Di tengah-tengah penderitaan, kita tidak bisa langsung dengan penuh keberanian menuding bahwa semuanya ini adalah akibat dosa kita.
“Dunia sedang sakit atau dunia sedang berduka” begitulah tanggapan setidaknya dari pengamatanku di media sosial. Bagaimana tidak, Covid-19 telah menyebabkan kematian dan kerugian ekonomi secara global karena terhentinya aktivitas sosial-ekonomi di dunia nyata. Di tengah kewajiban physical distancing, aku bersyukur melalui peristiwa ini, aku dapat berjumpa kembali dengan teman-teman yang sudah lama kehilangan kontak, karena kami saling mencari tahu keadaan masing-masing.
Hal kedua yang aku perhatikan dari peristiwa ini adalah masih ada orang yang menghubungkan pandemik ini dengan dosa. Oleh sebab itu, aku mencoba menuangkan refleksi berdasarkan Perjanjian Lama mengenai peristiwa ini. Paling tidak ada satu hal yang menjadi sorotanku yaitu, apakah pandemi Covid-19 akibat dari dosa manusia? Oke mari kita lihat!
Setiap ada peristiwa mengerikan berskala besar, misalnya, serangan teroris atau wabah penyakit seperti sekarang ini, maka kecenderungan orang yang beragama akan mengatakan bahwa ini adalah hukuman Tuhan atas dunia karena segala dosa-dosa kita. Tanpa keraguan sama sekali mereka menuding dosa manusia. Memang Alkitab dengan jelas mengajarkan kepada kita, akibat kejatuhan manusia di Taman Eden, kita dikandung dan dilahirkan dalan kondisi berdosa oleh karena itu hidup manusia tidak seperti di taman Firdaus yang indah, seperti ajaran dari Katekismus Heidelberg no. 7:
“Kejatuhan dan ketidaktaatan orang tua pertama kita, Adam dan Hawa, di Firdaus.
Kejatuhan ini telah meracuni sifat kita
bahwa kita semua dikandung dan dilahirkan
dalam kondisi berdosa.”
Itulah sebabnya secara misterius dan tragis, Adam memilih kematian dan kita melihat dan merasakan konsekuensinya sampai sekarang. Dalam Ulangan, Tuhan mengulangi permintaanNya kepada manusia untuk patuh dengan sempurna. Ini adalah permintaan kepatuhan yang sempurna setelah kejatuhan.
“Terkutuklah orang yang tidak menepati perkataan hukum Taurat ini perbuatan. 'Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!” (Ul 27:26).
Alkitab juga dengan jelas mengajarkan soal berkat dan kutuk (Im. 26:1-46). Apalagi kalau kita melihat kisah dalam Perjanjian Lama mengenai kegagalan umat Tuhan, mulai dari kitab-kitab sejarah dan kitab para nabi, kita akan melihat cerita dimana kegagalan umat menaati hukum Tuhan berbuah hukuman. Namun, berita yang ditulis di dalam Alkitab tidak hanya berita soal hukuman ketika umat berbuat dosa tetapi juga ada berita pengharapan di setiap akhir hukuman. Harapan akan pembebasan selalu digaungkan dan dinyanyikan oleh umat Tuhan di dalam Perjanjian Lama, mereka terus berusaha mewujudkan pengharapan mereka. Sama seperti ketika Indonesia berharap untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka dari sistem kolonial dan akhirnya terwujud. Hal ini menunjukkan bahwa pengharapan memberikan semangat yang tidak hanya bertahan di dalam penderitaan tetapi juga mendorong kita bergerak mewujudkan harapan itu.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa Alkitab memang mengajarkan konsekuensi dari dosa yaitu hukuman tetapi kita jangan terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa penderitaan kita adalah akibat dosa atau dengan berani kita menuding bahwa pandemik Covid-19 yang membawa penderitaan bagi dunia ini adalah akibat dosa manusia. Ups! Sebentar-sebentar, bagaimana dengan Ayub? Kita akan belajar dari kisah Ayub. Kitab Ayub memberikan pelajaran kepada kita bahwa hidup ini tidak selalu berjalan seperti kebanyakan orang beragama memikirkannya, bahwa penderitaan dan kejahatan adalah akibat dosa dan juga seperti orang-orang sekuler memikirkan bahwa dalam sistem dunia ada punishment dan reward. Seseorang yang bersalah pasti akan menerima hukuman.
Kita tahu bersama Ayub adalah orang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ay. 1:1). Namun, ia malah mendapat penderitaan yang luar biasa. Ia kehilangan banyak hal dan yang tertinggal hanyalah istrinya. Di tengah penderitaan itu, istri dan teman-temannya bahkan mungkin penduduk daerah di mana Ayub tinggal, menuding Ayub telah berbuat dosa. Ayub tidak tinggal diam, dia terus membela dirinya dan berharap Tuhan datang membelanya. Pada akhir cerita, kita tahu bersama bahwa Tuhan memulihkan keadaan Ayub dan menyatakan bahwa tuduhan dari istrinya, teman-temannya bahkan mungkin penduduk daerah di mana Ayub tinggal adalah tidak tepat. Alkitab mencatat bahwa Tuhan murka karena mereka tidak berkata benar tentang Allah dan Ayub (Ay. 42:7). Jadi, Kitab Ayub membalikkan semua sistem yang ada dan membuat Alkitab menjadi paradoks. Namun, hal ini malah menunjukkan bahwa Allah bekerja melampaui apa yang manusia pikirkan atau harapkan dan kita tidak punya kapasitas untuk menyatakan bahwa setiap penderitaan adalah akibat dari dosa; yang kita lakukan adalah bertahan dan bergerak melakukan yang terbaik untuk mewujudkan harapan.
Apa yang dapat kita pelajari dari Perjanjian Lama?
“Innocent people do suffer misfortunes in this life. Things happen to them far worse than they deserve—they lose their jobs, they get sick, their children suffer or make them suffer. But when it happens, it does not represent God punishing them for something they did wrong. The misfortunes do not come from God at all... it was comforting to believe in an all-wise, all-powerful God who guaranteed fair treatment and happy endings, who reassured us that everything happened for a reason, even as life was easier…”
2. Di tengah-tengah penderitaan selalu ada pengharapan akan pemulihan dari keadaan yang sedang terjadi dan Alkitab menceritakan bagaimana Allah bertindak untuk memelihara umat-Nya. Pandemi Covid-19 telah membuat kita berhenti sejenak dari segala jenis kegiatan kita, untuk memandang kepada Allah. Sekarang, waktunya kita berharap -seperti umat Perjanjian Lama- kepada Allah sang pencipta, pemelihara, dan penopang, untuk memberikan kekuatan kepada kita agar bisa bertahan dan bergerak mewujudkan harapan.
Soli Deo Gloria!
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: