"..., sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah." (Yohanes 3:3)
Minggu, 18 November 2001 merupakan tanggal ketika saya dibaptis dan mengaku percaya. Waktu itu saya belum mengerti dan menghayati betul apa arti lahir baru. Saya mengikuti katekisasi selama kurang lebih sembilan bulan, itu pun tanpa dorongan orang tua. Saya ikut katekisasi karena ingin lebih memahami kekristenan, kemudian dibaptis, menjadi anggota gereja, titik. Tidak lebih dari itu.
Di kelas katekisasi saya belajar mengenai siapa Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus, dosa, keselamatan, gereja, tetapi semua itu sebatas pemahaman. Di penghujung kelas katekisasi, kami para peserta katekisasi diminta mengisi formulir permohonan baptis atau sidi, lalu menyertakan foto untuk piagam baptis atau sidi. Beberapa hari kemudian, saya menerima undangan gladi bersih untuk persiapan baptis atau sidi di gereja yang diantar ke rumah melalui karyawan gereja.
Hari di mana baptisan atau sidi akan dilaksanakan pun tiba. Masih ingat, waktu itu saya hanya mengenakan kaos berkerah garis-garis lurus ke bawah berwarna abu-abu, celana panjang kain berwarna hitam, dan sepatu. Semua kawan-kawan saya kelihatan rapih, mengenakan kemeja, rambutnya berminyak, semua kelihatan keren. Seingat saya, hanya saya sendiri yang tidak mengenakan kemeja. Maklum, waktu itu belum punya kemeja, dan tidak terpikir untuk beli kemeja supaya kalau difoto terlihat rapih dan bagus. Menyesal juga kalau hari ini melihat foto ketika saya dibaptis, mengapa tidak pakai kemeja, setidaknya kan bagus buat foto kenang-kenangan.
Pada hari pembaptisan, saya duduk di kursi depan yang sudah ditempeli tulisan peserta baptis atau sidi supaya tidak ada anggota jemaat yang menempatinya. Tiba saatnya giliran saya dibaptis dan maju ke depan, ada rasa deg-degan karena baru pertama kalinya. Saya berlutut di tempat yang sudah disediakan, lalu terdengar suara pendeta saya sambil membaptis mengatakan: “Markus Hadinata, aku membaptiskan engkau dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Amin.” Kepala saya seketika terasa dingin, air membasahi kerah kaos dan mengalir sampai ke leher. Saya kembali ke tempat duduk. Sepulang dari gereja, beberapa kawan sebaya saya mengucapkan, “Selamat ya (sambil tersenyum).” Saya cuma tersenyum, tetapi tidak mengerti mengapa mesti diucapi selamat? Tapi senang juga rasanya, setidaknya ada yang memperhatikan dan memberi ucapan selamat.
Keesokan harinya saya demam, sebenarnya sudah mulai terasa beberapa saat setelah air baptisan yang dingin mengguyur kepala saya di siang hari yang panas.
Tidak ada yang membimbing saya selanjutnya bagaimana menjalani hidup sebagai orang Kristen setelah baptis atau sidi. Semua mengalir begitu saja. Saya mengikuti kebaktian Minggu tiap Minggu, sempat juga menyediakan diri ikut pelayanan di sebuah persekutuan doa interdenominasi. Mendengarkan kesaksian, kotbah, membaca artikel mengenai lahir baru. Di perpustakaan gereja ada sebuah buku yang mengisahkan seorang penginjil yang bernama John Sung. Saya tertarik dengan isinya, tetapi semua itu tidak membuat saya mengalami lahir baru. Saya masih berkutat dengan rasa rendah diri, minder, ingin menjadi seperti kawan-kawan saya yang kelihatannya lebih happy menjalani hidupnya.
Saya bukanlah tipe orang lahir baru yang drastis, misalnya dari seorang pemabuk lalu berhenti mabuk. Seorang yang dulunya tidak bertanggung jawab, lalu menjadi lebih bertanggung jawab. Seorang yang dulunya pecandu narkoba, lalu berhenti dari kecanduan dan banyak memberi kesaksian di gereja-gereja. Seorang yang dulunya hancur secara ekonomi karena dicurangi sesama pebisnis, lalu bertobat dan hidupnya dipulihkan, dan ternyata setelah dipulihkan lebih sukses daripada sebelumnya! Saya merasa biasa saja, saya adalah ‘orang baik-baik’. Tetapi ternyata itu semua tidak membuat saya puas. Saya rindu mengalami Tuhan lebih dalam.
Saya mencoba merenungkan kisah hidup saya yang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan salah satu tokoh di dalam Alkitab yang bernama Nikodemus. Siapa itu Nikodemus? Ia adalah salah seorang Farisi yang memiliki reputasi baik, terhormat di mata masyarakat, termasuk golongan kelas atas secara sosial keagamaan.
Namun itu semua tidak serta merta membuatnya pantas untuk melihat Kerajaan Allah, sebab Kerajaan Allah sama sekali tidak terkait dengan reputasi, nama baik, kehormatan, posisi sosial keagamaan seseorang di tengah-tengah masyarakat, melainkan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yakni kebenaran, cinta kasih, pengampunan, damai sejahtera, sukacita oleh Roh Kudus.
Menjadi orang baik, memiliki reputasi yang terhormat di mata masyarakat, pandai dalam hal-hal terkait agama saja tidak cukup. Semua itu tidak memadai untuk menjadi seorang murid Kristus. Menjadi murid Kristus berarti kesediaan untuk terus-menerus diperbarui, baik dalam ranah pemikiran, perasaan, maupun perilaku agar semakin serupa dengan-Nya.
Sama seperti seekor ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah, demikianlah kehidupan murid-murid Kristus yang semula tidak berarti harus menjadi semakin berarti melalui proses pembaruan hidup yang terus-menerus terjadi akibat relasinya dengan Kristus.
Saya menyadari bahwa lahir baru itu tidak hanya saat kita dibaptis atau mengaku percaya, melainkan kesediaan untuk berproses terus-menerus melakukan apa yang sudah Yesus ajarkan. Kesediaan untuk mengampuni diri sendiri, mengampuni orang lain yang sudah melukai hati kita, berdamai dengan luka-luka batin di masa lalu, mengubah orientasi hidup yang hanya mengejar sukses secara materi supaya lebih diakui di mata masyarakat, untuk selanjutnya lebih mau mengerjakan kebaikan-kebaikan kecil sehari-hari, seperti: Mendoakan anggota keluarga, mendoakan orang yang sudah menyakiti kita, mengupayakan agar hidup saya hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok lebih baik dari hari ini, bergantung lebih kepada Tuhan dalam menjalani hidup.
Semua itu merupakan proses lahir baru yang tak pernah berhenti sampai Dia yang empunya hidup memanggilku pulang ke rumah-Nya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: