Semakin lebar lingkaran pergaulanku, artinya aku harus belajar memperluas sudut pandangku dan berhenti jadi kura-kura dalam tempurung.
Satu tahun lalu, akhirnya aku mulai mengamini pernyataan yang sering bertebaran di linimasa. Pernyataan tersebut berbunyi, “Semakin bertambahnya usia, kamu akan menyadari bahwa lingkaran pertemananmu juga bertambah sempit.”—atau mungkin kurang lebih begitulah isinya. Setelah kepala satuku tergantikan dengan angka dua, aku pun menyadari betapa semakin sulit mencari orang yang bisa dipercayai untuk saling berbagi banyak hal. Semakin dewasa, perlahan-lahan aku mulai disibukkan dengan rutinitas yang menjemukan, sampai-sampai lupa untuk rehat demi bercengkrama bersama orang-orang terkasih.
Mereka yang dulu aku sebut sahabat, mulai bergerak menjauh dan hanya dapat dihubungi dalam waktu tertentu. Aplikasi pesan yang awalnya berisi obrolan ‘receh’ atau komentar dari postingan satu sama lain, perlahan-lahan tergantikan dengan obrolan seputar tugas, pekerjaan, atau apapun yang berintikan pada kejemuan.
Photo by Sara Kurfeß on Unsplash
Yang mulanya setiap pesan diawali sapaan hangat, “Tabb selo ngggak? Ketemuan, yuk!”, lama-lama menjadi, “Minggu depan udah deadline. Jadi tolong waktu pengerjaannya dipercepat.” Obrolan informal pun bergeser menjadi obrolan yang mengharuskanku mementingkan Ejaan Yang Disempurnakan. Memang benar, kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang harus saling menolong. Bahkan Tuhan, melalui Rasul Paulus, menegaskannya,
Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.
(Galatia 6:2)
… tapi semakin lama, aku merasa jumlah orang yang kusebut sebagai saudara sepenanggungan pun mulai menipis—seiring dengan bertambah luasnya lingkaran pergaulanku. Sebuah fakta yang sarat ironi, bukan?
Well, aku tidak bisa menampik bahwa kadang-kadang ada rasa iri hati padamereka yang masih bisa makan atau nongki ala-ala bersama lingkaran dalamnya masing-masing. Berbanding 180 derajat, dia yang kusebut sahabat sudah asyik dengan lingkarannya sendiri. Hehe. Bukan hanya cinta yang bisa bertepuk sebelah tangan, persahabatan pun demikian.
Photo by Daria Shevtsova on Unsplash
Aku sadar bahwa pemikiran bahwa aku-nggak-bakal-punya-sahabat itu adalah negative thoughts dari si jahat yang harus dibasmi. Tapi, beuhh, susah sekali. Sedih rasanya melihat ada persahabatan sejak TK yang bertahan hingga ke pernikahan—bahkan berkeluarga (sempat hang out pula!). Kamu bisa mengatakan, “Halah, sentimentil amat nih, yang nulis! Skip, skip. Baca yang lain aja” tapi lubuk hatimu merintih membenarkannya, jadi silakan pilih apakah kamu ingin menutup laman ini atau meneruskan membaca.
Inilah yang jadi topik keluhanku pada dia, calon teman hidupku, sampai (mungkin) membuatnya merasa lelah karena sudah berulang kali aku mengungkit hal yang sama.
“Iya, inner circle-mu bisa aja tambah sempit, tapi kamu punya banyak teman, kan? Seenggaknya kan, ada kakak dan saudara per-KTB-anmu. Dan ada aku,” tulisnya di Whatsapp.
“Ish, enak kali ngomongnya. Mana ada pacar jadi inner circle”, batinku kesal—tapi benar juga yang dia bilang. Aku tidak pernah memikirkan bahwa pacar juga termasuk dalam inner circle seseorang.
“Tapi idealnya kan, jumlah dan orangnya nggak berubah,” balasku yang kolot ini (oke, aku mengakui kalau aku kolot dan mungkin itu sebabnya inner circle-ku semakin menyempit karena banyak yang tidak betah denganku haha. Let’s laugh in tears).
“Iya ada sih, yang kayak gitu. Dan aku nggak iri dengan mereka. Kalo ada orang yang punya inner circle, tapi kalau di luar dia nggak punya temen ya sama aja.”
Entah apakah orang melankolis yang memiliki pacar flegmatis adalah sebuah berkat atau masalah, tapi aku tidak bisa menyangkali kebenaran kata-katanya.
“Tapi bener kan, semakin tambah umur, semakin sempit lingkaran dalamnya?” aku masih bersikukuh dengan pernyataan yang kuamini itu.
“Iyaa betul. Apalagi kalau udah berkeluarga. Kalau nggak ngeluangin diri untuk bergaul, bisa nggak punya temen. Tetep butuh bergaul, sih. Kasih jatah seminggu sekali buat ketemu temen, misalnya.”
“Nongki-nongki tamvan?”
“Hahaha… iya. Atau arisan emak-emak.”
Seulas senyum terlukis di wajahku, bersyukur karena memiliki laki-laki dengan pikiran dingin ini dalam hidupku.
Dari chat di atas, aku jadi memikirkan makna inner circle yang selama ini kupahami. Secara teori, aku tahu kalau inner circle seharusnya adalah saudara seiman yang seharusnya bisa menguatkan satu sama lain. Kenapa harus saudara seiman? Karena sejauh pengamatan (dan pengalaman), inner circle bisa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap hidup seseorang.
Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.
(1 Korintus 15:33)
Lagi-lagi, makhluk sosial mudah dipengaruhi oleh lingkungannya. Kalau seseorang memiliki hidup yang berdasarkan firman Tuhan tanpa teman-teman yang mendukungnya (bahkan menentang), pelan tapi pasti nilai kebenaran yang telah tertanam bisa terkikis. Beda hal ketika dia memiliki support system yang saling mendukung untuk bertumbuh dalam Tuhan, hidupnya pun menjadi kesaksian bagi orang lain.
Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesukaran.
(Amsal 17:17)
Selama ini, aku berpikir bahwa inner circle hanya sebatas orang-orang yang bisa diajak nongkrong dan ngobrol berjam-jam—baik soal Raisa dan Hamish, permainan “siapa yang kupotret”, hingga seputar Allah Tritunggal. Tapi apa jadinya ketika lingkaran dalam itu justru meninggalkan seseorang, yang sebenarnya, sangat membutuhkan mereka dalam keadaan terpuruk dan sulit bangkit kembali? Percaya atau tidak, dia akan meragukan makna sahabat ketika itulah yang terjadi.
Photo by Providence Doucet on Unsplash
Sekarang, aku menyadari bahwa lingkaran dalamku seharusnya memiliki saringan yang cukup ketat. Bukan mau pilih kasih, tapi aku memerlukannya karena aku ingin menjaga hidupku agar tetap sejalan seperti yang Tuhan mau. Tetap saja, aku tidak akan membatasi pergaulanku. Lagipula, semakin lebar lingkaran pergaulanku, artinya aku harus belajar memperluas sudut pandangku dan berhenti jadi kura-kura dalam tempurung. Plus, aku perlu berhenti meratapi jumlah orang dalam inner circle-ku, dan justru mensyukurinya beserta orang-orang yang ada di luarnya. Karena tanpa mereka, aku tidak akan menjadi seperti sekarang,
.
.
.
termasuk kamu yang sedang membaca tulisan ini. Vielen Dank! :)
Persahabatan ‘kan kekal bila Yesus beserta. Persahabatan tak kenal perasaan kecewa. Sampai waktunya tiba pulang ke rumah Bapa, waktu hidup tak panjang, bersahabatlah.
Bersahabatlah dengan orang lain memang penting, tapi jangan lupa akan Pribadi lain yang akan tetap setia menjadi Sahabat-Mu—sekalipun es di bumi semakin mencair dan hujan tak lagi bersua denganmu!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: