersama dunia fisiknya. Dari dalam rumahnya ia bertukar pikiran bersama sahabat pena dari Belanda. Dari dalam rumahnya, ia tersadar akan adanya orang-orang yang hidup di luar sana, tampak bebas, namun sebenarnya terpenjara kebodohan.
Photo by. https://id.pinterest.com/pin/537758011728620634/
Kartini kemudian menjadikan pendopo rumahnya tempat untuk memerdekakan bangsanya dari penjara kebodohan. Dari pendopo rumah, ia mengajar anak-anak perempuan di sekitar kawasannya agar bisa membaca, menulis, juga pendidikan kepribadian, dan memasak.
***
Dalam Alkitab, kita juga menyaksikan kehidupan sejumlah tokoh wanita yang terdomestifikasi, salah satunya Batsyeba yang dalam narasi Daud vs Uria, terposisi seperti aset yang diperebutkan.
Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu seorang perempuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya. Lalu Daud menyuruh orang bertanya tentang perempuan itu dan orang berkata: "Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu." Sesudah itu Daud menyuruh orang mengambil dia. Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengan dia. Perempuan itu baru selesai membersihkan diri dari kenajisannya. Kemudian pulanglah perempuan itu ke rumahnya.
- 2 Samuel 11:2-4
Coba kita berempati sejenak dengan Batsyeba; tertulis ‘Perempuan itu baru selesai membersihkan diri dari kenajisannya’ - Batsyeba sedang menjalankan ritual mandi wajib sesuai hukum Musa saat itu, yang memang biasa dilakukan setelah seorang wanita usai datang bulan. Tentu tidak ia sangka, setelah itu ia malah kehilangan hidup yang selama ini ia jalani.
Walau hidupnya diguratkan oleh tragedi, dari kematian suami hingga bayi yang gugur di usia 7 hari, Batsyeba melanjutkan hidupnya di balik tembok istana. Jika Kartini punya banyak murid, ia hanya punya satu, putra tunggalnya, Salomo - yang kemudian kita kenal sebagai raja terbijak dan moyang dari Yesus.
Batsyeba masuk menghadap raja Salomo untuk membicarakan hal itu untuk Adonia, lalu bangkitlah raja mendapatkannya serta tunduk menyembah kepadanya; kemudian duduklah ia di atas takhtanya dan ia menyuruh meletakkan kursi untuk bunda raja, lalu perempuan itu duduk di sebelah kanannya.
- 1 Raja-Raja 2: 19
Sedemikian powerful sosok Batsyeba dalam hidup Raja Salomo, sehingga legenda Yahudi mengatakan bahwa Amsal 31 sesungguhnya ditulis Salomo untuk sang ibu.
***
Dari Kartini dan Batsyeba, aku belajar bahwa #diRumahAja sama sekali tidak membatasi karya Tuhan melalui hidup kita. Dari Kartini dan Batsyeba, aku pun belajar mengenal sosok-sosok perempuan kuat, yang ketika diberi lemon yang kecut, mengolahnya menjadi lemon cake terdahsyat yang pernah ada.
IGNITE People, #COVID19 jelas sebuah 'lemon yang kecut' dalam hidup kita saat ini. Kita semua pun sekarang hidup ‘dipingit’ apapun gendernya. Tak hanya berhenti di sana, banyak diantara kita kehilangan pekerjaannya, sehingga kalau salah-salah curhat mengeluh soal hidup WFH, aku malah kena damprat: Beruntung ente masih ada gawean! Go wipe your tears with money!
Baiklah, tampaknya aku harus belajar lebih membuka pikiran di saat ruang gerak fisikku makin sempit. Semoga dengan demikian, hidup kembali kaya rasa walau #diRumahAja.
Bagaimana kalian memandang hidup di rumah saat ini? Sebuah ‘penjara’ atau kesempatan berkembang? Yuk kita belajar untuk meneladani perempuan-perempuan setrong di Alkitab dan Nusantara!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: