Sikap mengampuni dan berbelas kasih pertama-tama datang dari Allah. Dia lah Allah yang boros dan sembrono dalam mencintai dan mengampuni anak-anak-Nya tanpa pandang bulu. Dia sendiri yang berinisiatif untuk berdamai dan membangun sikap rekonsiliasi dengan dunia dan manusia dengan kematian-Nya di atas kayu salib.
The Return of the Prodigal Son adalah karya dari salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa yakni Rembrandt van Rijn. The Return of the Prodigal Son lahir dari sebuah pengenalan Rembarandt akan kisah perikop Injil Lukas yang berjudul “Perumpamaan tentang anak yang hilang”. Lukisan ini menggambarkan sang anak yang telah kembali ke rumah dan dengan sikap berlutut, mengharapakan pengampunan dari sang bapa karena telah menyia-nyiakan warisan sehingga jatuh dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Keunikan The Return of the Prodigal Son
The Return of the Prodigal Son karya Rembrandt tidak hanya meninggalkan keindahan dan keunikan dari sudut pandang estetika saja, melainkan ada beberapa sisi unik-reflektif lainnya yang dapat kita temukan dan renungkan, yakni yang pertama ialah hilangnya si anak sulung.
Rembrandt menggambarkan sosok anak sulung dengan sikap berdiri, tangan yang terlipat, tanpa kegembiraan, marah (ay.28) dan hanyut dalam perasaan iri hati. Sikap itu digambarkan dalam Lukas 15:29-30, “Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia”
Sebagaimana dikisahkan dalam Alkitab, sosok anak sulung sedang berada di ladang ketika si bungsu datang dan meminta pengampunan dari sang bapa (ay.25) tetapi sebaliknya, Rembrandt justru melukiskan kehadiran si anak sulung tersebut. Dari sini saya menyimpulkan bahwa sebenarnya, si anak sulung (juga) adalah anak yang hilang! Sehingga kisah ini merupakan kisah dari kedua anak yang hilang. Si bungsu yang hilang karena telah memboroskan harta kekayaan bapanya bersama-sama dengan pelacur-pelacur (ay.30) dan si sulung yang hilang karena ia tidak merasa memiliki dan dimiliki (ay.31) walaupun ia tinggal dekat dengan bapa, telah bertahun-tahun melayani bapa dan belum pernah melanggar perintah bapanya (ay. 29)
Kedua, yakni Sang bapa, representasi Allah yang belas kasih & pengampun. Jika kita memperhatikan lukisan ini lebih detail, maka kita akan menemukan hal yang unik dari sosok sang bapa. Ya, Rembrandt melukiskan tangan kiri dari sang bapa tampak lebih besar dan lebih maskulin dibanding tangan kanannya. Tangan maskulin itu diletakkan di bahu anak laki-laki, sementara yang kanan lebih lembut dan lebih mudah menerima isyarat. Hal itu merepresentasikan Allah sebagai seorang ibu dan ayah sekaligus, yang penuh belas kasih menyambut anaknya sekalipun kehinaan dan keberdosaan melingkupinya.
Allah yang kukenal: Allah yang Boros
Mengutip khotbah Pdt. Joas Adiprasetya bahwa Injil Lukas 15:11-32 sebenarnya tidak berfokus pada suatu keadaan anak yang telah hilang melainkan berfokus pada sikap sang bapa yang boros (the prodigal father). Suatu perikop yang menggambarkan bahwa Allah adalah Allah yang boros dan sembrono dalam hal mengampuni serta suka menghambur-hamburkan kasih-Nya. Hal itu tampak pada sikap bapa yang langsung membagi-bagikan harta kekayaan kepada anak-anaknya tanpa berpikir panjang (ay.12). Sikap yang boros juga timbul ketika sang bapa memberikan jubah yang terbaik, cincin dan sepatu serta menyembelih anak lembu tambun sesaat si bungsu datang kepadanya (ay.22).
Maka sebenarnya, sikap mengampuni dan berbelas kasih pertama-tama datang dari Allah. Dia lah Allah yang boros dan sembrono dalam mencintai dan mengampuni anak-anak-Nya tanpa pandang bulu. Dia sendiri yang berinisiatif untuk berdamai dan membangun sikap rekonsiliasi dengan dunia dan manusia dengan kematian-Nya di atas kayu salib (lih. Kolose 1:19-20).
Jalan Rekonsiliasi: Hidup dalam Rahmat
Banyak faktor yang menyebabkan diri kita tidak bisa berdamai dengan Allah, sesama pun termasuk dengan alam ini. Entah karena faktor iri hati, kesombongan, dengki, keras hati, ingin menang sendiri dan lain-lain. Semuanya itu pada akhirnya hanya menimbulkan jurang pemisah antara diri kita dengan Allah, sesama dan alam ini. Ditengah kegalauan ini, rekonsiliasi dan tindakan pendamaian hadir sebagai jalan tengah. Rekonsiliasi dan berdamai dapat mengisi kerenggangan hubungan kita dengan Allah, sesama dan dengan alam ini. Rekonsiliasi (reconciliatio) dimaknai sebagai inisiatif Allah yang lebih dahulu menawarkan pendamaian kepada umat-Nya dan kemudian dilanjutkan dengan pendamaian antara kita dan sesama serta seluruh alam ciptaan sebagai dimensi sosial dan ekologis. Rekonsiliasi juga dapat membawa suatu penyembuhan dan kehidupan damai pada hati orang yang sungguh-sungguh menjalankannya.
Matthew Fox dalam bukunya Original Blessing: A Primer in Creation Spirituality menentang pemahaman dosa asal (original sin) yakni pemahaman sebagai hilangnya rahmat dan rusaknya kodrat yang dialami nenek moyang kita yang pertama dan akibatnya ditanggung oleh semua orang sesudahnya. Fox justru memunculkan pemahaman tentang rahmat asal (original blessing), pemahaman ini menekankan hakikat penciptaan dimana Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik (Kej. 1:31).
Proses rekonsiliasi pun juga demikian. Rekonsiliasi adalah sebuah jalan rahmat. Ketika kita menjalani proses rekonsiliasi -terutama rekonsiliasi dengan sesama- kita seharusnya tidak mengingat kembali dosa-dosa yang telah diperbuat oleh ‘lawan’ kita, tetapi sebaliknya, kita mau berdamai dengan “lawan” kita dengan sebuah pemahaman bahwa Allah menciptakan aku dan kau sungguh amat baiknya! Kita diajak belajar dari sikap sang bapa yang boros untuk mengampuni dan berbelas kasih kepada sang bungsu tanpa memperhitungkan dosa dan kesalahan dia.
Jalan Rekonsiliasi: Be Compassionate
Seorang anak berusia 12 tahun, Glyzelle Palomar, memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Paus Fransiskus ketika saat itu diadakan audiensi umum di Manila, Filipina pada Januari 2015 silam. Palomar menangis saat menceritakan pengalamannya dan menanyakan pertanyaannya kepada Paus Fransiskus. "Ada banyak anak yang terbengkalai oleh orang tua mereka sendiri. Ada juga banyak yang menjadi korban dan banyak hal mengerikan terjadi pada mereka seperti narkoba atau pelacuran. Mengapa Tuhan membiarkan hal seperti itu terjadi, bahkan jika itu bukan kesalahan anak-anak? dan mengapa hanya ada sedikit orang yang membantu kami?". Palomar yang juga adalah anak jalanan itu mengakhiri pertanyaannya kepada Paus Fransiskus dengan tangisan.
Kemudian Paus Fransiskus menjawab pertanyaan Palomar, “Palomar adalah satu-satunya yang mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dijawab, dan dia tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata, tetapi hanya dengan air mata.” Dan kemudian Paus Fransiskus memeluk Glyzelle Palomar dalam tangisannya. Pada keesokan harinya, Paus Fransiskus mengadakan surprise visit, yakni mengunjungi Tulay ng Kabataan Fundation. Yayasan ini dikenal menampung anak-anak yatim piatu, anak jalanan, anak yang menjadi korban pelecehan seksual dan anak berkebutuhan khusus lainnya. Yayasan ini juga lah yang mengasuh Glyzelle Palomar.
Kisah di atas menjadi suatu pembelajaran bagi kita bahwa jalan rekonsiliasi dan belas kasih (misericordia) juga merupakan sebuah penderitaan (misera). Palomar begitu sulit untuk be-rekonsiliasi dengan dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Di situ lah Paus Fransiskus menunjukkan bela rasanya (compassion). Tindakan positifnya untuk memeluknya dan bahkan mengunjunginya ke panti secara langsung tentu akan membantu Palomar untuk be-rekonsiliasi dengan dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Tindakan compassion yang sama juga ketika sang bapa memeluk, memberikan jubah yang terbaik, cincin dan sepatu serta menyembelih anak lembu tambun sesaat si bungsu datang kepadanya (ay. 22).
Tindakan compassion melibatkan pengenalan akan Allah, sesama dan alam semesta ini. Be Compassionate! Sebenarnya mengajak kita untuk ber-rekonsiliasi dengan perasaan kasih sayang dan berbela rasa menuju sebuah kepekaan dan solidaritas.
Selamat berjuang!
Doa:
TUHAN, jadikanlah aku pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Ya Tuhan Allah,
ajarlah aku untuk lebih suka mengerti daripada dimengerti;
mengasihi daripada dikasihi;
sebab dengan memberi kita menerima;
dengan mengampuni kita diampuni,
Amin.
Adaptasi Make Me an Instrument of Your Peace, St. Francis of Asisi
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: