"Seperti apel emas pada wadah perak,Begitulah kata-kata yang diucapkan pada waktu yang tepat." Amsal 25:11
Pada suatu hari, aku iseng saja membereskan kamar. Aku iseng pula membaca beberapa komik lama sampai tertuju pula ke arah satu cerita dari komik Paman Gober.
Pada komik tersebut, diceritakan Miki batal mengajak Mini jalan-jalan ke gunung. Penyebabnya: Mini baru saja membaca horoskop yang menyarankan Mini tidak pergi. Miki pun kesal dan menasihati Mini agar jangan begitu saja mempercayai horoskop. Hingga akhirnya, demi menyenangi kekasihnya, Miki rela diajak Mini ke acara si pembuat horoskop.
Demi memberikan pelajaran penting ke Mini, Miki menantang si pembuat horoskop. Di kesempatan pertama, si pembuat horoskop yang menang. Namun, di lain kesempatan, setelah terkumpul bukti-bukti, Miki berhasil membuktikan ke Mini bahwa jangan mempercayai ramalan si pembuat horoskop. Lantas, apakah Mini benar-benar mendengarkan pesan Miki? Kenyataannya, Mini malah berpaling ke pembuat horoskop lainnya. Sampai akhirnya, Miki berkata, "Aku nggak komentar deh."
***
Aku pun tertawa... Tertampar juga! Karena aku kadang juga bersikap seperti Miki Tikus, sok menggurui ke sana dan ke mari, berusaha membuktikan ke beberapa orang agar jangan percaya seratus persen tiap isu yang beredar. Ada kalanya yang bersangkutan mengindahkan aku. Ada kalanya aku diabaikan begitu saja. Yah, pokoknya aku kerap melakukan yang Miki Tikus lakukan ke kekasihnya, yang tak ingin terjebak dalam kebiasaan yang menurutnya keliru, seperti ingin mengubah pribadi seseorang; membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Salahkah jika aku berpikiran dan berniatan seperti itu? Kadang di satu sisi, aku merasa bersalah juga. Aku merasa egois karena agak memaksakan idealismeku ke orang lain. Entah kenapa aku merasa senang sekali jika saran atau nasihatku diikuti, walau perasaan bersalah itu tetap mengikutiku. Di lain kesempatan, aku merasa diriku benar, apalagi jika sampai aku punya pikiran, "Tuh kan, nggak sia-sia ikut saran aku."
Walau demikian, tiap aku merenung dan membawanya dalam, aku suka berpikir bahwa apa yang kulakukan itu tidaklah seratus persen keliru. Mengingatkan seseorang untuk tidak terjerumus ke hal-hal negatif dan/jahat, tidaklah salah. Beberapa tokoh Alkitab, termasuk Yesus sendiri, menyarankan kita untuk wajib menegur jika melihat sesuatu yang salah. Mungkin yang menjadi kekeliruan adalah sikap terlalu memaksakan diri, sehingga orang lain merasa terusik dengan saran/nasihat yang kita berikan.
Hal ini sama seperti Miki Tikus, yang menyarankan Mini Tikus untuk tidak mempercayai ramalan. Nyatanya, Mini memang mendengarkan tetapi di lain waktu berbalik lagi ke kebiasaan yang lama. Pada akhirnya, Miki lebih memilih bersikap bodoh amat. Mungkin, kalau ceritanya diteruskan, Miki akan berkata, "Aku nggak akan komentar lagi deh. Terserah kamu saja. Itu hidup kamu juga."
Sebuah pepatah mengingatkanku, "Kalau mereka tak mau mendengarkan, biarkan saja, yang penting tugasmu adalah mengingatkanmu." Sesuai yang disampaikan dalam Pengkhotbah 3:1, bahwa "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah lain ada waktunya." Ada waktu untuk berbicara, ada waktu untuk berdiam pula.
Kembali aku menertawakan diriku sendiri. Dan, aku sama sekali tak ada niat menggurui, karena aku juga manusia biasa yang luput dari kesalahan. Anggap saja tulisan ini hanya sekadar catatan pribadi untuk aku, bahwa tugasku hanya mengingatkan diriku. Mau didengar, mau diabaikan, mau dia berbalik lagi ke kesalahan lamanya, adalah hak orang tersebut.
Tak sepatutnya kita melangkahi kehendak bebas dari orang yang bersangkutan. Bukan tanggung jawab kita, apalagi untuk mengubah pribadi orang lain sesuai kemauan kita. Belum lagi, aku sadar juga setiap orang memang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Menegur boleh, memperingati memang diharuskan Allah, tapi jangan memaksakan kehendak.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: