Merelakan yang tak selalu mampu dijangkau raga, menerima bahwa tak selamanya kita harus merengkuh banyak hal dalam satu dekapan, juga memahami bahwa tak harus banyak pencapaian kita miliki
Hidup di era terkini nampaknya seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi. Di satu sisi menjadi jembatan untuk mengembalikan relasi yang terpisah jarak dan tentu mempermudah dalam menjangkau banyak hal di genggaman tangan. Namun di lain sisi justru membuat lelah dan menyakiti mental beberapa orang, saya salah satunya.
Suatu waktu, sempat saya mencicipi sebuah pekerjaan yang menghasilkan sebuah lingkungan toxic bagi saya. Dalam dua bulan pertama di kantor hampir setiap harinya saya menerima ujaran yang menjatuhkan, kata-kata kasar, juga beberapa bentuk ungkapan yang meremehkan yang saya terima dari atasan saya. Hasilnya, saya mengalami trauma cukup parah. Merasa cemas dan khawatir di sepanjang waktu, gemetaran mendengar notifikasi handphone berbunyi, juga banyak mengurung diri dan menjauhkan diri dari sosialisasi dengan orang lain.
Di saat yang bersamaan pula, saya kehilangan pertemanan karena ekspektasi saya yang tinggi, yakni berharap orang sekitar saya memahami apa yang saya rasakan. Namun di satu sisi saya merasa bahwa mereka pun memiliki keterbatasan dalam memahami persoalan saya. Saat itu saya merasakan pilu yang mendalam, merasa ditinggalkan, dan sendirian. Demikian pula peran media sosial yang justru membuat saya runyam. Media sosial yang sarat akan pencitraan, membuat saya semakin merasa kecil karena merasa orang lain sebegitu hebatnya hidup dalam pencapaian yang ditampilkan dalam akun media sosial mereka, sementara saya? Masih bernafas saja sudah bersyukur.
Perlahan-lahan, saya mulai tenggelam dan kehilangan diri. Namun dalam kehilangan saya, nampaknya Allah tetap berbelas kasih untuk memberi uluran tangan melalui beberapa orang yang hadir dalam ketidaksengajaan. Banyak sekali hati yang tergerak tanpa menghakimi justru memberi rasa aman dan kehangatan juga tak henti-hentinya mendorong maju. Sejauh saya melangkah sekalipun tetap diselingi kegagalan berkali-kali, saya terus mengingat dan mendoakan mereka-mereka yang murah hati mau peduli untuk terlibat dalam pergumulan saya.
Kisah saya mungkin hanya secuplik penggalan kisah kejatuhan dari sekian banyak orang yang mengalaminya. Sama seperti orang-orang yang hadir untuk menolong saya, saya memiliki sudut pandang baru. Melihat bahwa tidak ada sesuatu yang terlalu sederhana untuk dipedulikan juga tidak ada sesuatu yang terlalu besar untuk dihadapi.
Fisik yang kasat mata selalu mudah untuk mendapat perhatian dan benar-benar dijaga kesehatannya. Namun ada yang tak kasat mata yang ternyata tak kalah penting pula untuk dijaga kesehatannya: jiwa. Seringkali kita menyepelekan apa yang tersembunyi di balik jiwa kita, bahkan nyaris terabaikan keberadaannya. Mengabaikan bagaimana jiwa kita sudah banyak melakukan peranan penting dalam perjuangan hidup setiap harinya, juga bagaimana jiwa kita sudah banyak bertahan dalam kejatuhan yang kita alami.
Image by Jack Sharp on Unsplash
Menghargai jerih-lelah diri karena sudah melangkah sampai sejauh ini memang tidak mudah, selalu ada harga yang harus dibayar dan dikorbankan. Merelakan yang tak selalu mampu dijangkau raga, menerima bahwa tak selamanya kita harus merengkuh banyak hal dalam satu dekapan, juga memahami bahwa tak harus banyak pencapaian kita miliki. Seringkali kita merasa bahwa merelakan dan menerima bahwa kenyataan tak sesuai rencana merupakan hal buruk. Namun nyatanya kita harus benar-benar merelakan bahkan mengorbankan kepunyaan kita untuk memiliki ruang dalam menerima hal-hal baru yang menanti.
Kalau pemberian bisa tidak abadi demikian pula dengan kehilangan, ia tak akan tinggal tetap dalam jangka waktu yang abadi. Pekerjaan, relasi, perjumpaan mungkin akan luntur dalam hitungan waktu. Namun satu yang kekal yakni mengimani bahwa pemeliharaan demi pemeliharaan, yang sederhana namun konsisten, tetap kita dapati atas dasar kemurahan hati Bapa. Banyak hal berganti dan berubah namun kasih Allah tetap tinggal dan tak jauh untuk dijangkau. Nampak klise dan sudah cukup sering diperdengarkan, tapi bagaimana kalau memang hanya karena kemurahanNya saja kita masih dilayakkan untuk mendapat banyak kesempatan menjelajahi hidup setiap harinya?
Untuk setiap keriuhan yang tersimpan di kepala, tak apa memberi diri sendiri waktu untuk memilih dan memilah hal-hal yang menyegarkan jiwa. Merelakan pertemanan karena tak lagi sejalan, keluar dari pekerjaan yang membawa pengaruh buruk bagi jiwa, memutuskan relasi dengan pasangan karena terlalu banyak hal yang tidak mampu dikompromikan, bahkan tak apa juga untuk memilih menolak banyak ajakan yang menguras energi. Tidak apa, sungguh. Jiwa kita berharga karena kita yang menentukan arah untuk melangkah. Namun tetap ingat, bahwa untuk setiap kerelaan hati menerima jangan lupa pula untuk tetap bersedia berjalan dan bertumbuh, karena hidup senantiasa menawarkan kejutan baru setiap hari dan tentu dengan Sang Empunya hidup yang menjamin bahwa kelak hari berat akan menjadi manis dengan tangan kuat yang senantiasa menopang.
Mengutip lagu Kunto Aji yang berjudul “Rehat”
Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan takkan terjadi
Kita coba lagi untuk lain hari
Kita coba lagi
Yang ditunggu
Yang diharap
Biarkanlah semesta bekerja untukmu
Image by Daria Nepriakhina on Unsplash
Dalam setiap rehat dan jeda, sediakan ruang untuk mengisi energi yang terkuras untuk tidak berhenti mencoba di lain waktu karena selalu tersedia kesempatan bagi yang rindu bertumbuh. Tenang, yang kita takutkan belum tentu terjadi.
Untuk setiap jiwa yang sedang memperjuangkan hidup, jangan lengah! Hidup tak selalu jadi musuh kita, ia senantiasa menyimpan yang terbaik bagi kita yang tidak pernah berhenti. Kita berharga karena terus dikelilingi orang-orang yang tak henti-hentinya memberi tanda kasih yang tersirat dalam situasi hidup.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: