Untuk apa mengorbankan pertemanan hanya untuk kontestasi yang berlangsung lima tahunan? Apakah pilihan politikmu lebih berharga dan layak dipertahankan daripada hubungan pertemananmu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.
Di seluruh negara, termasuk penganut sistem demokrasi, politik merupakan bagian yang tak lepas dari kehidupan. Minimal, jika kita tidak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau tergabung dalam sebuah partai politik, kita tetap memiliki hak suara dengan mencoblos saat Pemilu. Golput pun tidak mengubah fakta bahwa kita tetap punya hak pilih.
Di tahun 2019 ini, kita akan memilih seorang kepala pemerintahan, Presiden dan Wakil Presiden. Pada kontestasi kali ini, kita dihadapkan antara dua pasangan calon: Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sejak deklarasi Capres-Cawapres beberapa waktu lalu, linimasa media sosial selalu dipenuhi berita seputar kedua pasangan calon. Hal ini akan terus bergulir paling tidak hingga lima sampai Pemilu usai dilaksanakan. Visi misi, gagasan, sampai hal-hal remeh seperti diksi “sontoloyo”, “genderuwo”, atau “tempe kartu ATM”, tak luput menjadi bahan pemberitaan dan bahan perundungan netizen dari masing-masing kubu.
Photo by Niko Lienata on Unsplash
Bahkan istilah “cebong” muncul dan diientikkan untuk pendukung Jokowi sementara “kampret” untuk pendukung Prabowo. Di internet, keduanya saling bully dan saling mencaci tanpa henti, bahkan tak jarang konflik antara keduanya merembet ke dunia nyata.
Apakah mungkin kita menjadi salah satu dari “kampret” dan “cebong” ini? Coba berpikir dengan jernih.
Menyembah Berhala = Menyembah Patung? Atau Lebih dari Itu?
“Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi” – Keluaran 20:4
Sebagai orang Kristen, kita hampir selalu merasa kita tidak pernah menyembah berhala. Secara ajaran, hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan apa yang kita imani. Di Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Lama, kita bisa melihat secara jelas bahwa Allah sangat mengecam penyembahan patung-patung berhala.
Kita mungkin bisa saja menyingkirkan patung-patung di rumah kita dan tak punya benda lain selain Alkitab di rumah kita. Namun apakah itu otomatis membuat kita tidak menyembah berhala?
Kyle Idleman dalam bukunya “Gods at War” mengatakan bahwa definisi berhala itu jauh lebih kompleks dari sekadar patung. Segala sesuatu yang secara tidak sadar kita puja berlebihan, sampai rela mengorbankan segala sesuatu yang berharga, itulah berhala
Photo: Anthony DELANOIX on Unsplash
Pemberhalaan Figur Politik: Sudahkah Pilihan Kita Menjelma menjadi Berhala?
“…tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa” – 1 Korintus 8:4
Sungguh menarik menengok Alkitab terjemahan bahasa Inggris yang menyebut patung berhala dengan kata “idols” dan penyembahan berhala sebagai sikap “idolatry”. Jika kita mau jujur, pasti banyak dari kita yang mengidolakan orang, mulai dari orang tua kita, selebritas, youtuber, atau figur politik. Bagaimana cara kita memandang tokoh-tokoh tersebut akan membedakan apakah kita sedang memberhalakan atau cuma menyukai saja. Menutup mata terhadap ketidaksempurnaan
“Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah” – Roma 3:23
Namanya rasa suka dan kagum terhadap seseorang terkadang membuat kita luput untuk melihat kekurangan orang tersebut. Kita perlu berpikiran terbuka untuk menyadari bahwa kehidupan tokoh yang kita idolakan tak sempurna. Ia juga manusia sama seperti kita, dengan segala kekurangannya.
Apalagi jika orang tersebut merupakan pemimpin daerah atau negara yang berurusan dengan kepentingan orang banyak. Harus diakui, tak semua orang puas dengan ragam kebijakan yang dibuat. Ketidakpuasan mereka pun beralasan, bukan semata-mata orang yang tak puas dengan pemerintahan pasti oposisi.
Photo by Johann Walter Bantz on Unsplash
Memusuhi orang yang tak sepikiran atau tidak mendukung pilihan kita
“Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” – Markus 9:40
Kalau kita masih berpikir bahwa orang yang tak sependapat dengan kita tentang pilihan politik itu harus dimusuhi, berarti masalahnya ada pada diri kita sendiri. Kita sedang memiliki kesulitan dalam memberikan toleransi pada pendapat dan pilihan orang lain. Tak jarang, hubungan pertemanan retak hanya karena beda pilihan.
Untuk apa mengorbankan pertemanan hanya untuk kontestasi yang berlangsung lima tahunan? Apakah pilihan politikmu lebih berharga dan layak dipertahankan daripada hubungan pertemananmu?
Bukankah berbeda itu wajar? Tidak hanya beda fisik, suku, ras, dan agama—yang secara kasat mata terlihat—perbedaan pendapat pun sesuatu yang wajar. Tidak semua yang beda dengan kita itu harus dimusuhi.
Photo by frank mckenna on Unsplash
Defensif terhadap setiap kritikan
“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah” – Amsal 27:6
Terkadang kritikan sering disalahartikan sebagai sebuah serangan atau ujaran kebencian. Memang, ada banyak orang yang berlindung dengan kata “kritik” padahal dasarnya timbul dari kebencian. Ketika prestasi orang lain tidak diakui, tetapi hanya mengeluarkan komentar pedas ketika orang yang sama berbuat salah, padahal dasarnya benci, bukan memerbaiki—itulah yang disebut nyinyir.
Tak semua kritikan itu berdasarkan perasaan tidak suka. Ada orang yang memang kritis dan peduli. Mereka mengkritik untuk membuat orang lain maju dan lebih baik, juga memuji dan mendukung ketika orang yang sama melakukan hal yang benar.
Photo by Nik Shuliahin on Unsplash
Sayang, di kontestasi politik seperti sekarang, tak jarang orang yang buta ketika membela salah satu pihak. Ia cenderung akan terus membela dan sulit menerima kritikan dari pihak lawan ataupun bahkan dari kawan sendiri. Ia cenderung defensif dan bahkan tak segan menyerang balik dengan segala argumen yang cacat logika dan tidak masuk akal.
Tak perlulah kita panas dengan kritikan. Kritikan itu justru bentuk kepedulian seseorang terhadap tokoh yang mereka kritik. Kalaupun kritikan itu hanyalah berisi kebencian semata, tidak perlu dipersoalkan, apalagi membenci balik. Bukankah Yesus mengajarkan untuk mengasihi musuh? Justru sebaliknya, bukankah kita lebih patut waspada terhadap orang yang “mencium secara berlimpah-limpah”?
Akhirnya, pesta demokrasi sudah di depan mata.
Mari kita kembali merenungkan poin-poin di atas. Jangan sampai kita mengaku menyembah Allah, tetapi secara tidak sadar, kita juga menyembah “allah” lain yang kita ciptakan dalam diri orang-orang di sekeliling kita. Bukankah hukum pertama dan kedua di kedua loh batu yang diberikan Allah pada Musa melarang kita untuk memberhalakan sesuatu?
Siapapun Presiden yang kita pilih nantinya pasti juga punya kekurangan. Mereka tidak punya superpower yang bisa mengubah Indonesia secara instan. Kita juga mesti berperan serta jika ingin Indonesia maju.
“Sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” – Roma 13:1b.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: