Sebenarnya ide untuk membuka koperasi sudah lama dipikirkan oleh Siti, anak kepala Desa yang cantiknya melebihi Luna Maya. Si bontot dari dua bersaudara itu tergerak hatinya ketika ia melihat banyak warga di desanya yang jumpalitan membayar hutang kepada para lintah darat untuk menghidupi lahan mereka.
“Untuk beli bibit.. “
“Untuk beli obat, Neng...”
“Kemarin harga jatuh. Panen besar juga gak balik modal... “
Begitulah alasan yang sering ia dengar dari para warga di desanya. Siti pun bergumul dan mengungkapkan keinginannya kepada ayahnya yang kemudian disampaikan kepada para warga dalam rapat desa. Namun, tak sedikit warga yang cemberut dan mencibir ketika mendengar ide Siti. Bagi mereka yang makan saja susah, kenapa juga harus memberatkan diri lagi dengan iuran koperasi setiap bulannya.
Siti tak patah arang, dengan uang tabungannya yang seadanya, ia nekat membuka koperasi di atas tanah ayahnya, tanah dengan lokasi strategis yang sudah sering diincar pengusaha mini market dan selalu ditolak mentah-mentah oleh ayahnya.
“Kalau kamu buka mini market di sini, bisa mati yang punya warung-warung kecil nanti. Wong harganya pasti murah di tempat kamu, siapa yang mau beli di warung nanti,” ujar si Kepala Desa suatu ketika saat menerima si pengusaha yang mau melobinya.
**
Koperasi Lontong (kependekan dari tolong-menolong) pun berdiri, walau hanya dengan jumlah anggota yang bisa dihitung dengan jari. Tak sedikit yang mempertanyakan ide aneh Siti, bahkan mencibirnya, terutama dari keluarganya sendiri.
“Kamu kuliah di luar negeri, bukannya kerja di perusahaan besar.“
“Kamu kurang kerjaan ya, buka koperasi yang pasti rugi? Kamu kan tahu daya beli warga sini.”
Siti bergeming, ia tidak pernah peduli apa yang dikatakan kakak iparnya yang mempertanyakan keputusannya. Baginya, restu ayahnya dan Tuhan sudah lebih dari cukup.
Siti pun berjuang setengah mati memutar uangnya dan uang anggota koperasi lain yang mau membayar iuran setiap bulannya di sana. Setiap malam, dengan telaten ia menghitung jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh dari Koperasi Lontongnya. Memisahkan antara keutungan dan modal, hingga memikirkan program selanjutnya bagi koperasinya agar semakin bisa berguna bagi anggota-anggotanya. Tidak sekalipun Siti mengambil uang untuk gajinya dari keuntungan penjualan barang-barang di sana. Toh baginya, ayahnya sudah cukup kaya untuk bisa memberinya makan tiga kali sehari. Satu-satunya keinginannya adalah agar warganya bisa mendapatkan akses pinjaman dengan bunga yang tidak mencekik atau kembali melanjutkan pendidikannya di luar negeri jika Tuhan mengizinkannya.
Niat baik Siti pun mulai dijawab oleh Sang Khalik. Beberapa donator dari antah-berantah datang dan mendukung niat mulia Siti. Dengan dana segar yang dipercayakan, secara perlahan tapi pasti, Koperasi Lontong pun mulai bergeliat. Dari yang tadinya sendirian, Siti pun kini mulai dibantu beberapa karyawan. Koperasi pun mulai menjual bibit-bibit unggul dengan harga yang disubsidi untuk para anggotanya dan mulai menyediakan fasilitas pinjaman dengan bunga rendah yang memang telah menjadi tujuan Siti sedari awal. Warga Desa yang tadinya mencibir pun kini mulai melirik dan berbondong-bondong mendaftar menjadi anggota di sana dan selalu disambut SIti dengan sumringah dan tangan terbuka. Tidak ada dendam dalam hati Siti untuk orang-orang yang mencibirnya, baginya bisa menjadi berkat bagi orang banyak adalah kemewahan yang tiada duanya.
**
Siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok. Toh, ketika manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan akhirnya. Tuhan yang mencintai Siti mengizinkan Siti untuk melanjutkan pendidikan S2-nya di luar negeri. Ada dilema dalam hati Siti, ada rasa sayang dan kuatir jika ia harus meninggalkan hasil kerja kerasnya yang telah berbuah, tapi ia tidak bisa berbohong kalau ada bagian lain dalam dirinya yang bergolak kencang ketika mengetahui pengajuan beasiswanya diterima.
“Kamu meletakkan kekhawatiran kamu pada apa yang telah dipercayakan dan diberikan Tuhan pada kamu???” Sang ayah berkata ketika Siti meminta nasihatnya.
Siti diam, ia lalu mantap untuk meneruskan pendidikan dan menitipkan Koperasi Lontong miliknya kepada kakaknya. Siti tahu bahwa kakaknya tersebut adalah orang yang bisa dipercaya untuk memegang amanahnya dan juga warga desa.
1..2..3..4..
Empat bulan sudah Koperasi berjalan tanpa Siti. Waktu yang cukup untuk menambah beberapa aturan baru di koperasi. Tidak ada lagi subsidi untuk bibit unggul, limit pinjaman dibuat semakin rendah dengan bunga pinjaman yang mulai naik.
“Harga-harga mulai mahal.”
“Uangnya ga muter mas, banyak anggota yang telat bayar, malah ada yang kabur.”
Begitu ujar kakak Siti ketika banyak anggota koperasi yang mulai mempertanyakan berbagai perubahan aturan di tubuh koperasi, mulai dari pengurangan karyawan hingga makin sedikitnya barang-barang yang dijual. Sesungguhnya, kakak Siti memang bukanlah orang yang tamak, ia tahu bagaimana menjaga kepercayaan yang diberikan, hanya saja….
“Pa, aku mau tas yang ini ya. Pakai uang koperasi aja.”
“Pa, besok liburan kita jalan-jalan ya. Uang koperasi masih ada kan? “
Rasa sayang dan takut adalah dua hal yang berbeda namun menjadi bias ketika berbicara mengenai implementasinya, apalagi jika berbicara dalam hubungan antarsesama. Kakak Siti sangat menyayangi istrinya, ia enggan beradu argumen dengan istrinya dan berharap Tuhan yang Maha Kasih mau memahami bahwa apa yang dilakukannya tidak lebih dari ekspresi kasihnya kepada istrinya seperti apa yang telah diajarkanNya. Alasan gila yang membuat ayahnya geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir mengapa anaknya menjadi layaknya seorang farisi yang melegalkan kesalahannya dengan alasan bahwa ia sedang menjalankan perintahNya.
**
Tidak ada suasana yang berbeda sekembalinya Siti dari kuliah S2nya. Ayahnya menyambut dengan tangan terbuka dan segera memeluk putri semata wayangnya.
“Kakak pulang gak nanti?? Kakak sekarang belajar Teologi ya, Pak??” Ayahnya hanya tersenyum sambil memeluk Siti, lalu menempelkan jarinya ke bibir Siti.
“Kamu istirahat dulu sana,“ ujar ayahnya sambil mengangkat koper besar yang dibawa puterinya tersebut dan menyuruh puterinya masuk ke dalam. Sejujurnya sang ayah tidak tahu harus berkata apa. Sejak kakaknya ditangkap polisi dan mendekam di penjara beberapa bulan lalu, ia membohongi Siti kalau kakaknya sedang belajar Teologi. Ya, tidak bohong-bohong amat memang, toh pada kunjungan pertamanya ke penjara, ia sudah memberikan Alkitab kepada anaknya tersebut agar menjadi bahan bacaannya di penjara sana. Agar ia bisa merenungi kesalahannya dan menjadi orang yang lebih baik tentunya.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: