Setiap perjalanan punya pesannya masing-masing. Setiap pertemuan punya perannya masing-masing.
Momen Lebaran, bagi masyarakat Indonesia, merupakan hajatan terbesar kedua di tahun 2019, setelah pesta demokrasi Pemilu yang telah lancar terlaksana bulan April lalu. Sebagian besar masyarakat Indonesia pulang kampung (atau juga dikenal dengan istilah mudik) untuk berkumpul bersama dengan keluarga besar. Ada pula yang tidak mudik dikarenakan masih harus bekerja, sebagai pekerja sosial maupun; ataupun alasan tidak mudik lainnya.
Lebaran kali ini, saya memilih cara yang agak berbeda dengan ritual libur panjang tahun-tahun sebelumnya. Setelah satu dua hari berkumpul bersama keluarga, saya berkesempatan untuk melanjutkan mudik ke hutan bersama beberapa rekan yang punya waktu luang dan niat yang sama: nge-camp di gunung. Rencana awal kami adalah menginjakkan kaki ke Danau Ranu Kumbolo, Gunung Semeru di Jawa Timur. Memang kami tidak berniat untuk mencapai puncak Mahameru yang tersohor itu karena kami ingin mendaki santai saja. Namun ternyata rencana berubah total karena banyak hal yang tidak memungkinkan.
Sampailah kesepakatan kami untuk memilih gunung yang lebih mudah dicapai dari Semarang dan tidak terlalu padat pendaki, yaitu Gunung Merbabu. Berbagai persiapan kami lakukan, hingga sampai di perjalanan menuju basecamp Gunung Merbabu. Jalanan desa yang rusak cukup parah mengawali petualangan kami berempat. Tapi semuanya itu terbayar dengan segala pemandangan luar biasa, yang juga dibalut udara segar pegunungan. Sesampainya di base camp, ternyata jalur pendakian dari Selo ditutup untuk sementara waktu dalam rangka pemulihan ekosistem.
dokumentasi pribadi
Dengan semua effort yang sudah kami lewati, pasti ada kekecewaan karena harapan mencapai Puncak Merbabu telah kandas. Beruntungnya kami, ternyata ada jalur alternatif lain. Kami tetap bisa nge-camp di Desa Gancik yang masih membuka jalurnya sampai ke perbatasan hutan Puncak Merbabu. Pendakian yang sesungguhnya pun dimulai. Jalur pendakian dari Desa Gancik ini memang lebih dekat ke Puncak Merbabu, namun trek jalannya menanjak tajam dan tidak berkesudahan. Kami saling memberi semangat, beristirahat untuk memulihkan stamina sambil melihat sejauh mana kami sudah berjalan. Hingga akhirnya sampailah kami di perbatasan hutan dan lanjut mendirikan tenda untuk kami bermalam.
Berbagai rasa syukur mulai menghampiri saya. Mulai dari memiliki teman-teman satu tim yang saling dukung satu sama lain selama proses perjalanan, juga keceriaan mereka yang tidak padam meski gagal mencapai puncak Merbabu. Menyadari anugerah lain pula, bahwa hari itu sangat cerah sehingga perjalanan kami lancar dan kami dapat menikmati cantiknya sunset sebagai penutup sore hari itu.
dokumentasi pribadiSelama camp, tidak ada signal yang singgah di ponsel kami. Tidak ada listrik maupun air berlimpah seperti hari-hari biasa kami saat hidup di kota. Kenyamanan tempat tinggal pun hanya sekadar tenda sederhana beralaskan matras yang menjadi alas tidur kami. Itu semua membuat kami berinteraksi dan bekerja sama lebih daripada biasanya. Kehidupan kami selama 3 hari 2 malam di atas gunung yang singkat itu, memberikan pelajaran yang sungguh tidak singkat untuk menghadapi hidup dengan lebih baik lagi. Aktivitas kami hanya berbincang, berbagi cerita, bermain kartu, memasak dan berjalan-jalan menikmati indahnya alam.
Hal yang paling saya tunggu saat singgah hidup di gunung adalah datangnya pekat malam yang dipenuhi bintang. Mungkin hal ini sangat sederhana di alam semesta ini, semua terasa biasa saja. Siang berganti malam dan matahari berganti bulan. Saat terang, kita merasa bisa melihat segala sesuatu dengan jelas dan merasa semuanya baik-baik saja. Ketika malam datang, semuanya menjadi gelap tanpa cahaya. Namun saat itulah; dan hanya di gunung tanpa polusi cahaya dari bumi; bintang nampak begitu indah dan cantik.
Hal ini membuat saya merenung dan belajar bahwa gelap tidak selalu buruk seperti stereotype kebanyakan orang selama ini. Bagi saya, gelap memberikan pengalaman yang luar biasa indah. Darinya, saya mampu menikmati sinar bintang lewat pekatnya malam. Memandangi langit gulita yang bertabur ribuan bahkan mungkin jutaan bintang di atas sana.
dokumentasi pribadi
Mungkin sama seperti siang dalam kehidupan kita, saat semuanya tampak baik-baik saja. Dan ketika malam yang gelap datang, kita merasa takut karna kita hanya melihat ke depan, dimana tak ada cahaya yang dapat terlihat oleh mata kita. Namun ternyata saat kita melihat ke arah lain, ribuan bintang di atas sana mengembangkan senyum lewat pancaran sinarnya.
Malam berlalu dan berganti dengan fajar. Suara kicauan burung membangunkan kami untuk kembali takjub atas kekayaan semesta raya. Pagi itu sangat cerah. Sinar mentari kembali menyapa kami dengan lautan awan yang tak henti-hentinya membuat kami berdecak bahkan berteriak kagum. Berjuta rasa ingin kutuliskan. Beribu kata ingin kucurahkan. Namun yang ada hanya senyum bahagia dan rasa syukur yang membuncah tak terkatakan.
Tuhan memang luar biasa. Lewat semesta Ia bercerita. Lewat segala kejadian, Ia menyatakan penyertaan-Nya. Rasanya tangan Tuhan tak lepas merangkulku, hingga aku mampu memahami bahwa kuasa-Nya terlebih besar. Rasa takjub ini bukan untuk menjadi sombong atas pencapaian yang telah dinikmati. Rasa takjub ini diberi untuk mengerti bahwa setiap hal punya sarat maknanya masing-masing. Seperti bintang yang bersinar dalam pekatnya malam, seperti awan yang tampak menutupi mentari namun menghantarkannya menuju fajar pagi.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: