Lion King: Who Am I?

Best Regards, Live Through This, 18 July 2019
You can only be you when you embrace every single shattered piece of your soul

Lion King: Who Am I?

“Who are you?” tanya Rafiki, si babun kepada Simba.

“I am nobody,” jawab Simba lemas.

Bukankah kita sering merasa seperti Simba? Merasa tidak memiliki apa-apa, dan siapa-siapa; merasa bahwa saya bukanlah seseorang yang berharga; merasa bahwa hidup ini tidak bermakna, hanya sebuah garis yang tidak akan kemana-mana. Perasaan frustasi terlalu berkuasa sampai-sampai kita buta dan tak mampu melihat secercah pun cahaya. Bahkan ketika ditanya: siapa kamu? “Aku bukan siapa-siapa” Perasaan itu pasti sangat memberatkan bukan, kawan? 

Teruntuk kamu yang hidup dalam perasaan itu sekarang, jangan lupakan jawaban si Rafiki kepada Simba, “Even a nobody most be a somebody”. Kamu pasti adalah seseorang yang berharga. Kamu adalah pejuang! Masalah utamanya adalah kita sendiri tidak mengenal diri kita secara mendalam. Kita tidak melihat apa sisi berharga kita; apa yang berarti dalam diri kita. Kita tidak menemukan berlian itu dalam jiwa kita karena kita buta akan “siapa aku?”

“Siapakah aku?”. Pertanyaan eksistensial ini tidak jarang dianggap remeh. Kadang kita merasa sudah sangat mengenal diri sendiri sampai-sampai kita lupa untuk mereflksikan kehidupan.  Atau, kita hidup di dunia yang terlalu sibuk bekerja sampai kita tidak punya waktu untuk berdiam dan bertanya pada diri sendiri: “Siapa aku dalam kedalaman eksistensiku?” Kita mungkin sengaja melupakan dan membiarkan pertanyaan itu membusuk tidak terjawab sementara kita terus melanjutkan kehidupan dan pekerjaan seolah tidak ada pergumulan. Sayangnya, pertanyaan itu tidak diam. Jiwa kita tergerogoti dengan pertanyaan yang tidak selesai.

Image on Pixabay

Pengenalan akan diri kita bisa dimulai dengan mengenal luka-luka kita. Ada dua jenis respon orang yang terluka. Pertama adalah orang yang memendam luka. Ia tidak (mau) mengerti arti ‘rasa sakit’. Justru dengan cara seperti ini, ia kehilangan daya berempati. Apa efeknya? Efeknya adalah orang seperti ini justru menjadi orang yang berbicara sesukanya dan tidak peduli apakah ia menyakiti orang lain atau tidak.

Tipe kedua adalah dia yang terus meratapi lukanya tanpa berbuat apa-apa. Ia tenggelam dalam rasa bersalah dan rasa tidak mampu akhirnya tidak ingin mempercayai siapapun. Kedua orang ini adalah orang yang terjebak dalam jurang manipulatif tanpa rasa percaya. 

Kamu yang mana?

Image on Pixabay

Luka itu kadang kita letakkan di pojokan atau kita ratapi terus-terusan. Sama saja; ia hanya kita biarkan. Membusuk dalam rajutan ingatan. ‘Busuknya’ luka itu meracuni kehidupan kita yang terasa biasa-biasa saja atau bahkan terasa spesial. Itu makanya kita pernah merasa hidup kita seolah nge-blur. Hidup kita terasa kabur bukan karena kita salah arah, tetapi kita kehilangan lensa utama kita, yaitu pengenalan akan diri. Ingat pada waktu Rafiki membawa Simba untuk ‘menemui ayahnya’? Pada titik itulah Simba sadar siapa dirinya. Simba merangkul dirinya yang selama ini ia hindari; seorang raja. Ia melihat jiwa ayahnya dalam dirinya. Saat itulah Simba menerima seluruh kejadian antara dia dan ayahnya; perasaan bersalah atas kematian sang ayah dan kenyataan bahwa dia adalah raja yang sah. Penerimaan Simba atas keutuhan dirinyalah yang membuatnya mampu bergerak melakukan sesuatu yang bermakna.

Seberapa sering kita justru menghindari masa lalu yang menyakitkan? Seberapa keras kita mencoba melupakan peristiwa yang mengenaskan? Menyingkirkan kenangan yang tidak mengenakkan? Seberapa kasarnya kita terhadap jiwa kita dengan mengalihkan perhatian dari kekelaman itu? Ayolah kawan. Kau dan aku pasti tahu luka itu masih ada. Dia masih di sana menunggu kau hampiri, kau peluk dan kau akui keberadaannya.

You can only be you when you embrace every single shattered piece of your soul.

Image on Pixabay

Kita tidak akan pernah menang di atas peristiwa yang menyakitkan. Kenangan itu, luka itu bukanlah lawan. Ia adalah kawan yang membentuk kita menjadi diri kita yang utuh, hanya jika kita ingin menerimanya dan melihat betapa luka itu membentuk keutuhan pribadi kita. Di titik ini, kamu mungkin menolak dan bilang dalam hati: “tidak semudah itu!”. Memang, siapa yang bilang proses ini akan mudah? Proses ini bisa jadi proses paling menyakitkan dalam hidupmu. Seorang teman saya berkata “lebih baik sakit karena diobati sekarang daripada tidak terlalu sakit namun lukanya bernanah dan lebih sulit disembuhkan”.

Ketika kita menolak peristiwa yang menyakitkan itu, mungkin kita merasa sedikit membaik. Ya, rasa nyaman itu hanya sementara sampai akhirnya kita menjadi tidak peka akan kehadiran luka itu. Luka yang lama tidak diselesaikan itu menjadi duri dalam daging. Beberapa riset pastoral menunjukkan bahwa beberapa pasien mungkin merasa bahwa pikiran mereka tidak lagi terpusat pada luka itu. Namun, tubuh justru mengingatnya. Memori otot dalam tubuh kita justru mencerna luka tersebut dan itulah alasan mengapa beberapa orang merasa pegal dan tegang di saat semua pekerjaan selesai, bangun dengan tidak bersemangat atau merasa payah dalam menyelesaikan suatu hal. 

Image by Allie Smith on Unsplash

Ingat? Masalah utamanya adalah kita mengesampingkan luka kita dan tidak lagi secara sadar bertanya: “Siapa aku?” Masalahnya justru ketika kita enggan merangkul masa kelam kita, mengakui keberadaan luka di jiwa kita. Bukankah menjadi seorang yang utuh berarti menerima setiap segi dalam diri kita? Bahkan ketika ia adalah potongan paling buruk dalam jiwa kita? Bukankah ‘si rusak’ itu adalah bagian dari keutuhan diri kita?

Peluklah dirimu dengan segala kelemahanmu. Bahkan ketika kamu merasa bahwa segalanya tidak dapat terucapkan, ingatlah:

“Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” (Roma 8:26)

Kesuraman kita selalu ada dalam lingkaran kasih Tuhan. Roh yang menguatkan Yesus untuk menerima cawan penderitaan sebagai bagian dari dirinya adalah Roh yang sama yang terus menolong kita dalam kelemahan. Layaknya Paulus berkata kepada jemaat di Roma, tulisan Paulus pun masih tertuju buat kita. Kita mungkin bingung bagaimana lagi harus berdoa ketika doa kita seolah tidak dijawab untuk waktu yang lama. Kebingungan yang kita rasakan. Kebuntuan  yang kita alami adalah proses yang membawa kita dalam terang cahaya-Nya.

Tidak ada rasa sakit yang terlalu berat, tidak ada luka yang terlalu dalam yang tidak bisa dijamah oleh Sang Roh. Roh itu selalu hadir bukan untuk memerintah kita menjadi pribadi tertentu 'yang bukan kita'. Sang Roh itu justru menemani kita dalam luka, menemani kita dalam proses yang menyakitkan ketika kita harus merangkul luka kita. Ia di sana, di samping kita. Kawan, ingatlah betapa Roh Kudus menyertai kita dalam setiap langkah yang kita ambil. Mungkin kita tidak menyadarinya, tetapi Ia Sang Maha Setia terus merangkul kita dalam kasih-Nya. 

Hakuna Matata! 


In collaboration with Adi Nugroho

LATEST POST

 

Hari ini, 10 November, adalah Hari Pahlawan. Sebagai orang Kristen kita juga diajak untuk meneruskan...
by Christo Antusias Davarto Siahaan | 10 Nov 2024

Akhir Oktober biasanya identik dengan satu event, yaitu Halloween. Namun, tidak bagi saya. Bagi saya...
by Immanuel Elson | 31 Oct 2024

Cerita Cinta Kasih Tuhan (CCKT) Part 2 Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti talkshow&n...
by Kartika Setyanie | 28 Oct 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER