Manusia tidak bisa menerima atau menyesuaikan diri terhadap sebuah lingkungan yang sama sekali tidak ia inginkan atau kenali. Tapi, apakah manusia harus terus-menerus bersikap demikian?
Sebagian besar di antara kita menginginkan bisa berada di tempat yang kita inginkan atau kita impikan. Sebagai contoh, mahasiswa yang baru saja wisuda pasti ingin bisa bekerja di tempat yang dia inginkan sebelumnya; atau juga seorang pelajar yang saat ini duduk di kelas 3 SMA yang (tentunya) sudah memiliki rencana untuk bisa masuk dan lolos ke perguruan tinggi favorit mereka—baik negeri maupun swasta sesuai dengan bakat dan minatnya. Semua orang berhak menginginkan berada di posisi yang mereka mau, namun sadarkah kita jika terkadang perencanaan kita tersebut (mungkin) sangat bertolak belakang dengan rencana Tuhan? Bisa jadi Tuhan ingin menempatkan kita di tempat yang sama sekali tidak kita inginkan atau kita bayangkan sebelumnya, seperti yang saya alami tahun ini.
Pada awal semester dua kelas 3 SMA lalu, saya mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti tes seleksi untuk memasuki program studi (prodi) yang saya inginkan, yaitu teologi. Saya mengikuti seleksi tersebut pada akhir bulan Januari. Melalui usaha yang sudah saya, upayakan rupanya Tuhan mempunyai rencana lain: saya tidak lolos dalam seleksi tersebut.
Apakah saya sedih dan putus asa pada saat itu?
Pasti.
Saya merasa seakan semua jalan—agar saya keluar dari keadaan itu—telah tertutup.
Dua bulan kemudian, Ibu menyarankan saya untuk mengikuti tes seleksi UPH Beasiswa Teacher. Dari situ, saya ingin bangkit dari keterpurukan saya dan mulai belajar agar dapat mengikuti tes itu dengan baik. Tes yang berlangsung pada akhir April itu terdiri dari tiga tahap seleksi; yaitu tes tertulis, tes wawancara, dan tes kesehatan. Puji Tuhan, pada saat itu saya berhasil lolos di tahap tes tertulis. Setelah itu, saya mempersiapkan diri untuk mengikuti tes wawancara. Setelah tes tersebut, saya berkata dalam hati kepada Tuhan ketika pulang dari kampus itu, "Ya Tuhan, saya sudah melakukan apa yang menjadi kewajiban saya sesuai kemampuan yang saya miliki. Itu semua adalah berkat dari-Mu, sekarang aku menyerahkan semuanya ke dalam tangan-Mu. Biarlah Engkau yang bekerja atas semua usahaku." Setelah itu, saya tinggal menunggu pengumuman tes wawancara—yang katanya bisa sampai dua bulan. Tepat sekitar awal Juni, hasil tes tersebut diumumkan, dan (lagi-lagi) Tuhan berkehendak lain: saya tidak lolos.
Apakah pada saat itu saya down?
Tentu saja.
Namanya juga manusia.
Setelah mengetahui pengumuman tersebut, saya memutusan untuk gap year (jeda setahun). Maksudnya, agar saya dapat mengulang kedua tes yang-gagal-itu lagi tahun depan. Awalnya, orang tua saya tidak menyetujui keputusan ini karena—katanya—jika saya bekerja, maka untuk seterusnya saya akan terlalu fokus mencari uang dan akhirnya lupa untuk melanjutkan kuliah—yang sesungguhnya menjadi prioritas saya. Tetapi saya berusaha meyakinkan orang tua saya agar saya tetap jeda untuk setahun ini dan mengulang kedua tes masuk tersebut tahun depan.
Dalam masa gap year ini, saya tidak mungkin hanya menganggur di rumah saja, sehingga mau tidak mau saya harus bekerja. Sekarang, saya bekerja di tempat percetakan banner. Tentu ini adalah sebuah hal yang tidak saya inginkan, karena—sesuai dengan perkataan saya di awal—yang saya inginkan adalah langsung kuliah setelah lulus SMA. Tetapi pada kenyataannya saya malah bekerja—yang justru tidak pernah saya pikirkan ketika masih bersekolah. Dengan bekerja di tempat yang bisa mengganggu kesehatan (karena setiap harinya secara tidak sengaja harus mengirup tinta yang keluar ketika mencetak banner), saya berpikir, "Kenapa sih, saya harus bekerja di tempat seperti ini?" Ditambah lagi, karyawan-karyawan yang lain selalu berkata-kata kotor—dan saya tidak begitu menyukainya. Sekali lagi, saya sama sekali tidak menginginkan berada di tempat seperti ini. Tapi semuanya itu tetap saya jalani agar ada pelajaran maupun hikmah yang dapat saya ambil dari setiap peristiwa yang terjadi. Pelan-tapi-pasti, saya pun bisa mengendalikan kesabaran dari tempat yang saya tidak inginkan ini, sekaligus memahami tantangan dalam mencari uang—meskipun hasil kerja selama ini hanya untuk pegangan saya jika membutuhkan sesuatu (dalam arti tidak bergantung pada orang tua).
Inilah yang ada di dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Kadang-kadang, sebagian dari kita menjadi kecewa jika kita berada di tempat yang tidak diinginkan. Namun, yuk, coba kita renungkan dalam hati masing-masing,
Apa yang Tuhan kehendaki, sehingga kita bisa berada di titik ini sekarang?
Apa hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik—dari tempat yang tidak kita inginkan itu—untuk kehidupan di kemudian hari
Kita perlu belajar memahami kehendak-Nya dan bersyukur karena Tuhan masih memelihara kehidupan kita, meskipun saat ini Dia menempatkan kita dalam situasi yang—kita anggap—tempat yang tidak diinginkan. Menjadi kecewa, putus asa, maupun marah itu manusiawi; tetapi janganlah kita berlarut-larut dalam situasi tersebut. Lama-kelamaan, hal itu akan menurunkan semangat kita dalam menjalani hidup. Terakhir (namun yang paling penting), kita harus mengimani untuk berharap senantiasa kepada Tuhan Allah Yang maharahim.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: