Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.
Apa yang timbul di benak kita ketika kita mendengar kata “Natal”?
Menurut Wikipedia, Natal adalah adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahun oleh umat Kristiani pada tanggal 25 Desember untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Natal, sebuah perayaan menyambut kedatangan Sang Juruselamat umat manusia. Tidak hanya itu, Natal selalu identik dengan perayaan yang dipenuhi tradisi, misalnya saja di daerah asal saya, Sulawesi Utara. Gegap-gempita Natal sudah terasa bahkan jauh sebelum Desember. Agenda memasak kue-kue, memasang pohon terang, dan memutar lagu-lagu Natal sudah dilakukan sejak bulan-bulan yang berakhiran "-ber”. Pada intinya, jauh sebelum bulan Desember, keluarga saya (dan mungkin di sebagian besar keluarga di Sulawesi Utara) disibukkan dengan berbagai persiapan menjelang Natal.
Bagi kita yang aktif di dalam pelayanan juga telah terlibat selama berbulan-bulan untuk mempersiapkan Natal (entah sebagai panitia maupun pelayan ibadah)—baik di gereja, kampus/sekolah, tempat kerja, maupun di organisasi-organisasi Kristiani. Rapat di sana-sini, berbelanja perlengkapan Natal untuk dekorasi, mendekorasi setiap sudut ruangan, menghitung anggaran, dan sibuk latihan musik, drama, atau tarian untuk ibadah-ibadah Natal yang akan kita lalui.... wow, sibuk sekali, kan?
Pohon terang, Mistletoe, dan krans natal sering kali sudah menghiasi rumah kita, gereja, pusat-pusat perbelanjaan, dan destinasi wisata. Kue-kue natal juga biasanya sudah tersaji bagi kita untuk kita santap bersama keluarga atau teman teman. All I Want For Christmas, Little Drummer Boy, It's the Most Wonderful Time, Last Christmas, It's Beginning To Look Like Christmas, dan lagu-lagu Natal lainnya sudah menjadi playlist wajib di gadget kita untuk menjadi teman seperjalanan di bulan Desember ini.
Di samping keriwehan di atas, kita sendiri juga memiliki banyak agenda untuk berkumpul bersama sanak saudara maupun teman-teman. Undangan-undangan untuk menghadiri Christmas dinner, Christmas lunch, dan acara lainnya sudah memenuhi kalender di bulan Desember. Tak hanya itu, biasanya kita juga berharap mendapatkan kado terbaik di hari Natal setiap tahunnya. Acap kali, pusat perbelanjaan selalu menjadi destinasi kita untuk membeli barang-barang sebagai “kado” Natal setiap tahunnya (walaupun sejak ada marketplace di dunia maya, kita pun beralih ke sana). Punya baju baru, handphone baru, atau sepatu baru, selalu jadi wishlist kita setiap Natal.
Hah... Natal dan Desember menjadi sesuatu yang selalu kita rindukan setiap tahunnya. Natal selalu menjadi momen untuk liburan, momen bersenang-senang bersama keluarga dan teman, momen istirahat dan relaksasi setelah satu tahun bekerja keras, momen berbelanja dan memanfaatkan promo-promo diskon yang ditawarkan. Tak hanya dirindukan oleh umat Kristen, uniknya, Natal juga dirindukan oleh setiap orang di dunia ini—seolah-olah keyakinan apa pun mengharapkan hari tersebut segera tiba.
Sebagai umat Kristen, sudah berapa kali kita merayakan Natal di dalam kehidupan kita? Mungkin sepanjang kita hidup, atau sepanjang kita menjadi orang Kristen, hampir setiap tahun kita merayakannya. Tidak salah jika kita larut di dalam sukacita Natal. tetapi sudah berapa kali merayakan Natal dengan memaknai esensi Natal itu sendiri? Sebetulnya apa yang sedang kita rayakan di dalam Natal?
Miris ketika saya menyadari bahwa saya (dan mungkin juga Ignite people) merayakan Natal dengan makna yang sangat sempit. Tanpa disadari, kita mempersempit esensi Natal karena kita terlalu fokus dengan kebutuhan sehari-hari. Dengan fakta-fakta yang telah dituliskan, sering kali Natal menjadi sesuatu yang tidak bermakna apa-apa bagi kita. Di dalam sibuknya persiapan perayaan Natal, kesibukan menghadiri acara-acara Natal, dorongan untuk berbelanja dan memanjakan diri, kita mencuri makna Natal dan menggantinya dengan gemerlapnya acara Natal, barang-barang yang dibelanjakan, maupun waktu liburan dan refreshing yang dilakukan. Ironis sekali ketika kita merayakan Natal tanpa memaknai esensinya secara mendalam. Kita mencuri makna Natal yang sesungguhnya dan menggantinya dengan apa yang dianggap baik bagi diri sendiri.
Terkadang, kita menjadikan Yesus yang lahir sebagai pemeran figuran dalam Natal yang kita rayakan.
Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, di padang rumput yang hijau dan luas, para gembala, menerima makna sejati dari Natal:
Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. —Lukas 2:10-11
Inilah makna sejati Natal yang sering kali kita lupakan: Yesus Kristsu, yang telah lahir bagi setiap kita, adalah Pribadi yang mengosongkan diri-Nya untuk datang ke dunia menjadi sama dengan kita, manusia yang berdosa, demi menyelamatkan kita dari kematian kekal. DIA mau menjadi sama dengan manusia, makhluk yang rapuh dan menderita sengsara bahkan hingga kematian-Nya di kayu salib. DIA mau berproses bersama-sama dengan kita dan turut merasakan hal yang sama karena DIA adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, termasuk melalui kelahiran-Nya yang ajaib. Itulah makna sejati Natal yang seringkali kita lewati begitu saja.
Hari ini telah lahir bagimu...
Iya, bagimu, bagi setiap kita yang percaya pada Yesus Kristus, Sang Juru selamat dunia. DIA lahir bagi kita, mau berjuang, dan berproses bersama kita. DIA tidak meninggalkan kita dalam keberdosaan, tetapi DIA menjadi sama dengan kita supaya kita tahu bahwa Tuhan begitu mengasihi kita ("Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini... (Yohanes 3 :16)). Kelahiran-Nya memberikan pengharapan bagi kita yang rapuh, berdosa, dan yang putus asa karena kegagalan yang dialami. Sekalipun kita telah berdosa dan DIA membenci dosa, Allah tetap mengasihi kita sehingga DIA berinisiatif mengulurkan tangan-Nya untuk membawa kita mendekat kepada-Nya. Agar mencapai tujuan keselamatan ini, Allah berinkarnasi dalam diri Yesus Kristus dan mengosongkan diri-Nya sendiri: dari Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang diciptakan-Nya, menjadi Pribadi yang mengalami penghinaan terbesar dan menderita menggantikan kita, yang seharusnya menanggung hukuman kekal.
Lantas, apa yang sejatinya kita nantikan di Natal? Barang-barang baru? Kebersamaan bersama teman-teman dan keluarga? Perayaan-perayaan yang penuh dengan sukacita dan gemerlap?
Sering kali, kita hanya berfokus pada diri sendiri. Kita melupakan makna sejati, yaitu mengenai Allah yang rela lahir ke dunia, dan mau menjadi sama dengan kita. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita hanya membutuhkan Juru selamat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Kita lupa bahwa Juru selamat datang untuk kita. DIA lahir bagimu, bagi setiap kita. DIA datang menjadi sama dengan kita manusia, merasakan betul apa yang kita juga rasakan selama di dunia ini, dan tentunya, misi besar yang DIA bawa adalah menebus saya dan kita dari dosa. Dengan kasih, DIA rela mengantikan setiap dosa kita, sehingga kita beroleh hidup kekal bersama-Nya.
Ah, iya. Natal tidak pernah lepas dari Paskah, karena keduanya merupakan skenario yang berkesinambungan. Natal adalah titik awal Allah mengerjakan misinya bagi kita. Natal merupakan sebuah kisah awal penebusan umat manusia, yang memang sudah dirancangkan oleh-Nya—bahkan sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa—agar kita yang percaya pada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3 :16). Marilah sejenak kemudian kita menghayati satu lagu pujian ini, yang juga disaksikan bersama Nabi Yesaya dalam Yesaya 9:5:
Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.
Allah adalah Raja di atas segala raja, tetapi DIA mengosongkan diri-Nya demi menjadi seorang bayi manusia, yang rapuh dan menderita. Allah seperti inilah yang lahir bagi kita. Mari kita bersama-sama mengembalikan makna Natal pada tempatnya. Marilah kita mengembalikan DIA kembali ke palungan hati kita, dan bukannya kita isi palungan itu dengan kepentingan dan kemauan diri sendiri. Mari kita sambut DIA. Mari kita bersiap dan berbenah, mempersiapkan palungan hati, dan kain lampin diri untuk Sang Bayi mungil yang lahir dan sedang menggigil karna dinginnya dunia yang tidak menyambut-Nya.
Selamat Natal,
Selamat menjadi palungan dan lampin yang hangat
untuk Sang Bayi yang mau lahir bagimu.
Soli Deo Gloria.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: