Karena kehadiran Sang Bayi selayaknya dirayakan bersama mereka yang "kalah".
Bulan November-Desember mungkin adalah bulan paling sibuk bagi aktivis gereja. Memang ada dua hari raya besar gerejawi yang dirayakan selang setengah tahunan : Natal dan Paska, tetapi Natal selalu lebih terkesan sibuk.
Kalau kita aktif di yayasan atau komisi, minimal masing - masing memiliki Natalannya sendiri, lalu masih ada Natal aktivis.Itu belum jika kita terlibat ambil bagian dalam acara puncak tanggal 24/25. Sebagai pemain musik? Latihannya sudah pasti intens sekali. Semakin dekat hari-H acara, minimal seminggu penuh Iginite People bisa ke gereja terus sampai larut malam.
Sebagai panitia? Jangan ditanya. Panitia yang kerja di belakang layar ini seringkali tidak "seindah" dekorasi dan acaranya. Adu mulut hingga bapak/ibu pendeta harus turun tangan mendamaikan, kadang tidak terelakkan lagi. Atau minimal selesai Natal, panitia tidak lagi saling menyapa karena sama-sama saling tersakiti.
Natalan, Buat Siapa?
Natal-natal terakhir saya sekitar tiga tahunan terasa sangat membosankan. Saya tidak lagi fokus pada kotbah pendeta karena merasa sudah tahu isinya. Saya tidak merasa perlu datang awal untuk menikmati aksi rekan - rekan yang jadi pemain drama atau orkestra. Lagu-lagunya pun saya hapal. Fokus saya hanya bagaimana supaya saya dapat tempat parkir yang nyaman supaya mudah keluar.
'Kemeriahan' itu bagi saya justru memberi saya sebuah pertanyaan setiap kali mendekati bulan Desember:
"Masak sih Natal harus selalu seperti ini? Memangnya Tuhan minta gini?"
Pertanyaan saya mungkin terkesan sinis - tetapi biarkan saya mempertegas satu hal :
Saya yakin Ignite People semua ingin memberi yang terbaik bagi Tuhan.
Lagu - lagu Natal yang dinyanyikan dengan aransemen yang sedemikian keren dan megah, drama Natal yang dirancang penuh emosional dengan penghayatan peran yang serius, dekorasi yang mungkin dananya tidak sedikit, dan jerih-payah tenaga, emosi, serta marah-marah setiap panitia, semuanya pasti dengan keinginan supaya Sang Bayi tertawa senang di palunganNya yang sederhana.
Oh ya, itu dia kata kunci yang saya cari.
"Sederhana"
Natal 2020 tidaklah se-menghabiskan energi seperti sebelum-sebelumnya. Jauh dari kesan kemrungsung, mungkin gesekan antar panitia dan penatalayan tidak se-intens natal sebelum - sebelumnya; paling yang harus begadang di gereja ya petugas rekaman untuk menyelesaikan dan memeriksa kualitas rekaman untuk jemaat 'nikmati' bersama keluarga tanggal 24/25 Desember.
Tetapi selebihnya - tidak ada gladi resik natal yang harus selesai larut malam di saat besoknya harus bangun pagi kembali melanjutkan aktivitas dengan mata yang setengah ngantuk karena kurang istirahat.
Ignite People bisa tidur tenang dan mungkin menghabiskan cukup sehari latihan dan sehari rekaman untuk ibadah Natal. Tidak ada juga paduan suara atau orkestra dalam jumlah besar karena - ya, kerumunan. Drama Natal pun mungkin seadanya saja.
Mungkin hati kecil kita berpikir:
"Mengapa Tuhan terkesan "kalah" dengan Virus COVID19? Sampai-sampai hari kelahiranNya saja tidak bisa diperingati?"
Tunggu dulu.
Di kisah Natal yang dikotbahkan, diulang-ulang, bertahun-tahun lamanya, bukankah sang Tuhan ini justru memilih ada dalam posisi "kalah" ?
Lahir dari seorang wanita muda - bukan keluarga bangsawan, dan bahkan "Tuhan" ini tidak pakai menunggu anak dara ini diperistri dulu. Lahir pun di tempat yang sederhana, yang mendapat VIP seat untuk menyambutnya justru gembala - gembala di padang. Orang Majus justru baru belakangan datang.
Kabar sukacita kelahiran Sang Bayi di awal justru adalah mereka yang terpinggirkan. Mereka yang "dikalahkan": para gembala. Lebih parahnya, bapak ibunya dibuat lari-lari menyelamatkan diri ke Mesir dari kejaran seorang raja yang insecure dengan tahtanya!
Jika memang demikian, maka selamat! Natal 2020 adalah saat dimana kita diajak untuk memilih posisi "kalah". Ini adalah undangan agung dari Sang Bayi untuk merasakan vibes natal yang sebenarnya!
Siapa yang "Kalah"?
Seorang pendeta "curhat" saat khotbah di persekutuan pemuda daring kami, bahwa ia tidak pernah bisa Natalan bareng keluarga.
Ironis.
Mereka yang menyampaikan kabar sukacita Natal, justru tidak mendapat sukacita Natal itu sendiri karena harus tenggelam dalam kesibukan persiapan Natal.
Maka Natal di kondisi pandemik justru membuatnya bersyukur karena akhirnya bisa di rumah Natalan bersama keluarga.
Ya, kita tidak bisa menyalahkan, itu memang kewajiban dan tanggung jawab.
Tetapi kita juga tidak bisa menampik: Untuk memastikan acara yang megah itu berlangsung lancar, ada orang - orang yang harus rela "mengalah". Jangan lupa dengan peran orang - orang di balik layar yang mungkin tidak kita anggap signifikan, padahal mereka sudah siap kehilangan nyawa untuk itu? Tentu kita ingat Riyanto, sosok Banser yang mengamankan gereja dari bom sampai harus "kalah" kehilangan nyawanya.
Tidak, tidak ada yang salah dengan mengadakan kebaktian natal yang megah. Tetapi, Natal tahun ini mengajak kita merenung: Jangan - jangan apa yang kita nikmati selama ini justru adalah hasil "kekalahan" orang - orang yang kehilangan tenaga dan waktunya untuk menikmati Natal bersama orang - orang yang mereka cintai?
Kita lupa, bahwa Sang Bayi yang juga hadir bagi mereka yang di luar sana - yang terpinggirkan, kerap tidak dianggap di tengah megahnya Natal di gedung gereja. Pandemik memberi kita kesempatan untuk mengingat mereka, bahkan lebih lagi : hadir bersama - sama dengan mereka.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: