Ternyata, dalam kesadaran diri yang rapuh, saat itulah saya merasa mulai memeluk kembali Dia yang hilang.
Sebagai orang Kristen, percaya kepada Kristus adalah hal yang lazim, dan terlibat dalam berbagai ritual dan kegiatan gerejawi merupakan hal yang lekat. Akan tetapi, apakah itu semua dapat dijadikan tolak ukur kedekatan kita dengan Allah? Mungkin saat membaca atau mendengar pertanyaan ini, kita akan berkata tidak secara spontan.
Menjawab tidak, bukan berarti kita tidak melakukan penilaian itu. Sadar ataupun tidak, seringkali kita mengukur dan membanggakan diri, bahkan merasa memeluk Tuhan, berdasarkan penilaian tersebut. Hal ini bukanlah peristiwa yang baru saja terjadi hari-hari ini. Bahkan jauh sebelumnya, Paulus, dalam Roma 10:2-3 telah mencatat peristiwa serupa yang telah terjadi.
Roma 10:2-3
“Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.”
Perkataan Paulus ini mengenai orang-orang Israel yang sangat giat untuk Allah, dalam pengertian praktek legalistik. Orang Israel sangat tekun dalam mempraktikkan berbagai tradisi dan hukum Taurat yang diwariskan turun temurun kepada mereka, sehingga mereka pun hidup sebagai komunitas yang sangat eksklusif, yang bahkan memandang tidak ada keselamatan di luar Yahudi. Setiap orang di luar komunitas Yahudi diberi label kafir, bahkan tidak jarang dipandang najis oleh mereka.
Photo by Tim Marshall on Unsplash
Paulus menyampaikan kritiknya terhadap komunitas yang sangat eksklusif tersebut. Bagi Paulus, giatnya mereka untuk Tuhan adalah usaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, sebab mereka tidak mengenal kebenaran Allah. Bisa dikatakan, kritik Paulus sedang menyatakan bahwa komunitas tersebut merupakan orang-orang yang secara sadar atau tidak sadar sedang berjuang demi ego mereka, namun merasa dan mengatasnamakan Allah.
Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Saya pribadi, sebagai seorang sarjana Teologi dan guru agama yang sedang melanjutkan studi magister Teologi, tidak jarang dilabeli dengan berbagai penilaian yang lebih dari orang Kristen pada umumnya. Bahkan harus saya akui, sesekali saya memberi penilaian yang serupa terhadap diri saya sendiri, sampai pada akhirnya saya tiba pada suatu titik balik yang mengubah semua penilaian tersebut.
Saya kira saya sedang memeluk Allah, ternyata saya telah kehilangan Dia, bahkan Sosok-Nya menjadi semacam orang asing bagi saya. Semua pengetahuan tentang-Nya menjadi terasa hampa. “Di mana Dia? Siapa Dia?” hati saya pun bertanya dalam sebuah gundah yang membuat saya ingin berteriak. Hanya angin agama yang saya peluk, dan bukan Dia, Allah, yang saya peluk.
Photo by Stefan Kunze on Unsplash
Kesombongan rohani telah merenggut Allah dari dekapan saya, dan telah mengusir saya keluar dari indahnya kebersamaan dalam kasih-Nya.
Air mata pun mengalir tanpa henti, karena Dia terasa begitu jauh. Semua kepercayaan tentang-Nya berubah menjadi metode-metode teologis dan berubah menjadi rutinitas agamawi. Saya bosan dengan itu semua.. dalam tangis itu, saya sadar untuk kembali kepada kasih yang semula. Sebuah kerinduan kepada pribadi-Nya.
Allah yang telah terdefinisikan ternyata adalah idolatry yang tak sadar telah merenggut Dia yang sesungguhnya. Dalam segala definisi dan pengetahuan saya tentang Dia, saya pun perlu menyatakan bahwa Ia adalah Allah yang selalu mendefinisikan diri sekaligus selalu tak terdefinisikan. Dia yang selalu menyatakan diri, tetapi di saat bersamaan selalu tersembunyi, Dia yang senantiasa mengungkapkan kasih-Nya, namun di saat yang sama Ia selalu menjadi misteri. Paradoks ini menjadi penting, karena Allah tanpa paradoks adalah Allah yang telah dibatasi dan direduksi ke dalam konsep kita manusia yang serba terbatas.
Dalam keheningan, saya pun menyerah dan membiarkan Allah mengambil alih seluruh hidup. Menyerah untuk merasionalisasi semua tentang Allah dalam berbagai pengetahuan dan kegiatan agamawi yang penuh dengan rutinitas membosankan. Ternyata, dalam kesadaran diri yang rapuh, saat itulah saya merasa mulai memeluk kembali Dia yang hilang.
Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash
Dalam kehidupan kita mengiring-Nya, dalam setiap pembelajaran kita tentang-Nya, kita perlu memberi ruang yang tak terbatas bagi-Nya, sebab Ia bukan Allah yang dapat kita batasi dalam konsep-konsep agama. Bahkan Teologi pun tidak dapat mengurung Allah.
Kedekatan kita dengan Allah harus dimaknai lebih dari sekedar aktivitas keagamaan, dan segala pengetahuan kita tentang-Nya harus keluar dari segala metode-metode. Bagi saya, Allah adalah Allah demetodologisasi, yakni Allah yang tak dapat dimetodekan. Tiba saatnya untuk saya berkata, Allah yang dapat dibatasi rasionalitas kita adalah Allah yang sudah mati.
Photo by Aaron Burden on Unsplash
Orang Kristen perlu keluar dari “kristennya” dan menyambut Allah yang hidup, yang melampaui segala sesuatu serta meninggalkan Allah yang sudah mati tersebut. Allah yang tidak hanya ditemukan dalam puji-pujian dan berbagai lantunan narasi khotbah, tetapi Allah yang juga menyapa dalam keheningan dan kesunyian.
Berhentilah merasa Allah adalah milik kita sendiri, tetapi sadarilah bahwa kita adalah milik-Nya. Semakin kita sadar bahwa kita rapuh, semakin kita kuat dalam keindahan pelukan kasih-Nya dan kerapuhan kita mengusir segala kesombongan rohani yang adalah “pencuri Allah.”
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: